Acehnologi Vol 2:18 (Antropologi Aceh)
Pada kesempatan kali ini saya akan melanjutkan review buku acehnologi volume 2 tepatnya pada bab 18 tentang antropologi Aceh.
Pasca-tsunami, kedatangan warga asing ke Aceh semakin meningkat. Akan tetapi, sejauh ini konsentrasi warga asing lebih banyak terlihat di ibukota provinsi, sebagai pekerja LSM atau staf diplomat. Dalam bagian ini, ingin ditampilkan keberadaan warga asing dikawasan pantai Barat Selatan dan sampai ke pulau Simeulue. Tujuan bagian ini untuk menunjukkan bahwa studi antropologi Aceh sabagai bagian dari acehnologi juga dapat memahami perilaku orang asing di Aceh.
Sejauh ini, warga asing bebas berkeliaran di Aceh. Ada juga yang mengangkut hasil bumi ke luar negeri, dengan sepengetahuan pemerintah setempat. Dalam hal ini, istilah investasi adalah kata keramat yang sering dimunculkan diatas selimut operasi intelijen. Uniknya, hasil alam Aceh tidak diolah di Aceh, melainkan hasil mentah tersebut dibawa langsung ke luar negeri. Tidak ada kontrol dari pemerintah mengenai pengambilan hasil bumi Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah di Aceh tidak menganggap penting energi bumi sebagai bagian geo-strategi dan aset masa depan negeri ini. Kebiasaan yang terjadi adalah orang Aceh lebih suka diberikan sejumlah uang, kemudian sambil tersenyum mengatakan "silahkan ambil hasil bumi kami! ".
Orang Aceh sendiri tidak punya daya untuk mengambil hasil bumi di negara-negara Asia Timur. Adapun barang dari Asia Timur yang sampai ke Aceh adalah perangkat elektronik dan berbagai keperluan rumah tangga. Demikianlah tingkat berfikir masyarakat Aceh. Bangsa lain mengeruk hasil bumi Aceh, sementara uang mereka kita gunakan untuk membeli barang-barang impor dari negara-negara Asia Timur. Harus diakui bahwa semua perilaku ini merupakan bagian operasi intelijen, yang juga marak dilakukan di negara-negara lain.
Kajian antropologi dengan kedatangan warga asing ketempat tertentu merupakan dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Terlepas dari cara dan upaya orang asing menetap di Aceh. Namun strategi mereka hampir mirip dengan pengalaman para antropolog ulung pada zaman perang dunia I dan II. Mereka dikirim oleh negara mereka untuk membuka pemahaman tentang wilayah yang menjadi target. Kemudian mereka menyisir setiap aspek kebudayaan sebagai etnografer. Dalam konteks modern, polanya tentu tidak lagi seperti zaman dahulu kala, melainkan dilakukan dengan berbagai strategi lainnya.
Kemudian, salah satu unsur penting dalam penelitian antropologi adalah kajian terhadap budaya. Ini merupakan tugas utama antropolog dalam menafsirkan budaya pada suatu tempat atau kawasan. Karena itu, pendekatan antropologi sangat memungkinkan untuk menafsirkan budaya Aceh. Untuk memudahkan wilayah kerja antropologi Aceh, berikut dibagikan wilayah kebudayaan Aceh. Wilayah pertama adalah kebudayaan masyarakat di kota Banda Aceh, yg merupakan wilayah yang urban di provinsi Aceh. Wilayah ini menjadi ajang pertemuan berbagai kebudayaan yang ada diseluruh kabupaten yang ada di Aceh.
Wilayah kedua adalah wilayah persawahan-pebukitan-pegunungan yang ada di Aceh Besar, mulai dari Saree perbatasan dengan Aceh Pidie hingga ke Lhong, perbatasan dengan Aceh Jaya. Kawasan ini tentu sangat berbeda langgamnya dengan kehidupan di kota Banda Aceh. Wilayah ini juga mencakup kawasan areal pesisir disekitar gunung seulawah. Yang menarik dikawasan tersebut adalah keaslian masyarakatnya, yang agak berbeda dengan yang diseberang gunung geurute dan gunung seulawah.
