Yang Berlalu di Bandung

in #indonesia7 years ago (edited)

P_20180116_111009.jpg

Untuk sampai ke stasiun Bandung, menghabiskan waktu tiga jam dari Gambir, Jakarta. Saya mengambil tiket di pagi hari, guna melihat pemandangan alam sepanjang perjalanan. Kereta api kelas ekonomi kali ini juga sudah rapi. Tidak ada lagi yang berjualan dan menawarkan makanan. Ini hal baru bagi saya yang lama tidak naik kereta sejak pulang ke Aceh, setelah menyelesaikan sekolah di Yogyajarta. Rute ke Bandung di tempuh sekitar tiga jam. Berhenti pada dua stasiun, Bekasi dan Purwakarta.

Setelah dari Purwakarta, terpampanglah pemandangan indah di kanan kiri. Sawah hijau bersusun. Sungai jernih mengalir. Dari atas jembatan yang dilalui kereta, terlihat anak-anak yang pulang sekolah dengan riang. Satu di antara mereka melambaikan tangan kepada kereta api yang melewati kepalanya. Saya melihatnya. Sepertinya lambaian tangan itu kepadaku. Damai sekali rasanya.

Saya mengambil gawai dan memutar beberapa lagu. Tanah pusaka, Ibu Pertiwi, Rayuan Pulau Kelapa. Itu lagu-lagu yang mengambarkan tentang Indonesia. Tidak hanya saya yang kemudian terpesona dengan pemandangan itu. Penumpang yang lain juga.

Duduk di depan saya ada satu keluraga etnik Tiongha. Satu keluarga lengkap. Kakek- nenek bersama puterinya yang memiliki dua anak laki-laki. Kakek dan cucu laki-lakinya yang kecil, sekita enam tahun duduk di depan saya. Berhadap-hadapan. Sedangkan nenek, anak dan cucunya yang sudah remaja duduk di barisan sebelah.

Perjalanan tiga jam itu terkadang membuat kakek itu tertidur. Dia memakai kacamata hitam. Cucunya yang duduk pas di depan saya terlihat menikmati perjalanan. Suatu kali, dia hendak bermain gawai. Tapi ibunya yang duduk di kursi lain, berdiri dan melarangnya. Anak kecil itu tidak membantah. Tidak lama, dia bangun, mengambil buku di dalam tasnya. Karena tasnya di samping kursi saya yang kosong, neneknya yang duduk di sebelah sana, memberi kode untuk mengucapkan kata-kata sopan kepada saya. Mungkin maksudnya, mengucap kata permisi.

Anak itu terlihat segan. Orang asing dalam benaknya kepada saya. Namun dia memberi isyarat sopan. Dia lalu larut dalam bukunya. Saya tidak begitu ingat tentang apa bukunya. Seperti buku ajar sekolah dasar dalam bahasa Inggris.

Kereta berjalan cepat. Kadang juga lambat. Bila sudah di atas jembatan. Saya melihat alur pemandangan. Sawah, sungai dan gunung. Semua berjejer. Kereta juga sudah terlihat lebih baik. Secara rutin, akan datang petugas yang mengambil sampah.

Sesampai di stasiun Bandung yang tidak terlalu besar. Mulai terlihat keramaian. Karena stasiun ini juga melayani jalur pendek.

Turun dari kereta. Oksigennya langsung beda. Bandung sedikit lebih dingin dari Jakarta. Di depan pintu keberangkatan ada penjual koran dan majalah. Tidak ada orang yang datang menghampiri. Begitu juga ketika malamnya, ketika saya pulang nanti. Penjual itu masih ada, namun masih juga sepi. Ternyata, zaman internet membuat media kertas terhoyong-hoyong.

Di Bandung, saya melintasi beberapa ruas jalan utama. Juga melewati jalan Dago yang terkenal itu. Ramai para remaja. Semuanya terlihat ceria. Angkot sangat ramai. Kota itu pun serasa semakin sesak.

Saya pernah mengunjui Bandung sembilan tahun yang lalu, namun tidak ramai seperti sekarang. Sayapun akhirnya memutuskan kembali ke stasiun. Duduk rapi di sana, sambil menunggu kereta jurusan Jakarta.

Ketika memasuki ruang tunggu, ada pengamen yang lagi beraksi. Dengan gitar, sound kecil tapi bagus dan dua mic.

Dia mulai memainkan satu lagu dari Iwan Fals, Belum Ada Judul. Suaranya bagus. Di depannya ada kotak, tempat uang dari para orang yang hilir mudik di stasiun.

Kereta yang saya tunggu masih lama, jadi saya lebih memilih duduk dan mendengar dengan khidmat alunan suara dan akustiknya itu. Selesai sebuah lagu. Saya meminta dibawakan lagu Andaikan Kau Datang, dari Koes Plus.

Dia setuju saja. Lalu mulai mengalunkan nada dan lirik.

Tidak menunggu lama, saya bangkit, mengambil satu mic dan mengisi suara dua. Khas Yok Koeswoyo. Harmoni suara kami ternyata tidak main-main. Pengamen itu surprise karena suara ala Yok saya itu itu begitu memukau – menurut saya.

Namun sayangnya, kereta sudah akan berangkat. Padahal mau tarik satu tembang Koes lagi.

Sort:  

Bandung is a pleasant place to live and has a lot of sightaeeing

That is true. One I will be back again here.

Uhuk! Uhuk! Haha!

Kapan kita lawan?

Kiban lawan, ka di atas angen

Asal ga ganti nomor hp, Bung. Asal ditelpon, selalu ga aktif.

PS lon golom na lawan di Aceh. :P

andalan meunan ka talo maen gasa asai maen pasti sabe na koleksi kartu mirah ngen kuneng hahahahaha

Ngak ada yg bisa mengalahkan @bungalkaf dalam menyanyikan lagu koes plus. Kalau maen PS kadang na peluang haha

PS-lah! Dia selalu ngejek orang daerah. Awas kalau saya ke kota. Saya tantang dia!

Hoe ka @bungalkaf ??

awak daerah hahahahaha nyan ka jeut keu tagline bagi @bungalkaf keu droekuh klis

PS pun aku terbaik

awai gobnyan kreh bak ps jino pane lom hahahaha......

ureng dron 2 ka jeut follow lon jino akhir jih di approve cit hek that bak ta preh, abu nyo :-D

Alahai, Abu. Ka dari jameun ka tapakat. Yang penteng bek peng dikeue. Kerja ilee. Haha

Njan keu njan. Awai hoe??

Tetap Koes Plus anak mudanya. Paten!

Salam Jiwa Nusantara

Mantap kisah perjalanannya. Andai disertai dua tiga foto semakin renyah cerita yang disampaikan

Sepakat bang @teukukemalfasha. Bung Alkaf ini, agak gimana, entah malas ambil foto, entah apa.

Entah gimana

Siap bang. Akan kita maenkan.

Krak....cit meuri senior

Kamoe awak kerja di Jln. Abu Lam U.

njan kana gaya traveller

perle saboh web travelling saboh teuk. Cuma bek pulak jak wet2 2 thon sigoe. Ka rugoe web.