Berburu Keberkahan

in #indonesia7 years ago (edited)

DSC_0537.JPG
foto: Akib dan Biyya membersamai Ayah dan Bunda memburu keberkahan

Hati kecilku kerap tergugah setiap kali mendengar pertanyaan, apakah lagi yang diburu selain keberkahan?

Setiap kali diberi kesempatan merenung sendiri, berkontemplasi, intropeksi diri, pertanyaan yang pertama sekali muncul adalah itu. Seringkali akhirnya keputusan-keputusan bermuara pada pertanyaan tersebut. Salah satu yang awalnya menyulitkanku menjadi pemimpin adalah, kecepatan dalam mengambil suatu keputusan. Lalu aku belajar dari kelemahan tersebut dengan mengunggah satu pertanyaan kunci dalam mengambil sebuah keputusan. Berkah atau tidak?

Keberkahan tersebut bagi awam sepertiku tentu saja merujuk pada kenyamanan hati dan kebermanfaatannya bagi diri sendiri dan orang terdekat. Lalu tidak pula mengganggu ketentraman orang lain, syukur kalau keputusan tersebut ternyata cakupan manfaatnya lebih luas.

Pertanyaan tersebut mengasah dan mempertajam intuisi, melembutkan hati, dan menumbuhkan empati. Setiap orang boleh keras kepala tapi tidak keras hati. Karena jika tidak mampu menjaga konsistensi, maka harus siap dilambung angin Timur dan Barat.

Sigap dalam bersikap memang perlu, tapi tergesa sangat tidak dianjurkan. Menyegerakan dan tergesa-gesa mungkin terlihat sama, tapi tentu harus dibedakan dengan saksama.

Di mana ketika kita pada akhirnya mengambil sebuah keputusan untuk sebuah kemaslahatan, harus diyakini di sanalah letak sebuah keberkahan. Aku ingin memgambil contoh kecilnya, tapi akan terlalu banyak yang baper kalau dimulai dari menuliskan cerita keputusan menikah di usia yang kata orang kini menikah dini. Jadi, kupikir ada baiknya melewatkan sesi itu dan melompat ke peristiwa awal-awal kami menikah. Agar terdengar seru, izinkan aku mendramatisir sedikit.

Siang itu terik, bulan Juli memang keras, ya? Kata Sapardi Djoko Damono, adakah yang lebih tegar dari hujan di bulan Juni? Eh tapi ini Juli.

Aku dan suami adalah sepasang mahasiswa kere yang menanti bus damri Lingke-Darussalam setiap hari. Nilai T atau ‘Tangguh’-bukan tangguh dalam artian tegar seperti hujan bulan Juni- tapi ditangguhkan, tidak diberi nilai karena saat itu suamiku bekerja mengumpulkan sedikit modal untuk menikah dan abai sekali dengan jam kuliahnya. Dosen mana yang tak murka, coba? Nah, nilai tersebut seringkali membuat wajah suamiku keruh dan enggan singgah ke kampus untuk menyelesaikan segunung tugas akademisnya. Aku sendiri tergolong mahasiswi rajin -terutama rajin membaca buku pernikahan masa itu, di samping membaca buku teks kuliah. Aku terus saja merayu suamiku untuk menemui Dosen walinya mencoba menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah.

Suamiku justru lebih suka berlama-lama di kampus dan laboratorium mikrobiologi tempat aku melakukan penelitian skripsi. Ia malah sangat mahir melakukan Pewarnaan Gram dan membuat Dosen Pembimbingku bertanya seperti kebanyakan orang , “apa ia salah masuk jurusan?"

Baiklah, tak usah dibahas mengenai kesukaan anehnya tersebut. Kembali ke hari itu, kami lelah bukan main. Aku dengan segunung buku teks dan ia masih dengan pikiran berat nilai T. Terbayang wajah sangar Dosennya yang membuat semakin malas ke kampus. Kami akhirnya istirahat siang di sebuah masjid di pusat kota. Mengambil sebuah motor keluaran lama kala itu yang dipinjam pakaikan untuk suamiku selama ia bekerja paruh waktu di sebuah kantor organisasi. Syukurlah, kami tak perlu lagi berdesakan di damri atau labi-labi.

