Ketika Foto Bercerita (1)

20 September 2011, Bandara Soekarno Hatta.

Sekilas ini hanyalah foto keluarga di bandara dengan Bapak - Ibu yang mau gak mau harus tersenyum, Mbak-mbak berjilbab dengan kening mengkilap, dan Mas-mas yang menolak senyum.

Tapi sebenarnya Mbak dengan kening bersinar itu akan segera terbang ke Italia untuk melanjutkan sekolah. Dan dia juga sedang menahan tangis.

Teringat sebulan sebelumnya ketika sedang mengajukan resign dari perusahaan biskuit, ada wejangan dari HRD yang sangat ia pegang.

"Nyanya, kamu akan pergi jauh sekali dari rumah. Mungkin kamu gak akan tahu betapa sakit hatinya orang tua kamu karena harus harus melepaskan putri mereka untuk waktu yang lama demi mimpi yang kamu kejar. Saran saya, jangan pernah menangis di depan mereka. Begitu kamu sedih, mereka akan lebih sedih dan akan khawatir ketika kamu jauh."

Akhirnya si Mbak pun tidak pernah terlihat bersedih. Sampai ketika dalam perjalanan ke bandara, si Mbak duduk di samping kanan Ibu. Sang Ibu tidak berkata apapun. Tangan kanannya hanya memegang tangan kiri anaknya dengan erat. Membuat si Mbak ingin memeluk Ibu erat dan membawanya turut pergi.

Di bandara, Mbak berpamitan dengan semua orang dengan tampang senang.

"Aku kuat," yakin si Mbak.

Sampai akhirnya giliran ia harus pamit ke Ibu.

Ibu memeluk si Mbak tanpa kata. Lama. Hanya terdengar napas Ibu yang berat dan semakin cepat. Si Mbak tak tahan lagi. Ia pun menangis. Panjang. Sedih. Karena ia tahu tak akan bisa melihat Ibunya selama 2 tahun.

Akhirnya Ibu melepaskan anaknya itu dengan mata sembab.

"Baik-baik ya disana. Solat jangan lupa. Makan yang bener. Sehat terus. Jangan lupa SMS Mama pas sampe. Mama sayang Nyanya."

Iya, Ma. Nyanya pun sayang Mama.

Dan Mbak jidat bersinar yang bernama Nyanya itu masuk ke dalam ruangan check in dan terbang menuju mimpinya.