Rahasia Di Balik Konflik Gajah dan Manusia (Pandangan Steemian Terhadap Konflik Gajah)
Selain mie dan kopi, Aceh juga identik dengan gajah. Gajah di Aceh memiliki nilai historis yang kuat. Penyebutan gajah di Aceh tergolong spesial. Orang Aceh kerap memanggil gajah dengan sebutan Po Meurah atau Teungku Rayeuk. Sebutan tersebut lazimnya digunakan untuk manusia namun penggunaan sapaan tersebut untuk gajah dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi atau penghargaan masyarakat Aceh terhadapnya. Di zaman keemasan Sultan Iskandar Muda, Aceh memiliki pasukan gajah tersendiri. Diperkirakan sebanyak 400-1000 gajah jinak digunakan sebagai kendaraan para pasukan kerajaan. Dari keterangan sejarah tersebut dapat diartikan bahwa kita pernah memiliki kelimpahan gajah di hutan Aceh.
Menurut keterangan Azhar, seorang ahli konservasi spesies dari wwf Indonesia, disebutkan bahwa:
Hingga kini gajah di Aceh masih memenuhi populasi gajah terbanyak di Indonesia. Terdapat sekitar 475-500 individu gajah Sumatera di Aceh.
Hal tersebut memberikan angin segar tersendiri. Terpenuhinya populasi gajah di Aceh mengindikasikan bahwa hutan Aceh masih relatif baik. Namun sayangnya dalam beberapa kurun waktu terakhir, kita kerap mendengarkan pemberitaan bahwa hubungan antara gajah dan manusia tak lagi seharmonis dulu. Di Aceh sendiri percekcokan antara manusia dan spesies kunci hutan Leuser tersebut juga hangat diberitakan.
Sebagai contoh, pada tahun 2017 terdapat 12 gajah yang mati, baik karena sakit, tersengat kawat listrik, masuk perangkap bahkan karena diburu gadingnya. Berita tentang rusaknya kebun, hancurnya rumah warga bahkan hingga timbulnya korban jiwa menjadikan posisi gajah semakin tersudutkan. Gajah yang dulu dianggap layaknya sahabat dan dihormati mulai dicerca dan dilebeli dengan sebutan hama. Hal ini membuat saya merasa sedih dan bertanya-tanya, "Hal apa yang sebenarnya menjadikan gajah berkonflik dengan manusia?”
Penyebab Konflik Gajah
Saya pernah membaca sebuah penelitian lucu terkait gajah. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa reaksi otak gajah saat melihat manusia sama seperti reaksi otak manusia ketika melihat anak anjing atau kucing. Menurut gajah, manusia itu imut.
Sesaat saya membaca hasil penelitian tersebut, perasaan saya pun meleleh. Ternyata bukan hanya manusia yang memandang gajah sebagai makhluk yang menggemaskan akan tetapi gajah pun demikian terhadap manusia. Sesungguhnya manusia dan gajah itu saling menyukai. Lantas jika penelitian ini benar adanya, mengapa kini gajah justru berkonflik dengan manusia? Bingungkan? Iya, sama, saya juga.
Kegalauan inilah yang membulatkan tekat saya untuk menemui dan berdiskusi dengan bang Azhar di kantor wwf Indonesia. Terkait konflik gajah, bang Azhar memulai dengan definisi. Menurutnya,
Konflik gajah adalah bahasa, alat komunikasi, yang digunakan para mamalia besar ini untuk memberitahukan dan memperingatkan bahwa manusia telah masuk dan menjarah kawasan mereka.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa gajah tidak dapat berbicara layaknya manusia. Konflik yang terjadi sebenarnya merupakan pesan yang gajah berikan untuk menyatakan, "hey manusia, ini wilayah kami!" Sayangnya, orang-orang membaca pesan tersebut secara berbeda sehingga protes para gajah tak terespon dengan baik.
