Kebingungan yang Melekat dalam Diri
Aku tak tahu ke mana harus melangkah. Rasanya linglung. Cahaya penunjuk jalan telah memudar. Aku meraba-raba tidak tahu arah. Untuk menentukan arah aku belum berani. Khawatir akan jatuh ke dalam jurang kenestapaan. Mereka sudah berkata, buatlah beberapa piihan dalam hidupmu, kemudian pilih yang terbaik dari semua itu. Parahnya, cara membuat jalan kehidupanku sendiri aku masih bingung.
Kuakui aku memiliki segalanya. Kaki, tangan, pikiran, dan seluruh kebutuhan yang akan membantuku. Aku juga memiliki lentera di tangan kananku. Hanya saja aku belum berani menyalakannya dan kemudian menemukan jalan kebahagiaan. Ataukah aku sedang sibuk menyusun rencana. Sekali-kali aku berpikir mengapa tidak aku menjalankannya saja meskipun itu sebuah langkah yang amat kecil.
Tak baik duduk saja berdiam diri di dalam kamar keterpurukan. Sedangkan jalan di luar sana terbentang luas bagi siapa saja yang ingin menentukan jalan hidupnya. Di jalan itu kita dapat mengukir senyuman. Tentu saja senyuman keabadian hanya akan kita peroleh setelah merasakan kesakitan. Aku percaya tidak ada sebuah kebahagiaan tanpa melalui kepahitan.
Aku hanya sibuk melihat orang lain dan membandingkannya dengan diriku. Aku yang fana, terbang layaknya kapas diembuskan angin godaan. Orang-orang mengira aku memakai zirah emas, padahal hanya imitasi. Orang-orang bercermin kepadaku. Di kala itu juga aku sedang memuji pencapaian mereka. Sesalku adalah rasa puas yang cepat menghampiri. Kelebihan mereka berada tingkat ambisius yang mereka miliki.
Ambisius, manusia wajib memilikinya agar mampu mencapai senyuman sejati. Bukan senyuman untuk mengambarkan bahwa ia telah berhasil menentukan jalan kehidupannya. Orang-orang yang terpaku karena ambisi mereka yang kecil dan rasa cepat puas. Jangan-jangan aku termasuk ke dalam golongan tersebut. Sebuah golongan yang hidupnya biasa-biasa saja. Mungkin untuk mengubah kehidupannya saja begitu sulit, apalagi berharap membantu orang lain dapat tersenyum.
Yang paling kusesali adalah keberanian yang kecil. Kulihat wajah-wajah mereka yang lugu tetapi berhati baja. Sama sekali tidak takut menjawab tantangan zaman. Aku terkadang juga resah, mungkin bukan aku yang tak berani. Hanya saja kebodohanku yang terus menggerogotiku. Larut dalam kebingungan di tengah jalan terbentang luas.