Tidur Hari Raya Atau Sebaliknya

in #indonesia5 years ago

IMG_20190514_133511.jpg

MELULU TIDUR. Itulah pekerjaan tetapku selama empat hari ini. Sejak Syawal pertama, sepulang dari masjid dan kuburan kakek, nenek, dan ayah, aku pulang ke rumah. Salaman takzim dengan ibu beserta keluarga besar lainnya, yang cuma memakan waktu 25 menitan saja. Kemudian tidur. Bangun pas dhuhur. Lantas makan. Ngobrol. Sebatang dua rokok. Lalu pada pukul 15.09 aku kembali ke kasur.

Maghrib hampir jatuh ketika mataku terbuka tiba-tiba. Gorden jendela kamar yang tadinya tersingkap sudah tertutup rapi, begitu pun daun jendelanya. Perlu sekitar tiga menitan untuk memanggil kembali pikiran yang sebelumnya sempat bertamasya entah kemana manakala aku tertidur. Kesempatan ini kupergunakan juga untuk menggerakkan dua tanganku, semisal, tangan kiri mengucek-ucek mata sembari tangan kanan kuperintahkan turun ke bawah sekadar membetulkan letak sempak sekaligus mengecek keberadaan isinya.

Beranjak dari tempat tidur, dengan handuk tersampir di bahu, aku ke dapur, memasak air, dan sambil menunggu ceretnya bersiul tanda air sudah mencapai titik didih sempurna, kukunyah dua potong timphan buatan ibu pada malam hari raya. Setiap pulang hari raya, makan timphan adalah ritual perkulineran wajib yang hampir tak pernah alpa kulakukan. Aku menyukai juadah ini, sebagaimana aku menyukai menyaksikan ibu membuatnya. Lantas kuseduh kopi dalam gelas yang sedikit lebih besar dari sloki---tanpa gula.

Duduk di teras rumah sambil minum kopi dan merokok dan ngobrol dengan orang-orang rumah, sembari menyaksikan keponakan berlarian di halaman, sementara semburat senja yang bersinar dari sebalik dedaunan pohon belimbing berpantulan di kaca jendela, akan selalu menimbulkan kedamaian di hati. Menimbulkan kelegaan tak kasat mata, lalu kenangan-kenangan tentang rumah, tentang keriput ibu yang makin kentara, mengambang di pikiran. Ini alamat buruk, bisa memicu timbulnya bandang di pelupuk mata. Sebagai mitigasinya, buru-buru aku menyelinap ke kamar mandi.

IMG_20190316_102308.jpg

Azan maghrib. Malam. Aku keluar berjumpa teman-teman lama pukul 22.13, bertemu mereka di kedai kopi langganan di kota kecamatan. Bertukar kabar sambil berkelakar. Ngomongin tentang si anu yang telah dua istri, si itu yang beberapa bulan lewat tertimpa kemalangan, tentang potensi-potensi bisnis. Tapi yang bikin pembicaraan ini jadi alot dan penuh dengan sumpah serapah menggelikan, selalu berujung pada derai tawa, adalah ketika Jokowi dan Prabowo keluar dari mulut kami semua. Yang entah apa pemicunya dua tokoh yang tubuhnya menjelma kurcaci ini kemudian bertarung bebas di atas meja kopi. Nyaris sehebat pertarungan Khabib versus McGregor beberapa tahun lewat.

Hingga beberapa jam kemudian Jokowi dan Prabowo yang berubah jadi kurcaci hilang ghaib seiring semua kami beranjak pulang. Sudah dini hari.

Di rumah, aku harus mengetuk daun jendela kamar ibu, membangunkannya agar membukakan pintu. Aku menyesal harus melakukan ini. Tapi dalam omelannya, ibu tahu betul kebiasaanku: lupa bawa kunci. Masuk ke kamar aku tak langsung tidur. Kebiasaan selama bulan puasa masih terbawa hingga kini. Ketika matahari sudah agak tegak, mataku baru bisa terkatup. Dalam keadaan nyalang sejak dini hari-subuh-pagi buta hingga jelang terang siang, aku menghabiskan waktu dengan scrolling layar gawai, baca-baca atau nge-game, baru kemudian terbangun--dengan agak terpaksa oleh sebab panggilan ibu.

Sudah dhuhur lagi. Syawal hari kedua. Begitu seterusnya selama empat hari ini. Dalam sehari semalam, selama 23 jam 56 menit 4,09 detik, sepertinya aku telah membiarkan pikiran keluar dari batok kepala selama 15 jam lamanya. Aku siuman di sisa waktu yang ada.

Sort:  

sekadar membetulkan letak sempak sekaligus mengecek keberadaan isinya.... lalu bergumam sekadarnya "masih ada nya kau di situ" hehehe

Ritual penting itu. Hahaha