Masalahnya adalah seiring bertambahnya populasi penduduk dunia, manusia juga membutuhkan penambahan tempat. Jadi pasti akan terjadi benturan antara kebutuhan manusia dan gajah. Kebetulan, karakteristik wilayah yang dibutuhkan manusia dan gajah itu serupa yakni kawasan berair dan landai. Sehingga hal ini yang menjadi penyebab konflik. Perebutan kawasan antara gajah dan manusia.
Pencegahan dan Solusi Konflik Gajah
Perlu kita sadari bersama bahwa ketika berbicara gajah artinya kita berbicara teritorial. Gajah merupakan satwa teritorial. Artinya, gajah membutuhkan ruang besar untuk hidup. Menurut sains, 1 ekor gajah butuh ruang seluas 800 hektar. Jadi, untuk melindungi 500 gajah, kita butuh sekitar 400,000 hektar wilayah hutan yang tak terjamah manusia.
Ini merupakan cerita klasik. Ketika kawasan gajah dimasuki manusia kemudian terjadi konflik. Kedua pihak menjadi korban namun korban paling riskan adalah gajah. Hal semacam itu selalu terjadi. Oleh karena itu, salah satu solusi terbaik untuk mencegah konflik antara gajah dan manusia terletak pada pengelolaan penempatan tata ruang yang benar oleh pemerintah. Pemerintah juga wajib mengabari masyarakat bahwa benar wilayah ini merupakan jalur gajah. Sehingga ketika pemerintah membuka kawasan transmigrasi lokal, perkembunan sawit atau pemukiman masyarakat , mereka harus benar-benar mengkaji topologi setempat. Benar tidak bahwa di wilayah tersebut terdapat gajah.
Source
Apalagi ketika pemerintah mengizinkan dibukanya lahan sawit di suatu wilayah. Ketika lahan sawit dibuka, dibutuhkan sekitar 4000-6000 hektar kawasan hutan yang harus ditebang. Walau pun penanaman sawit dilakukan di wilayah hutan produktif tetap saja gajah mendapatkan mala petaka. Menurut keterangan Azhar,
Hampir 95% gajah sumatera berjalan di zona maut. Artinya kebanyakan gajah hidup bukan di kawasan konservasi. Kemungkinan gajah untuk terluka dan mati karena ulah manusia sangatlah besar. Harus ada kawasan konservasi semacam taman nasional, cagar alam, atau suaka marga satwa. Artinya kawasan yang dilarang untuk dimasuki. Agar gajah terlindungi habitatnya.
Penanaman pohon sawit di kawasan perjalanan (home range) gajah, selain merusak tanah dan air, juga mengundang gajah untuk menetap lama. Sawit merupakan salah satu makanan favorit gajah, selain padi dan ketan tentunya. Jadi wajar, jika konflik terjadi. Manusia berang karena usaha tanaman sawitnya dimakan oleh para gajah. Namanya saja sudah disuguhkan, ya wajar dimakan.
Secara tidak langsung, kesalahan tata ruang kabupaten mendorong terjadinya konflik gajah dengan masyarakat. Pemerintah membuka APL (Area Pengelolaan Lingkungan) Kabupaten. Ketika di wilayah tersebut ada gajah namun kemudian dibuka lahan sawit maka akan terjadilah konflik. Ketika ruangnya di hutan diganggu, otomatis gajah tergeser masuk kampung. Hal ini disebabkan karena perusahaan kerap memiliki dana yang besar untuk mencegah terjadinya konflik, misalnya dengan cara menggali parit di sekitar wilayah kebun. Disebabkan oleh tempatnya yang telah direbut, akhirnya gajah lari ke masyarakat. Dalam hal ini yang dirugikan pasti masyarakat. Oleh sebab itu, kunci utama manajemen gajah terdapat di RT/RW, kebijakan kabupaten terkait tata ruang akan mempengaruhi provinsi.
