Antisipasi Banjir Selalu Terlambat | Flood Anticipation is Always too Late |
Oleh @ayijufridar
SETIAP bulan yang berakhir dengan “er”, mulai dari September sampai Desember, masyarakat sudah harus menyiapkan ember. Pengaruh cuaca di Aceh tidak jauh berbeda dengan daerah lain di Indonesia; di musim kemarau kekeringan, dan di musim hujan kebanjiran. Penanganan banjir yang dilakukan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, selalu parsial atau setengah-setengah.
Pemerintah daerah selalu bersikap reaktif dalam menangani banjir. Setiap banjir datang, yang dilakukan Pemda hanya mendata korban kemudian memberikan bantuan masa panik. Kadang disertai ribut-ribut dengan masyarakat korban yang mengaku tidak kebagian bantuan. Bahkan yang tidak terkena bencana pun, marah-marah kepada kepala desa karena namanya tidak dimasukkan dalam daftar korban yang notabene nanti mendapatkan bantuan. Kasus seperti ini terjadi setiap banjir datang.
Ironisnya, Pemda seperti tidak pernah belajar dari masa lalu. Sudah tahu banjir menjadi bencana rutin setiap musim hujan, tapi penangangan yang dilakukan selalu saja reaktif. Kondisi yang selalu berulang saban tahun ini, menjadi bukti bahwa Pemda tidak mempunyai agenda penanggulangan bencana yang terprogram. Pejabat Pemda hanya bereaksi terhadap satu kejadian, tanpa mau bersusah payah menyelesaikan akar permasalahan.
Berbeda dengan gempa yang tidak dapat diprediksi, bencana banjir bisa diperkirakan dengan tingkat presisi tinggi. Peringatan Badan Metereologi dan Geofisika tentang tinggi curah hujan dan kemungkinan banjir di sejumlah daerah kini sudah menjadi kenyataan. Sayangnya Pemda mengabaikan peringatan itu dan tidak melakukan langkah antisipatif yang memadai.
Untuk menyelesaikan akar persoalan banjir di Aceh, tidak bisa dipisahkan dari praktek pembalakan liar yang masih (akan) terus terjadi. Kalau pun tidak mungkin diberantas seluruhnya, minimal Pemda termasuk aparat penegak hukum, menunjukkan keseriusannya dalam mengurangi luas hutan yang dipangkas.
Namun, pengurangan pembalakan liar termasuk langkah jangka panjang dalam kaitannya dengan penyebab banjir. Menebang satu pohon, hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Sedangkan menanam dan membesarkannya, membutuhkan waktu bertahun-tahun. Jadi, butuh waktu yang sangat panjang untuk mengembalikan hutan Aceh seperti sedia kala.
Jangka jangka menengah yang bisa ditempuh untuk mengantisipasi banjir adalah dengan membenahi sistem drainase. Di sejumlah kota di Aceh seperti Lhokseumawe, sistem drainase-nya amburadul sehingga ketika hujan lebat turun hanya dalam satu jam sudah bisa membuat genangan air di pusat kota. Air tidak mengalir dengan lancar karena saluran yang dibangun asal ada. Seharusnya, saluran harus bisa mengaliri air sehingga tidak membuat endapan yang menjadi sarang nyamuk. Kemudian, sistem drainase juga harus terintegrasi seluruh kota.
Berkurangnya daerah serapan air juga menjadi salah satu sumber penyebab banjir. Di Lhokseumawe saja, selain Lapangan hiraq dan Taman Riyadah yang luasnya tidak seberapa, hampir tidak ada daerah serapan air. Setiap jengkal tanah sudah dibangun pertokoan. Pembangunan ruang publik seperti taman, sama sekali bukan prioritas pemerintah daerah karena tidak menguntungkan bagi mereka. Padahal, selain menjadi daerah serapan air di kawasan kota, taman juga menjadi ruang sosialisasi dan interaksi masyarakat. Ibnu Khaldun dalam Mukadimah menyebutkan, peradaban sebuah daerah dapat dilihat dari banyaknya ruang publik yang mereka miliki.
