The Tsunami Story in the Tomb of Sultan Malikussaleh | Bilingual |

in #indonesia7 years ago (edited)

THE 13th anniversary of earthquake and the tsunami in Aceh, Indonesia, on December 26, 2017 and still leaves a sad memories for the victims and the world community vulnerable to the tsunami. The anniversary should strengthen our memory to continue to deepen knowledge about the earthquake and tsunami disaster that occurred in various parts of the world.

Many tragic stories in the tsunami disaster are remembered until now and will be a hereditary story for posterity. One of them is a piece of the story at the Tomb of Sultan Malikussaleh in Beuringen Village, Samudera Subdistrict, North Aceh.

I filled in on the first day of 2005 by visiting Malikussaleh's Tomb, or on Saturday 1 January 2005 and meeting a feeder named Muhammad Yakob Saleh. And on Friday 5 January 2017 when met with some my friends from Geudong, the capital of Samudera Sub-district, I was reminded of Muhammad Yakob Saleh. "He is pass away, the grave is now guarded his young brother," Ary Asyari said.

I remember with Pak Muhammad Yakob Saleh whose photos I show here. Speech said polite when telling the history of Sultan Malikussaleh and when the tsunami struck on December 26, 2004. Now Ahmad Yus became the guardian of the tomb of Sultan Malikussaleh, with Asmawati appointed by North Aceh Regency Government.


Malikussaleh_08.jpg


Among a series of tragic stories during the tsunami, there are also heroic stories of survivors. Their struggle against the tsunami waves was incredible and awaken everyone how valuable a piece of life is. There is also a victim choosing to surrender to God because there is no chance to save because the waves as high as the roof of the house-black with white foam on it-are in sight.

That is done about 50 residents of Beuringen Village District of Samudera, North Aceh, at that time. "We did not have time to run away to save ourselves. When I learned that the sea was rising to the mainland, I just finished bathing. I see outside, the water is approaching our house," Ibrahim Yakob said, when interviewed by a number of journalists, beginning of 2015 ago. Ibrahim is the son of Muhammad Yakob.

Ibrahim immediately took off his wife and two children. No time to escape further. They entered the Malikussaleh Tomb Complex. Crowded with dozens of other residents. His father, Muhammad Yakob Saleh, had also been there. While his mother, Marliah and his father's sister, Ti Saliyah had saved themselves far ahead with a group of other people. Later, the two men were found dead along with four other dead victims from Beuringen Village.

Ibrahim can not explain in a reasonable sense why sea water is only entered as high as 15 centimeters in the kingdom complex of Samudera Pasai Sultan. "Whereas beyond us, the water is two meters high. The houses around him had fallen. Water is circling around the Malikussaleh Tomb Complex," Ibrahim said.

Beuringen village is located 2 kilometers from the beach. Nevertheless, the tsunami waves were not as high as in Banda Aceh or Meulaboh although in the village, more than 50 houses were destroyed by the tsunami. The house is located further than the shoreline when compared with the tomb of King Malikussaleh, did not escape from the brunt. While the tomb itself is like untouched water.

Malikussaleh (1270-1297 AD) is the king of the Islamic Kingdom of Pasai Ocean who first brought the teachings of Islam to Southeast Asia. Beside the grave simple, there is also the tomb of his son, Malikuddhahir (1297-1326 AD). Although Malikussaleh was among the most famous monarchs in the universe, the policy of the North Aceh Government in no way indicates that Malikussaleh was a great king. The tomb of Sultan Malikussaleh is not as glorious as the name of the Sultan who is now ditabalkan name to be a college in North Aceh, the name of the street, and the name of the airport.

Malikussaleh Tomb is still a religious tourism destination in North Aceh. Tourists come from various regions and occasionally from abroad such as Brunei and Malaysia. Generally, visitors from outside Aceh did not come specifically to the tomb, but became a side goal after finishing with other affairs. "If there are guests from outside the region, we often bring to the Tomb Malikussaleh," @masriadi said, spokesman of Malikussaleh University.

The story of Sultan Malikussaleh also inspired the author Putra Gara to publish a novel about titled _Samudra Pasai: Cinta dan Pengkhianatan (Love and Betrayal, 2010). Before writing the novel, Putra Gara did extensive research including visiting the Tomb of Malikussaleh several times. "I found many spiritual experiences at the Tomb of Malikussaleh. Inspiration there like never dry," Putra Gara said by phone, some time ago.