Source
Solusi lainnya yang bisa digunakan untuk menghindari konflik gajah adalah dengan menanam tanaman yang tidak disukai gajah sehingga gajah tidak menetap lama di wilayah tersebut dan tidak merusak perkebunan warga. Danurfan, warga Aceh dari lembaga konservasi alam yang memilik moto lelaki di secangkir kopi dan konservasi, menuturkan:
Jenis tanaman yang tinggi nilai jualnya namun tidak disentuh oleh gajah adalah lemon dan kopi.
Dengan kata lain, selain pengaturan tata ruang, masyarakat harus jeli dalam memilih jenis tanaman yang akan ditanam agar kelak tidak mengundang gajah untuk bertandang ke perkebunan mereka. Sehingga konflik antara manusia dan gajah dapat diminimalisasi.
Azhar juga menambahkan bahwa:
Ada satu kebiasaan gajah yang jarang diketahui masyarakat umum. Gajah senang menjilat garam. Hal ini disebut dengan istilah Salt Lick.
Dalam pemberitaan kita kerap diperdengarkan bahwa gajah bertindak secara agresif. Bukan hanya hasil kebun warga yang dilumat namun rumah dan rangkang-rangkang perkebunan ikut dirusak. Namun sangat sedikit masyarakat yang tahu bahwa gajah masuk rumah warga bukan karena berang atau pun dendam namun hanya sekadar mencari garam. Hal tersebut terjadi secara alami karena gajah sangat kuat merespon bau garam. Azhar memaparkan,
Jika meninjau kerusakan rumah disebabkan oleh gajah, semuanya di mulai dari dapur. Seperti kejadian di Geumpang, Peusangan, Langsa. Bagian yang selalu rusak adalah dapur. Gajah masuk untuk mencari garam (Natrium Chlorine). Satwa herbivora seperti gajah membutuhkan garam untuk mendapatkan ketahanan tubuh. Biasanya garam didapatkan di kubangan. Gajah tahu di mana posisi garam di alam.
Saran
Sosialisasi terkait perlindungan satwa liar, seperti gajah, di negara berkembang tergolong sulit. Hal ini dipengaruhi oleh minimal 2 faktor yakni tingkat pendidikan dan hobi.
Adi Prasetya, di dalam bukunya, menuturkan bahwa,
Tingkat pendidikan seseorang akan sangat mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap pesan kampanye sosial dan tindakannya terhadap satwa liar.
Artinya respon seseorang terhadap pentingnya perlindungan gajah dipengaruhi oleh seberapa besar pengetahuan dan informasi yang ia dapatkan. Jadi wajar saja jika masih ada masyarakat yang belum sadar dan peduli, mungkin ilmu mereka masih terbatas. Oleh karena itu kampanye dan edukasi masyarakat menjadi penting.
Selain itu, hobi untuk memburu dan mengoleksi satwa liar menjadi kendala lainnya dalam hal perlindungan gajah. Mengubah kebiasaan itu memang sulit. Ketika masyarakat tertentu sudah terbiasa memburu atau mengoleksi satwa liar maka solusi paling logis yang dapat ditempuh adalah dengan memperketat penjagaan dan pemantauan satwa oleh pemerintah. Kehadiran otoritas pusat menjadi penting. Jika tidak, akan menimbulkan masalah. Adapun Aceh yang memiliki otonomi khusus, KPH (Kesatuan Pengelola Hutan) haruslah berperan secara maksimal.
Jadi, jika ditanyakan, apa solusi paling minim yang bisa ditempuh seorang steemian dalam melindungi satwa gajah dan hutan?
Saya rasa terdapat 2 tindakan sederhana yang dapat dilakukan. Pertama, re-steem tulisan ini untuk menyebarkan pengetahuan dan informasi ini kepada masyarakat dan steemian terdekat . Kedua, ngopi. Iya, di Leuser Coffee. Karena setiap kali kamu ngopi di sana artinya kamu telah turut berkontribusi dalam penjagaan satwa dan pelestarian hutan. Mudahkan? Jadi, mulailah dari hal-hal sederhana seperti itu. Selamat mencoba ya.