Mengatasi banjir, pada prinsipnya adalah mengelola air. Bagaimana air hujan yang turun tidak langsung kembali ke laut sehingga cadangan air saat musim kemarau tetap tersedia. Kampanye penghematan air kini banyak terdapat di hotel-hotel bintang di kota besar, termasuk di Indonesia. Sejumlah hotel, mengingatkan tamunya untuk menggunakan handuk yang sama selama beberapa hari. Artinya, handuk yang terdapat di kamar tidak sekali pakai sehingga membutuhkan lebih banyak air untuk mencuci dan memakai lebih banyak deterjen yang memberi dampak negatif bagi lingkungan. Selain itu, air buangan bekas mesin pendingin ruangan dan air bekas pakai tamu, didaur ulang dan digunakan kembali untuk menyiram tanaman. Praktek seperti itu sudah bertahun-tahun dilakukan di negara maju. Syukurlah kita masih bisa menggunakan air sepuasnya.
Bagi masyarakat Singkil, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Tamiang dan beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Aceh yang terpapar banjir pada akhir 2017, harus tetap waspada sebab bencana itu masih mengintai—sesuai prakiraan BMKG. Analisi BMKG seharusnya menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan di eksekutif dan legislatif.
Tapi sejauh mana langkah penanggulangan yang sudah dilakukan, kita tak pernah tahu. Pemerintah daerah dan masyarakat korban masih tergilas dengan rutinitas keseharian sampai kemudian banjir menyadarkan kita semua. Kemudian bantuan masa panik datang, dan keributan terjadi lagi. Dua bulan setelah banjir surut, kita tergilas lagi dengan rutinitas sampai sempat melakukan langkah pencegahan banjir. Tahu-tahu, kita sudah memasuki bulan-bulan berakhir “er” lagi dan banjir datang kembali. Begitu seterusnya sepanjang masa. Padahal semua tahu bahwa keledai pun tidak pernah jatuh pada lubang yang sama.[]
Flood Anticipation is Always too Late
By @ayijufridar
EVERY month that ends with "er", from September to December, people have to prepare a bucket (Bahasa: ember). The influence of the weather in Aceh is not much different from other regions in Indonesia; in the dry season of drought, and in the rainy season flooded. The handling of floods by local governments, both at the provincial and district levels and cities, is always partial or partial.
Local governments are always reactive in dealing with floods. Every flood comes, the local government only records the victims and then gives the panicky time. Sometimes accompanied by a fuss with the victim community who claimed not to get help. Even those who are not affected by the disaster, are angry at the village head because his name is not included in the list of victims who in fact will get help. Cases like this happen every flood comes.
Ironically, the local government is like never learning from the past. Already know the flood becomes a routine disaster every rainy season, but the handling is always reactive. Conditions that always repeat every year this year, proof that the local government does not have programmed disaster programming agenda. Local government officials only react to one incident, without bothering to resolve the root of the problem.
Unlike the unpredictable earthquake, the flood disaster can be estimated with a high degree of precision. The Meteorological and Geophysical Agency's warning about high rainfall and the possibility of flooding in some areas has now become a reality. Unfortunately the local government ignored the warning and did not take adequate anticipatory steps.
To solve the root of the flood problem in Aceh, it can not be separated from illegal logging practices that are (will) continue to occur. Even if it is impossible to eradicate completely, at least the local government, including law enforcement officials, shows its seriousness in reducing the area of cut forest.
However, the reduction of illegal logging includes long-term measures in relation to the causes of flooding. Cutting down a tree, takes just a few minutes. While planting and raising it, it takes years. So, it took a very long time to restore Aceh forest as usual.
Medium term that can be taken to anticipate flooding is by fixing the drainage system. In some cities in Aceh such as Lhokseumawe, its drainage system is in shambles so that when heavy rains come down in just one hour it can create a puddle in the city center. Water does not flow smoothly because the built-in channel exists. Supposedly, the channel must be able to drain the water so as not to make the sediment that became a mosquito breeding. Then, the drainage system must also be integrated throughout the city.
Reduced areas of water absorption also become one of the sources of the causes of flooding. In Lhokseumawe, apart from the Hiraq Square and Riyadah Park, the extent is not much, there is hardly any water absorption area. Every inch of land has been built shops. The development of public spaces such as parks, is not at all a priority of local governments because it is not profitable for them. In fact, in addition to being an area of water absorption in the city area, the park is also a space of socialization and community interaction. Ibn Khaldun in the preamble mentions, the civilization of a region can be seen from the number of public spaces they have.
