Bagian Keenam : Tradisi Intelektual Acehnologi Bab : 27 Tentang Cara Berpikir Orang Aceh

in #indonesia6 years ago

Assalamu’alaikum kawan-kawan,,,gimana kabarnya ??,,,semoga sehat selalu yaa,,

Hari ini saya berkesempatan untuk melanjutkan review buku Acehnologi Volume 3 Karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, PH.D bab : 27 tentang cara berpikir orang Aceh.

Bab ini bertujuan untuk menggali falsafah berpikir orang Aceh yang dikenal dengan istilah seumike ( berpikir ). Pendekatan yang digunakan adalah spiritual hermenetika ( ta’wil ) yang bermaksud melihat sesuatu pemikiran dari bentuk keaslian atau makna awal. Di samping itu, bab ini juga menggunakan pendekatan fenomenologi yang melihat sesuatu sebagai “things as they are”. Jadi, dapat dikatakan kajian ini lebih bersentuhan dengan falsafah ke-Aceh-an dalam memutuskan suatu persoalan kehidupan.

Beberapa kata/istilah yang paling sering diucapkan dalam kehidupan masyarakat Aceh seperti kata Bangai ( bodoh ), Carong ( pintar ), Hayeu ( hebat ), Ceumarot ( memaki ), Teumeunak ( mengujat ), Teumeutak ( memenggal ), Seumeupoh ( saling membunuh ), dan Reuboh ( rebus ).

Kontribusi berpikir masyarakat Aceh mengikuti wilayah dan status social. Artinya, orang Aceh menciptakan wilayah dan status social untuk saling berkonflik atau mencari aliansi sebanyak mungkin. Cara berpikir ini tentu saja bukan hal yang sangat dominan, karena kalau untuk mempersatukan masyarakat Aceh, sering digunakan ritual keagamaan dan social kebudayaan.

Bagaimana cara orang Aceh menciptakan pola pikir ??,,
Pola pikir dapat diwujudkan dengan beberapa aspek, yaitu : pertama, Setiap pola pikir untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat, mulai dari kawom ( kaum ) hingga nanggroe ( negeri ) dimulai dari bagaimana bersikap pada alam, agama, dan jiwa. Falsafah alam ( cosmos ) ini menjadi semacam titik kendali tingkah laku. Untuk menciptakan pemahaman, sesuatu yang melawan alam, sering diungkapkan dengan istilah hana roh. Hana roh adalah pemahaman yang muncul, jika dilakukan akan melawan alam. Jadi sesuatu dilakukan karena mengikut keinginan alam. Istilah roh, jika boleh, bisa diartikan ruh atau spirit yang merupakan sebuah kekuatan yang tidak tampak secara kasat mata.

Adapun aspek kedua adalah pola pikir yang didasarkan pada jiwa. Ini biasanya melahirkan konsep hana get ( tidak baik ) atau hana jroh. Pola pikir ini mengandaikan bahwa sesuatu perbuatan dilakukan berdasarkan pada ilmu-ilmu para bijaksanawan atau wise men. Mereka yang melahirkan sebuah tatanan pikiran yang kemudian ditububkan dalam bentuk hadih Maja. Konsep berpikir ini juga ada pada ureung tuha di Aceh, dimana mereka lebih banyak menasehati atau menegur dengan falsafah hana get atau hana jroh. Disini ukurannya adalah jika dilanggar akan melawan aspek-aspek betiniyah manusia. Terkadang larangan atau nasihat tidak masuk akal, namun jika direnungkan akan meresap kedalam dada seseorang. Karena itu, yang dihadang disini bukanlah akal pikiran, melainkan jiwa manusia.

Aspek yang ketiga adalah hanjeut ( tidak boleh ) yang berasal dari agama. Cara berpikir hanjeut ini menjadi negosiasi terakhir, setelah hana roh dan hana get tidak berjalan dalam masyarakat. Aspek ketiga ini sebenarnya ingin diformalkan dalam bentuk penerapan syari’at islam di Aceh. Artinya, semua kendali kehidupan diurus dari sisi ini. Namun, agama ini kemudian berfungsi tidak hanya mengatur masyarakat, tetapi juga semua wilayah privasi. Ide ini kemudian banyak ditentang , khususnya mereka yang menginginkan adanya liberalisasi pemikiran di Aceh.

Tampak bahwa ketiga model ini telah hilang dan tidak begitu memiliki fungsi dalam masyarakat Aceh. Hana roh yang dipahami sebagai spirit dan relasi manusia dan alam, tidak mampu dimaknai oleh generasi sekarang, kususnya mereka yang ingin mengedepankan aspek resionalitas dalam memahami alam. Pola penyebaran demoralisasi aspek pertama ini juga berdampak buruk pada aspek kedua yaitu hana get. Ketika hana get dan hana roh tidak bisa berjalan seiring, diapun memiliki dampak pada aspek ketiga yaitu hanjeut. Akibatnya ketika alam-jiwa-agama tidak menjadi dasar pikir masyarakat Aceh, maka struktur social menjadi rapuh. Akibatnya adalah rakyat tidak memiliki pemimpin spiritual yang mampu memahamkan diri mereka pada falsafah hana roh, hana get dan hajeut.