Tentang Dilan, Milea, Malala dan Teladan
Nyaris sebulan ini, kepalaku dirundung satu nama. Dilan. Dilan yang anak SMA dan tokoh novel remaja tulisan Pidi Baiq. Dilan yang kocak, konyol, garang tapi memesona. Dilan yang anak Bandung ditahun-tahun 1989-1990, dengan segala tawuran dan kegombalannya.
Aku lulus SMA Negeri di Jalan Solontongan, Buah Batu, Bandung. Lebih dari dua puluh tahun silam. Di grup sosmed (lahan pamer yang umum untuk kaum paruh baya milenial, haha), kawan-kawan satu angkatan di SMA sempat heboh membahas Dilan. Katanya super lucu, dan yang paling penting setting ceritanya adalah SMA kami yang Solontongan itu, yang dilewati angkot Buah Batu itu.
Aku kebetulan juga satu kampus dengan Pidi Baiq. Kesanku, Pidi hampir serupa dengan Dilan. Kocak, nyeleneh. Hanya gombalnya yang tidak. Tawurannya juga tidak. Pokoknya setahuku, dengan segala kerelatifan pengetahuan perseorangan, Pidi Baiq santun dan menghargai kawan-kawan perempuan.
Beberapa saat setelah film Dilan tayang, nada diskusi di grup sosmed mulai berubah. Garing euy, kata kawan-kawan yang sebelumnya menggebu-gebu mau nonton (dengan mengabaikan rasa jengah karena oom-oom dan tante-tante kok ikutan ngantri di bioskop bersama anak SMA kinyis-kinyis). Tidak sekocak yang digembar-gemborkan, kata kawan-kawan. Diskusi melebar pada lambang-lambang mazhab tertentu yang konon diusung Dilan. Disusupkan agar benak anak-anak SMA terkontaminasi. Lalu beredar posting nasehat seorang Ibu bagi pemudanya agar tak mengopi sifat Dilan. Grup-grup heboh lagi, panik lagi. Grup segeng, sekelas, sesekolah. Kali ini dalam nada genting crescendo. Makin lama makin lantang.
Aku mulai menyeringai. Sejak awal kontribusiku dalam diskusi Dilan di grup-grup sosmed hanya soal Pidi Baiq yang adik sekampus, dan orangnya lucu. Kalau kita baca buku-buku tulisannya, kita akan menangkap kegesitan kreativitas penulisnya. Bukan lucu model slap-stick, tapi humor yang memerlukan pemahaman.
Kelucuan inilah yang pra-nonton di-kepo-in, dan pasca nonton dihujat. Seringai musangku muncul ketika mendadak tiap postingan di setiap grup menemukan kenegatifan dalam Dilan. Posting yang satu “analisa”nya lebih tajam daripada posting sebelumnya.
Ini bukti platform sosmed memunculkan kekuasaannya. Karena setiap orang merdeka untuk mengungkapkan pendapat, bebas menganalisa, sosmed jadi hiruk pikuk. Semua bersuara, semua harus didengar. Setiap isu populer, seperti Dilan, botak tandas di”analisa”. Yang menarik, untuk setiap isu, alat analisanya sama. Jadi kadang-kadang seperti menganalisa unggas dengan tolok ukur untuk mamalia.
Awalnya kegirangan menemukan tokoh nostalgia masa remaja, mengerucut jadi “penemuan” isme-isme terlarang dalam ikon budaya pop. Beberapa saat semua sibuk meratapi zaman yang kian renta. Cemas akan nasib anak cucu. Lalu doa kroyokan, semoga keturunan dijauhkan dari mara bahaya. Dan ditutup emoji jempol berderet.
Saudara-saudara, selamat datang di era masyarakat parno. Paranoid. Para pakar dalam masyarakat parno piawai menganalisa produk budaya modern dan menemukan konspirasi di sana. Lalu menyebarkannya sebagai bukti sahih dekadensi moral milenial. Tanpa mengemukakan jalan keluar dari persoalan yang mereka sebut ada. Semua atas nama menyelamatkan generasi penerus.
Satu-satunya yang berhasil dilakukan para “pakar” masyarakat parno adalah menciptakan kegelisahan di kalangan netizen. Terutama netizen dengan koneksi terbatas pada sumber informasi—baik karena keterbatasan akses mau pun kemauan untuk belajar lebih jauh. Keogahan belajar ini membuat mereka sulit melihat, sebenarnya sejauh apa pengaruh ikon pop ini pada anak-anak mereka. Apa mereka (yang benar-benar kenal anak-anaknya) memang perlu kuatir akan pengaruh ikon pop pada kepribadian anak-anak mereka?
