Bagian Kelima : Fondasi Peradaban Acehnologi Bab : 26 Tentang Makna dan Peran Bahasa Aceh

in #indonesia7 years ago

Hari ini saya berkesempatan untuk melanjutkan menulis dari hasil bacaan buku Acehnologi Volume 3 Karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, PH.D bab : 26 Tentang Makna dan Peran Bahasa Aceh. Bab ini mendiskusikan tentang penggunaan bahasa dalam kehidupan masyarakat Aceh. Salah satu persoalan di dalam mendiskusikan bab ini adalah penggunaa bahasa Aceh di dalam ruang public tidak menjadi hal yang cukup penting. Bahasa ini tidak lagi digunakan dalam kegiatan formal. Sehingga wujud bahasa Aceh lebih menjadi bahasa rakyat, ketimbang bahasa resmi protokuler. Karena itu, karena telah menjadi bahasa rakyat, maka kekuatan daya tawar bahasa ini pun tidak memiliki dampak atau pengaruh yang cukup besar dalam tatanan berpikir orang Aceh pada era modern ini. Bahasa tubuh menjadi hal penting sebagai salah satu bahasa simbol dalam tradisi masyarakat Aceh.

Bahasa Aceh berada dikondisi yang amat memprihatinkan. Nasib bahasa Aceh hampir sama dengan nasib bahasa Melayu di Singapura atau di Thailand Selatan. Di Singapura bahasa resmi yang kerap digunakan adalah bahasa Inggris, sementara bahasa Cina menjadi begitu dominan. Hal ini dikarenakan Singapura merupakan Negara kecil yang dikuasai Cina yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Demikian pula, bahasa Melayu di Thailand Selatan juga hampir punah, karena pemerintah melakukan berbagai upaya supaya bahasa Thai menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari sekolah hingga pasar.

Posisi bahasa dalam suatu komunitas amat penting. Sehingga peneliti antropologi social, ketika ingin mendalami pikiran suatu masyarakat, cenderung memulai dengan memahami bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Proses pemahaman ini, bukan semata-mata untuk memahami pengaruh bahasa dalam kehidupan social, tetapi juga konsep-konsep dan simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat tersebut.

Terdapat tiga teori besar tentang asal usul bahasa, yaitu : pertama, aliran teologis yang menganggap manusia bisa berbahasa karena Anugrah Tuhan dan pada mulanya tuhan yang mengajarkan pada Adam, nenek moyang seluruh manusia. Kedua, aliran naturalism yang memandang bahwa kemampuan berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar, maupun berjalan. Ketiga, aliran konvensionalis yang menyebutkan bahwa bahasa merupakan sebagai produk social.

Fondasi kebudayaan dan peradaban adalah bahasa. Maka dapat dibayangkan bagaimana nasib suatu kebudayaan dan peradaban, jika mereka tidak lagi mempergunakan bahasa mereka, baik bahasa formal maupun informal. Keberadaan bahasa, seperti bahasa Inggris telah menjadi bahasa internasional, dimana disebut bagian dari pembentukan planetary civilization. Sekarang apakah bisa dibayangkan jika manusia tidak menggunakan bahasa inggris, jika mereka ingin membuka hubungan antara Negara di peringkat internasional ? karena itu merupakan factor bahasa menjadi sangat penting di dalam membangun relasi, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional.

Bahasa Aceh bukan lah bahasa nasional ataupun internasional. Namun, Aceh pernah menjadi pusat peradaban yang paling besar di Asia Tenggara, yaitu pada abad ke- 17. Walaupun saat itu bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu-Pasai, namun keberadaan bahasa Aceh telah menciptakan suatu kebudayaan tersendiri bagi masyarakat Aceh. Di kawasan urban, tingkat penggunaan bahasa Aceh sudah hampir punah. Bahkan di wilayah paling privat sekalipun, yaitu keluarga, bahasa Aceh tidak lagi dipandang sebagai bahasa ibu. Dalam hal ini tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa “keluarga sedang mengalami kematian”.

Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali semangat berbahasa dan berbudaya Aceh maka yang perlu dilakukan adalah : pertama, memperkenalkan kembali jati diri ke-Acehan pada generasi muda. Kedua, menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa kebudayaan di provinsi ini. Ketiga, meyakinkan masyarakat Aceh bahwa bahasa Aceh adalah bahasa Endatu. Keempat, melakukan berbagai kajian mengenai bahasa Aceh. Dan yang terakhir adalah membuka dialog kebudayaan untuk memperhadapkan kekuatan filosofi bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa lain di dunia ini.