Overcoming the flood, in principle is managing water. How rainwater that descends not directly back to the sea so that water reserves during the dry season remain available. Water saving campaigns are now widely available in star hotels in major cities, including Indonesia. A number of hotels, reminding guests to use the same towel for several days. That is, the towels contained in the room are not disposable so require more water to wash and use more detergent that gives negative impact to the environment. In addition, used water discharger used air conditioners and water used by guests, recycled and reused for watering plants. Such practices have been done for years in developed countries. Thankfully we can still use the water as much.
For the people of Singkil, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Tamiang and some districts and cities in Aceh Province exposed to floods by the end of 2017, must remain vigilant because the disaster is still lurking - according to BMKG forecasts. BMKG analysis should be a consideration of policy makers in the executive and legislative.
But the extent of the countermeasures that have been done, we never know. The local government and the affected people are still crushed with daily routine until then the floods awaken us all. Then the help of the panic came, and the commotion broke out again. Two months after the flood receded, we crashed again with routine until the time to take steps to prevent flooding. Next thing we know, we have entered the months of "er" again and the floods come back. And so on all the time. Yet everyone knows that donkeys never fall on the same hole.[]
BANJIR ACEH -- Bencana banjir yang terjadi di Matangkuli, Aceh Utara, Desember 2017. Banjir menjadi bencana rutin di Matangkuli dan beberapa daerah lainnya di Aceh Utara, sejauh ini belum ada penanganan yang tuntas untuk mencegah banjir terulang.
Betul bang @ayijufridar
Banjir memang menjadi masalah dari tahun ke tahun.
Bukan cuma pemerintahnya yg lambat dlm menangani banjir, tp juga kita, banyak orang2 yg masih membuang sampah di sungai meskipun sudah ada sanksinya bakal didenda Rp 500 ribu
Intinya, semua pihak harus berkontribusi nyata untuk mencegah banjir. Ya, pemerintah, ya masyarakatnya. Semuanya memiliki tanggung jawab. Tapi, bila banjir terjadi akibat pemerintah royal memberikan izin eskplorasi hutan bagi perusahaan pemegang HPH, ya pemerintah yang paling bertanggung jawab.
Postingan yang sangat bagus dengan solusinya. terimakasih @ayijufridar. semoga Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah terbaik untuk antisipasi banjir. Salam KSI
Terima kasih Bang @ilyasismail. Salam kompak untuk rakan Steemians di Aceh Timur.
Kebiasaan membuang sampah sembarang masih sering kita temukan dalam kehidupan masyarakat. Belum lagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan komersil yang mengorbankan keseimbangan alam, tentunya permasalahan ini menjadi komplit dalam "satu paket". Memang, pemerintah memiliki tanggung jawab yang paling besar mengenai permaslahan banjir ini. Tapi semua itu kembali kepada kesadaran kita masing-masing. Mungkin, perlu diterapkan terobosan baru dalam mensosialisasikan gerakan anti illegal logging dan edukasi tentang pengelolaan sampah secara bijak.
Begitulah @alvaro17. Mengurusu sampah saja kita tidak becus, bagaimana mau membuat pembangkit listrik tenaga nuklir?
Begitulah negeriku Indonesia. Selalu lambat dan kurang kepedulian dari pemangku jabatan. Postingan bagus bang @ayijufridar
Terima kasih @nyakti. Semoga tahun 2018 lebih baik.
Banjir datang rakyatnjelata meradang
Selamat Bang @safwan71 sudah naik ke level 31 dari 29 kurang dari sehari. Ini berkat tingkat keaktivan di Steemit dan mendapatkan vote dari orang besar seperti @mukhtar.juned.
Selamat tahun baru! Abang naik deh jadi pimpinan pemerintah, saya pasti pendukung nomor satu!
Semua kita bertanggungjawab untuk menjaga banjir melalui usaha-usaha yang rasional..tulisan pak @ayijufridar mengupas dengan sangat lugas. Just upvote dan resteem ya pak.