Aku perantau di Aceh. Tapi si perantau ini mendapat kehormatan tak terduga. Beberapa remaja luar biasa, memintaku menjadi pembimbing mereka dalam organisasi. Usia mereka, termasuk ketuanya, tak lebih tua daripada 16 tahun. Sejak titik nol mendampingi kegiatan mereka, sampai sekarang, aku tak berhenti dibuat angkat topi. Semangat, kerja keras, idealisme yang mereka tunjukkan skalanya bukan lagi skala remaja. Orang dewasa pun belum tentu bisa. Anak-anak ini sanggup menentukan arah organisasi, menyusun agenda kerja dan punya etos kerja yang sehat. Mereka dengan ikhlas rapat hingga jauh malam membereskan agenda kerja. Rapat yang memang terpaksa dimulai sore karena mereka harus sekolah dan les sampai siang. Semua itu tanpa imbalan, kecuali kepuasan jiwa melihat kerja selesai. Orang dewasa pun banyak yang ogah!
Dengan melihat anak-anak ini, aku yakin remaja Indonesia masih punya otak. Dapat membedakan hitam-putih. Bedanya Dilan yang tukang gombal dan Fahri (Ayat-ayat Cinta) yang berapi-api membela Islam di atas metro. Apalagi beda Milea dengan Malala yang Yousafzai itu. Kurasa mereka tahu, tidak adil memperbandingkan Milea yang jelas gadis fiksi dan Malala yang dapat Nobel Perdamaian di usia lima belas. Platformnya saja sudah beda. Kurasa mereka juga paham bahwa Pidi Baiq menulis Dilan untuk hiburan. Bukan untuk jadi template.
Mereka yang ribut kuatir anak-anak meniru Dilan, sebenarnya menghina anak-anak mereka sendiri. Kalau mereka yakin telah memberikan bimbingan akhlak dan budi pekerti yang damage-proof, yang dapat menjadi pegangan menghadapi kendala hidup, kenapa sih mesti kuatir diracuni Dilan yang tokoh fiksi? Adakah mereka kuatir tentang Harry Potter mempengaruhi kepribadian anak-anak mereka? Harry Potter itu meyakini kekuatan lain selain Tuhan, lho. Kan itu topik konspirasi menarik untuk diusung dalam sosmed? Atau kali ini pisau analisa para pakar masyarakat parno gagal melihat “pesan tersembunyi” negatif di balik Harry Potter?
Selow aja kalee, kata anak-anak muda sekarang. Kalau semua yang dilihat dan didengar dicari negatifnya, sengsara banget hidup ini. Yang penting jangan berhenti belajar, supaya pisau analisa kita adil dan seimbang. Cemas dan ribut di sosmed tidak ada gunanya, kalau bikin kita malah asyik diskusi pegang android dan lupa tanya anak kenapa pulang telat.
Ada alasannya Tuhan menciptakan warna merah jambu. Ada alasannya kenapa warna itu ada pada matahari terbit. Kalau Yang Maha Kuasa ingin kita curiga terus, berpikiran negatif terus, matahari terbit pasti warnanya hitam. Supaya kita semua langsung depresi saat bangun tidur.
Wow wow..kerennya informasi dlm postingan ini, saya suke diksinya...teruskan perjuangan..salam sukses.
Wahhhh ada bung @bahagia-arbi. Terima kasih sudah mampir! Banzai, mari berjuang bersama. Mohon petunjuknya, suheng!
Naskah digitalnya udah ada, tapi bleum sempat baca....
Lucu, sih. Kalau menulis, Pidi Baiq memang jago menyusupkan canda
Menarik sekali ulasannya.
Pisau analisa yg kita gunakan selama ini mgkn kurang tajam, sehingga blm mampu membedakan hitam putih, hanya yg ada abu-abu..
Hidup Milea dan Malala!! Haha
Yang saya lihat, mereka membedah dengan mengontraskan sifat-sifat ikon pop dengan tokoh nyata. Kerancuan terjadi karena, secara logika, membandingkan tokoh nyata yang hidup dan bernafas dengan ikon pop fiksi yang terserah pengarangnya mau dibuat bersifat bagaimana, adalah tidak sah menurut acuan/peraturan karya ilmiah mana pun. Kalau dasar hipotesanya saja sudah tidak sah, maka analisanya pun salah semua. Begitu, kan, @irwansyah270889? Terima kasih sudah mampir, senang bisa tukar pikiran!
Benar sekali @dianguci.
Budaya yg salah tentunya jk itu dijadikan sebuah tolak ukur. Fiksi dan fakta dua hal yang bertolak belakang. Mestinya itu tugas kita semua utk menyadarkan mereka yg terlanjur ngepop.
Owalah,..
Sayangnya, memang belum jadi budaya rupanya, untuk membiasakan berpikir ilmiah atau berpikir adil. Sebuah kebiasaan yang berakar dari penyuburan kepentingan individual. Tapi, berdasarkan pengalaman gaul dengan anak remaja, saya lihat remaja sekarang ada harapan untuk mulai bisa berpikir dan berlaku adil. Semoga saja!
Semoga saja.
Ada masa dimana mereka akan berdiri diatas batas hitam dan putih, sikap selanjutnya yg akan menentukan kepribadiannya,.
Senang berdiskusi dgn kamu kak @dianguci..
Awalnya saya ngga tertarik baca novel dilan. Eh ternyata lucu juga. Sekarang lagi baca novel yang ketiganya hehe.
Memang, untuk bisa (dan boleh) menelaah, kita harus kenal dulu objeknya. Saya juga ada ketiga buku Dilan, haha!