Kami tidak langsung pulang, tapi mencoba ke warung internet untuk menambah referensi skripsiku waktu itu. "Aduh, Dek, uang di dompet habis..." kata suamiku sambil meraba dompet di kantong celananya.

Yah, baiklah. Apa boleh buat kami kembali ke masjid tempat kami salat zuhur tadi. Hanya ada monolog-monolog dalam kepala kami. Aku yang disleksik tentu saja tak terlalu memikirkan mengenai bagaimana nasib kami hari ini dan esok ketika tak ada lagi uang, aku sibuk sekali memikirkan kesimpulan hasil uji resistensi antibiotik yang kukerjakan tadi pagi di laboratorium.

foto ayah wisuda.jpg
foto: akhirnya ia wisuda

Kurasa lain pula pikiran suamiku, tentu ia berusaha keras bagaimana cara mendapatkan pinjaman untuk bisa melanjutkan hidup kami esok. Tapi ia tipikal orang yang susah sekali meminjam uang. Di satu sisi tentu ia bersyukur memiliki aku yang tidak pernah mempermasalahkan materi, di sisi lain mungkin ia bingung juga istrinya ini seperti mati rasa. Memang. Aku tak memiliki sense of numbering, hal itu baru kusadari sekarang. Bagiku yang terpenting ia ada di samping dan tidak lari ke mana-mana. Menemaniku mengerjakan tugas-tugas kuliah sambil sesekali ke rental komik, novel, dan CD untuk rehat dan bercerita tentang apa saja. Yang bukan tentang kita...mungkin tentang paus di laut. Malah nyanyiii. Yuk, fokus! Kembali ke laptop!

Motor ringsek kami tiba sesaat setelah azan Asar berkumandang. Setelah rapi dalam barisan jamaah dan menyelesaikan salat Asar, aku bergegas melipat mukena, tentu saja setelah doa-doa panjang kulepaskan terbang ke Arsy. Tak lupa aku sebut satu per satu apa yang kuinginkan, terutama hal mendesak. Sering kuingatkan pada suami, "sudah berdoa? Dilafazkan satu-satu atau tidak?"
Benar Allah Maha Tahu, tapi bagiku sangat penting diri kita juga tahu apa sebenarnya yang kita inginkan dan menyugesti diri dengan doa-doa yang kita lafazkan sendiri. Aku khawatir, jangan-jangan aku justru lupa apa yang kuiinginkan. Sebab banyaknya pikiran, sebab banyaknya keinginan, ditambah dengan disktraksi parah. Kurasa aku tak mungkin bisa menyelesaikan kuliah hingga profesi dengan menyambi menjadi seorang istri dan ibu nantinya.

bunda wisuda.jpg
wisuda profesiku juga setelah anak pertama kami lahir, foto ini sudah diunggah ke FB-ku

"Bang, tunggu, jangan pulang dulu." kata Efrar yang duduk bersila di samping suamiku. Aku tak ingat persis apa ia kembali ke dalam ruangan kerjanya di dalam masjid atau langsung merogoh kantongnya. Ia mengeluarkan lima lembar uang seratusan dan menyerahkannya pada suamiku "Utang Efrar, Bang. Maaf ya, baru bisa bayar sekarang."

Aku tak ingat persis juga bagaimana wajah suamiku ketika itu. 500 ribu bukan jumlah cilet-cilet masa itu. Lagi pula wajahnya menghadap ke Efrar, jadi aku tak bisa merekam air mukanya. Yang pasti setelah berbalik ke arahku ia sudah sumringah dan berkata "Yuk, pulang, Dek. Kita beli makan malam dulu, ya. Adek mau makan apa?"

Lalu...apa yang kau tunggu? Apalagi yang dicari selain keberkahan. Terutama keberkahan dalam berumah tangga. Mengapa berlama-lama mencari seonggok berlian dan emas untuk mahar. Bukankah harusnya yang kau cari adalah keberkahan?