Adapun wilayah ketiga adalah wilayah kebudayaan Pidie hingga pegunungan yang berbatasan langsung dengan Aceh Barat dan Bireuen. Kawasan ini menjadi begitu unik, karena terdapat diaspora masyarakat Pidie, tidak hanya diseluruh Aceh, akan tetapi juga diluar Aceh. Spirit ekonomi yang dimiliki masyarakat Pidie dalam konsep merantau, ternyata dipicu oleh sistem kebudayaan masyarakat tersebut. Sementara itu, wilayah keempat adalah wilayah yang terbentang dari Samalanga hingga Krueng Mane. Kawasan ini tentu saja merupakan tempat kontestasi kebudayaan yaitu, Aceh Pidie, Aceh Tengah dan Samudera Pasai. Sehingga areal pesisir kawasan ini menjadi semacam ajang transit kebudayaan, terutama di kota Bireuen.
Adapun wilayah kelima adalah kawasan dari sungai Krueng Mane (Aceh Utara) hingga ke sungai Jambo Aye, yang merupakan wilayah perbatasan antara Aceh Utara dengan Aceh Timur. Wilayah ini merupakan wilayah paling Makmur dalam sejarah kontemporer, dimana terdapat beberapa perusahaan industri terkemuka. Walaupun hari ini, wilayah ini sudah berada di titik nadir. Kawasan ini merupakan tempat perjumpaan antara berbagai kebudayaan besar, terutama dari Hadrami Timur Tengah.
Adapun wilayah keenam adalah kawan dari perbatasan Aceh Timur dengan Aceh Utara hingga memasuki wilayah kota Langsa. Kawasan ini sudah mulai pudar nuansa kebudayaan Aceh. Namun, spirit perjuangan ke-aceh-an tetap dimiliki, karena kawasan ini ditemukan beberapa keluarga yang merupakan mantan pejuang saat melawan Belanda.
Adapun wilayah ketujuh adalah kawasan Langsa hingga ke perbatasan dengan Sumatera Utara. Disini, nuansa kontestasi identitas sangat kentara, jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan sebelumnya. dikawasan tersebut, budaya Aceh harus bersilaturrahmi secara kuat dengan budaya Jawa dan rembesan pengaruh kebudayaan dari provinsi tetangga. Selanjutnya wilayah kedelapan yaitu kawasan Aceh Tenggara dan sekitarnya. Yang juga memiliki hubungan yang amat kuat dengan provinsi tetangga. Akan tetapi kawasan ini berbeda dengan kawasan ketujuh, karena berada dikawasan pegunungan yang dihubungkan oleh gunung Lauser. Pola masyarakat gunung yang amat kental, kemudian relasi antara suku Aceh dengan suku Alas dan Batak, sangat kentara dikawasan ini.
Kawasan kesembilan kebudayaan di Aceh adalah Singkil dan sekitarnya. Kawasan ini menganut kebudayaan Singkil dan dalam beberapa penjelasan tertentu, terdapat budaya Batak dan Jawa yang amat kental. Namun, Singkil memiliki budaya, bahasa, dan adat istiadat tersendiri. Selanjutnya wilayah kesepuluh yang berada dikawasan Subulussalam hingga ke Aceh Selatan. Kemudian wilayah ke sebelah adalah Aceh Selatan hingga Aceh Barat Daya. Wilayah kedua belas Nagan Raya. Wilayah ketiga belas Meulaboh hingga Lamno. Wilayah keempat belas wilayah kebudayaan Simeulue. Ini merupakan wilayah kebudayaan terakhir di Aceh. Konteks kebudayaan masyarakat Simeulue masih sangat kuat. Hal ini disebabkan karena kontak kebudayaan diwilayab ini hanya terjadi melalui hubungan laut dan udara. Dikarnakan wilayah ini dikelilingi oleh lautan samudera hindia.
Demikianlah topografi wilayah kebudayaan di Aceh. Tentu saja gambaran diatas masih banyak memiliki kelemahan, sebab pemetaan tersebut masih terlalu dini. Wilayah-wilayah tersebut dimunculkan karena ada kajian yang melatarbelakangi seperti sistem kebudayaan, sistem nilai, sistem sosial, sistem religi, sistem kekerabatan, simbol-simbol, kuliner, sistem tata bahasa, kontestasi kebudayaan, etnisitas, identitas, dan beberapa konsep lainnya dalam ilmu antropologi.