The fame of Sultan Malikussaleh surpassed the times and inspired many generations who wanted to continue to dig up the virtues of the past.[]


Malikussaleh_01.jpg


Malikussaleh_03.jpg


Malikussaleh_05.jpg


Sepotong Kisah Tsunami di Makam Sultan Malikussaleh

PERINGATAN 13 tahun gempa dan tsunami di Aceh, Indonesia, pada 26 Desember 2017 lalu masih menyisakan kenangan yang menyedihkan bagi para korban dan masyarakat dunia yang rentan terhadap terjangan tsunami. Peringatan itu seharusnya memperkuat ingatan kita untuk terus mendalami pengetahuan tentang bencana gempa dan tsunami yang terjadi di berbagai belahan bumi.

Banyak kisah yang tragis dalam bencana tsunami yang dikenang hingga sekarang dan akan menjadi cerita turun-temurun bagi anak cucu. Salah satunya sepotong kisah di Makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.

Saya mengisi hari pertama di tahun 2005 silam dengan mengunjungi Makam Malikussaleh, atau pada Sabtu 1 Januari 2005 silam dan bertemu dengan penjaga makan bernama Muhammad Yakob Saleh. Dan pada Jumat 5 Januari 2017 ketika bertemu dengan beberapa kawan dari Geudong, ibukota Kecamatan Samudera, saya teringat dengan Muhammad Yakob Saleh. “Beliau sudah meninggal, makam sekarang dijaga adiknya,” ungkap Ari Asyari.

Saya ingat dengan Pak Muhammad Yakob Saleh yang foto-fotonya saya tampilkan di sini. Tutur katanya santun ketika mengisahkan sejarah Sultan Malikussaleh dan saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004. Kini Ahmad Yus menjadi penjaga makam Sultan Malikussaleh, bersama Asmawati yang ditunjuk Pemerintah Kabupaten Aceh Utara.


Malikussaleh_06.jpg


Di antara serangkaian cerita tragis saat tsunami, ada juga cerita-cerita heroik dari korban selamat. Perjuangan mereka melawan gelombang tsunami sungguh luar biasa dan menyadarkan semua orang betapa berharganya sepotong nyawa. Ada juga korban memilih pasrah kepada Allah sebab tidak ada kesempatan lagi menyelamatkan karena gelombang setinggi atap rumah—berwarna hitam dengan buih-buih putih di atasnya—sudah di depan mata.

Itulah yang dilakukan sekitar 50 warga Desa Beuringen Kecamatan Samudera, Aceh Utara, waktu itu. “Kami tidak sempat lagi lari menyelamatkan diri. Ketika mengetahui air laut naik ke daratan, saya baru selesai mandi. Saya lihat di luar, air sudah mendekati rumah kami,” ungkap Ibrahim Yakob ketika diwawancari sejumlah wartawan, awal tahun 2015 silam. Ibrahim adalah anak dari Muhammad Yakob.

Ibrahim segera membawa kabur istri dan kedua anaknya. Tak ada waktu untuk kabur lebih jauh. Mereka masuk ke dalam Komplek Makam Malikussaleh. Berdesakan dengan puluhan warga lainnya. Ayahnya, Muhammad Yakob Saleh, juga sudah berada di sana. Sementara ibunya, Marliah dan adik ayahnya, Ti Saliyah telah menyelamatkan diri jauh ke depan bersama rombongan warga lainnya. Belakangan, kedua orang itu ditemukan meninggal dunia bersama empat korban meninggal lain dari Desa Beuringen.

Ibrahim tidak dapat menjelaskan secara akal sehat mengapa air laut hanya masuk setinggi 15 sentimeter di Komplek raja Kerajaan Samudera Pasai itu. “Padahal di luar kami, air sudah setinggi dua meter. Rumah-rumah di sekitarnya sudah rubuh. Air berputar-putar di sekitar Kompleks Makam Malikussaleh,” ungkap Ibrahim.