Begitu juga akhirnya saat ia memilih mengikuti saranku memikirkan bagaimana memiliki anak asuh walau penghasilan kami tidak tetap. Dari sana pula aliran-aliran keberkahan terasa menyejukkan. Semoga ini adalah wujud syukur kepada Allah dan bisa memotivasi teman-teman yang sedang ragu-ragu melangkah untuk sebuah keputusan menuju ladang keberkahan.

Aceh Delegation 2015-6.jpg
foto: suamiku berdiri nomor tiga dari kiri, sesaat setelah mendarat di Negeri Kangguru mendampingi anak-anak asuh.

Terima kasih sudah berkunjung dan membaca hingga tuntas. Salam penuh keberkahan.

Country Wedding Email Header (1).jpg

Sort:  

Cute baby,selamat jga atas wisudanya
Salam steemian
@romiyulianda

Waah terima kasih. Sudah lama sekali wisudanya long long time ago...

Hahhaa long time no see :D

Cerita-cerita seperti ini kalau kita ceritakan pada orang yang 'cukup' terdengar sepele ya, Kak? Tapi Ihan sering merasakannya, takjub sendiri, selalu ada cara bagi Allah untuk memenuhi kebutuhannya. Tinggal bagaimana cara kita menambah keyakinan agar rejeki mudah walau tak berlimpah, tapi kita tidak kekurangan. Dan yang paling penting ya itu tadi, berkah. Nice story...

Iya My Dear @ihansunrise. Keberkahan juga dari persahabatan dengan Ihan, dapat ilmu dan pengalaman yang banyak juga...rejeki berkah bagi Kak Aini.

Ada banyak kisah-kisah seperti ini hadir dalam kehidupan. Saat kita coba menahan terlalu dalam, rezeki seakan "hitung-hitungan" dan "pikir-pikir" untuk mampir. Saat tangan coba dibuka lebih lapang untuk kebaikan, banyak rezeki tak terduga yang melapangkan kehidupan pula.

Benar sekali, Az. Jadi jangan tahan-tahan kan, ya? Semoga tetap semangat kita memburu yang berkah, bukan yang banyak.

Semoga dimana pun kita berada selalu di limpahi keberkahan, aminn

Aamiiin...👍💝

Allah selalu punya cara untuk menolong hambanya. Kuncinya adalah sabar dan tetap bersyukur.

Insya Allaah 😊😊

alhamdulillah.... Semoga semakin berkah ya aini.

senang dengan pemikiran santaimu soal numbers dek.
soal yg itu, kayaknya kita punya kemiripan. Kakak nggak pernah panik kalau lagi bokek, dibawa santai aja... yakin sama Allah.

You know me so welllllll Akaaaak 😍

Ya Allah, kak Aini luar biasa membuat Yel melepaskan air mata dari kelenjarnya. Kayak nya perlu dikirim ke si dia ne tulisan kk.

Terima kasih sudah berbagi ya kak.

Tadi rencana kalau nggak dibaca Yelli mau kakak wapri adek kakak tu. Hahaha.

Ya Allah dek, pingin ngeja kata perkata mak jlebb sekali😢karena arti keberkahan bertambah kebaikan kata Imam Ghazali huwa huwa..terharuuuu..

Terima kasih, Kak. Iya, terkadang banyak belum tentu berkah. Maka diutamakan keberkahannya dulu, hehe...

Ini dia kenapa kk suka tulisan2 Aini, ditulis dengan ringan, berayun dan terselip makna yang membekas di jiwa!

Memburu keberkahan, itu yang paling utama. Thanks untuk tulisan ini, Aini, yang scr tak lgsg telah mengingatkan kk kembali. 😊

Mulaiii mulaii..nakal ya bikin kita kegeeran. Hobi kayaknya Kak Al ini 😅😅

Makasiih ya, Kaak. Belajar ngalir kayak ehm! 😝

Kakaaakkkkk....I am sending lots of love utk kk dan keluarga..

Semoga samara sampe syurgaaa... Diberkahi selamanya. Terharu Kali 2 bacanyq

Aamiiin 😍

Eaaaa Kak Mir mulai lebayy..send me lots of SBD as well. Buahahaha

Assalamualaikum

Wa'alaikumumussalam...