Lindungi Leuser, Gajah Selamat, Manusia Aman.
For the @betterperson
See you next time~
Sejujurnya setelah 20 hari baru malam ini kubaca habis tulisanmu Yu. Hal ini juga disebabkan adanya keterpanggilan jiwa dan moral untuk berdamai dengan alam.
Terlebih lagi aku ada rencana menulis profil CRU DAS Peusangan yang dihuni oleh 3 gajah ramah bernama Ida, Arjuna dan juga Rahmat. Sebagai tambahan informasi, selain lemon dan kopi, Gajah juga benci serai wangi. Parit yang rencananya dibuat untuk membatasi pergerakan Gajah masuk ke daerah pemukiman ternyata sia-sia karena gajah merupakan hewan ketiga tercerdas setelah simpanse dan lumba-lumba, jadi gajah akhirnya bikin jembatan untuk melewati parit yang sudah dibuat dengan dana milyaran. Wah panjang lah ceritanya, bisa bikin satu postingan.
Informasi sarat gizi, sepertinya selain resteem perlu disebar ke medsos lainnya supaya lebih banyak yang teredukasi.
Walau profesi Kakak sangat dekat dengan gajah, ternyata Kakak juga baru paham mengenai garam tadi. Taunya beberapa mamalia memang diberi asupan garam untuk menghindari beberapa defisiensi nutrisi.
Wah, bener kak, ide yang bagus.
Terima kasih sudah bertandang. 😊
Kalau hutannya rusak, konflik manusia dengan gajah tak terelakkan.
Iya, benar. Padahal selalu ada cara untuk hidup berdampingan bersama gajah secara damai. Syaratnya cuma satu, manusia jangan serakah, itu aja.
Wah, banyak banget informasi baru yang didapat dalam tulisan ini. Terima kasih sudah berbagi ya kak.
Oke, Yel resteem ya.
Terima kasih kembali Yelli, sudah membaca dan menyebarluaskan tulisan ini. 😉
Mantap ayu
Terima kasih.
Cihuy dia kembali, hanya Gajah duduk yang bisa dipakai😃
Hahaha... terima kasih atas sambutannya. Udah lama ya, jadi rindu nulis di #steemit.
sukses terus better person
Wow... ternyata ini akun steemit abang. Terima kasih untuk ilmu dan doanya, bang. 😊
jangan lupa vote yang Bang Azhar....
Hahaha... thanks untuk pesan sponsornya kak. 😆
Ayu.. Tulisannya kereen.. Kapan2 ajak2 lah kalau ngopi di leuser coffee.. Hehe..
salam dari kawan lama.. 😊
Kiki? Ya ampun udah lama ya.
Makasih udah disapa.
Sip, insyaAllah nanti kita ngopi-ngopi di Leuser Coffee ya. 😉
aku nggak diajak ?
Hayuk, kapan ke Banda lagi?
segera lah hahaha, ada Bukber TEN nggak nanti ?
Banyak yang bilang bahwa gajah memiliki rasa dendam terhadap masyarakat karena beberapa alasan. Memang iya adanya. Segalanya terjadi juga karena ulah tangan manusia sendiri. Gak mungkin kan kita menyalahkan sang gajah?
Informasi dan pengetahuan baru nih. Ternyata garam menjadi salah satu sasaran gajah😊
Terimakasih atas pengetahuan dan informasinya Kak😊
Iya, quran juga bilang gitu.
Kerusakan di laut dan di bumi itu disebabkan oleh ulah tangan manusia sendiri. Semoga kita bisa ambil pembelajaran dari hal tsb.
Terima kasih kembali sudah meluangkan waktu untuk bertandang dan membaca ya.
Sama-sama Kak. Baguss sangat cara Kakak menulis😊 paham jadinya. Banyak pengetahuan baru😁
Minta izin re-steem kakak
Silakan. Terima kasih telah ikut menyebarkan info ini ya.
Sama-sama kak