Desa Beuringen terletak 2 kilometer dari bibir pantai. Kendati demikian, gelombang tsunami tidak setinggi di Banda Aceh atau Meulaboh meskipun di desa tersebut, lebih dari 50 unit rumah hancur disapu tsunami. Rumah yang lokasinya lebih jauh dari bibir pantai jika dibandingkan dengan makam Raja Malikussaleh, tak luput dari terjangan. Sementara makam itu sendiri seperti tak tersentuh air.

Malikussaleh (1270-1297 M) adalah raja Kerajaan Islam Samudera Pasai yang pertama kali membawa masuk ajaran Islam ke Asia Tenggara. Di samping makam yang teramat sederhana itu, terdapat juga makam putranya, Malikuddhahir (1297-1326 M). Meskipun Malikussaleh termasuk raja yang termahsyur di jagad raya, kebijakan Pemda Aceh Utara sama sekali tidak menunjukkan bahwa Malikussaleh sebagai raja yang besar. Makam Sultan Malikussaleh tidak semegah nama Sultan yang kini ditabalkan namanya menjadi perguruan tinggi di Aceh Utara, nama jalan, serta nama bandar udara.

Kini Makam Malikussaleh masih menjadi destinasi wisata religi di Aceh Utara. Wisatawan datang dari berbagai daerah dan sesekali dari luar negeri seperti Brunei dan Malaysia. Umumnya, pengunjung dari luar Aceh tidak datang secara khusus ke makam tersebut, melainkan menjadi tujuan samping setelah selesai dengan urusan lain. “Kalau ada tamu dari luar daerah, kami sering membawa ke Makam Malikussaleh,” ungkap @masriadi, juru bicara Universitas Malikussaleh.

Kisah Sultan Malikussaleh juga menginspirasi penulis Putra Gara untuk menerbitkan novel tentang berjudul _Samudra Pasai: Cinta dan Pengkhianatan (2010). Sebelum menulis novel itu, Putra Gara melakukan riset mendalam termasuk mengunjungi Makam Malikussaleh beberapa kali. “Saya menemukan banyak pengalaman spiritual di Makam Malikussaleh. Inspirasi di sana seperti tak pernah kering,” ujar Putra Gara via telepon, beberapa waktu lalu.

Kemasyhuran Sultan Malikussaleh memang melampaui zaman dan menginspirasi banyak generasi yang mau terus menggali kebajikan di masa silam.[]


Malikussaleh_02.jpg


Malikussaleh_04.jpg


Malikussaleh_07.jpg
Photos by @ayijufridar


Badge_@ayi.png

DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

Sort:  

Sejarah yang memang harus dijaga...

Sultan Mahmud Ghaznavi is known as a hero of Muslims and highly respected in all Muslim countries. Even after his death, the tomb of Sultan unveiled few secrets about this great Muslim warrior. 80 years ago an earthquake shattered the town of Ghazni and the tomb of Sultan also damaged in it.

Great story @usmanzeb. Where is the tomb of Sultan Mahmud Ghaznavi?

in Ghazni, Afghanistan
@ayijufridar

sejarah panjang Islam dan Aceh memang tanggung jawab kita bersama untuk melestarikannya. tugas kita untuk saat ini adalah menanamkan cinta akan budaya dan sejarah kepada generasi muda di Aceh. saya sudah beberapa kali ke makam Sultan Malikussaleh tersebut, salam kenal sahabat pasee. nice...
Upvote juga post saya https://steemit.com/steemit/@irvanni13/mengenal-giok-aceh thanks

Terima kasih @irvani. Saleum dari Pase.

ayijufridar!! Thank you, your Post.

Saya sempat ke lokasi makam Sultan Malikussaleh kira-kira seminggu pasca tsunami dan mendengar langsung kisah ajaib tersebut dari warga setempat.
Ceritanya memang bikin merinding kalau mendengar langsung dari orangnya.

postingan yang bagus semoga selalu sukses bang

makan para ulama dan pahlawan selalu ada yang mengunjungi,
apakah makam kita nantinya begitu juga..!

Luar biasa, cerita yang sangat menarik

Kebesaran Allah siapa yang mampu melawan?

Menarik untuk dikongsikan..baru saya tahu sedikit sebanyak sejarah Aceh.. semoga Aceh sentiasa dibawah lindungan Allah .