Pengentasan Ala Fikih #Part 1

in #indonesia6 years ago (edited)

Salam sejahtera untuk segenap sahabat steemians, pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi sebuah tulisan untuk kita semua tentang salah satu disiplin ilmu Islam dalam mengatasi problema kehidupan ummat, dimana kejadian-kejadian baru terus terjadi dengan seiring berkembangnya zaman.

image
[source]https://www.google.co.id/search?q=fikih&client=ms-android-xiaomi-rev2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiOnffb7vXYAhXNMd8KHSbYDTQQ_AUIBygC&biw=424&bih=674#imgrc=3izklQWio5idgM%3A

image
[source]https://www.google.co.id/search?q=fikih&client=ms-android-xiaomi-rev2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiOnffb7vXYAhXNMd8KHSbYDTQQ_AUIBygC&biw=424&bih=674#imgrc=Yjmiy9hXSVhQ_M%3A

Di antara beraneka ilmu keislaman, mungkin hanya fikih yang paling dinamis dalam artian yang positif. Fatwa demi fatwa dari ulama lintas mazhab sepanjang sejarah agama Islam selalu mampu memberi solusi terhadap masalah yang dihadapi umat. Selain yang tsawabit (tetap), produk fikih juga ada yang mutghayyirat, yakni hukum-hukum yang cukup akur dengan berbagai bentuk perubahan tempat dan zaman. Tidak sedikit sarjana-sarjana Islam yang menganggap bahwa hukum-hukum hasil ijtihad masih sangat mungkin berubah mengikuti dialektika tempat, zaman, dan peradaban yang menjadi konteks penerapan hukum-hukum tersebut. Di samping itu, ada juga sementara ulama yang berkeyakinan bahwa hukum-hukum tersebut sudah final dan akan terus seperti itu hingga akhir zaman. Dengan mendasari pendapat kelompok yang terakhir ini, anggapan bahwa fikih bersifat doktriner, rigid, dan terlihat kurang bisa berjalan sejajar dengan realitas yang dinamis tak dapat dielakkan.

Kelompok yang pertama melihat bahwa sumber hukum-hukum fikih, baik yang disepakati jumhur ulama seperti al-quran, sunnah, ijma’, dan qiyas, ataupun yang masih diperdebatkan seumpama istihsan, mashlahah mursalah, dan qau shahabiy, memungkinkan produk hukum fikih yang diijtihadkan dapat berharmonisasi dengan dengan keadaan dan kondisi masyarakat. Dengan tabiat seperti ini, fikih dianggap mampu menjawab beragam bentuk masalah yang melanda masyarakat mulai dari permasalahan ekonomi, kemasyarakatan, kebudayaan, kebangsaan, sosial, dan bahkan perundang-undangan dan pemerintahan.

Proses istinbath (pengambilan) hukum dari sumber-sumber tersebut, diakui atau tidak, sangat sukar dan melelahkan. Ini di samping begitu luasnya sumber pengambilan hukum-hukum fikih tersebut dan dibutuhkan kehati-hatian yang maksimal dalam penerapannya, karena itu tak mengherankan betapa para ulama menyakralkan posisi mujtahid dan mufti dan mensyaratkan bermacam kriteria yang mesti dipenuhi oleh siapapun yang ingin mendalami, memahami, dan kemudian menghasilkan hukum fikih langsung dari sumber-sumber utamanya. Maka cukup menggelikan melihat akhir-akhir ini ada sebagian kalangan yang mengajak siapa saja, atau bahkan mengklaim diri, untuk kembali kepada al-quran dan sunnah dan mengabaikan berbagai kaedah yang telah ditetapkan oleh para ulama masa lampau. 

Berangkat dari kerumitan berijtihad dan kesukaran menghasilkan semua syarat-syaratnya, juga demi menghindari kekacauan, para ulama juga menggarisbawahi bahwa siapa saja yang tidak memiliki syarat-syarat ijtihad harus berpuas diri berada di bawah garis taqlid, yakni menerima dan kemudian mengikuti segenap fatwa-fatwa ulama yang berkapasitas untuk berijtihad. Fatwa-fatwa tersebut yang menjadi jawaban atas segala perihal yang dihadapi umat dari masa ke masa. Hasil ijtihad atau fatwa ini lah yang kemudian hari juga dinamai dengan nama “fikih”.

Ilmu fikih sendiri sudah ada dan berkembang sejak abad-abad awal tahun hijriah. Semenjak itu, para ulama berbondong-bondong mengulas, mengurai, membahas, dan menyusun beraneka masalah fikih, dari masalah bersuci sampai masalah perbudakan. Penyusunan kitab-kitab fikih klasik pun mempunyai bermacam corak. Ada yang hanya menulis matan, yakni materi-materi hukum belaka yang singkat tanpa penjelasan, ada yang mengarang syarahan terhadap suatu matan dengan tujuan agar matan tersebut mudah dipahami, ada pula yang meringkas suatu matan atau syarahan yang kemudian dinamai mukhtashar (ringkasan), bahkan ada yang menggubah bait-bait syair dari matan atau syarahan suatu kitab demi kemudahan bagi pemula untuk menghafal materi-materi fikih dari suatu kitab.

Pembahasan dalam kitab fikih, klasik atau kontemporer, secara umum mencakup ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji, muamalah seperti perniagaan, hubungan antar individu atau kelompok, dan ahwal syakhsiyah seperti penikahan, talak, dan semacamnya. Dalam tatanannya, hukum-hukum yang mengatur setiap aspek kehidupan umat Islam itu tak lain adalah rahmat yang sekaligus menjadi pengejawantahan dari keuniversalan Islam. Hukum-hukum tersebut juga menjadi wadah dan ditujukan untuk mewujudkan dan menjaga kemaslahatan dan menghindari dan menghilangkan kerusakan agar tercapainya keadilan, kerukunan, dan kesejahteraan umat manusia.

Sebagaimana disinggung di atas bahwa hukum-hukum mutaghayyirat lah yang menjadi bahan penelitian para ulama dari masa ke masa karena sifatnya yang dinamis – menurut sebagian ulama tentunya – dan dapat berjalan beriringan dengan perkembangan zaman. Dalam menjawab permasalahan umat, para fuqaha, selain mengeluarkan fatwa, juga ada yang menjawab permasalahan umat dengan hasil ijtihad dalam bentuk ide dan gagasan. Yang terakhir ini terlihat sangat jelas semenjak awal abad yang lalu.

Ada banyak pakar fikih yang mengemukakan gagasan-gagasan dalam menjawab permasalahan kebangsaan, ekonomi, dan berbagai masalah umat lainnya. Di Timur Tengah, Prof. Dr. Yusuf Qardhawi, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan Syeikh Mushtafa Zarqa di antara para pakar fikih kontemporer yang menjadi sorotan dengan berbagai gagasan mereka dalam memberikan solusi untuk masalah-masalah ekonomi dan kebangsaan. Di Indonesia, kita dapat melihat lontaran-lontaran gagasan yang menjawab isu-isu kebangsaan, sosial, dan ekonomi dalam bentuk embrio-embrio pembaharuan seperti yang diketengahkan oleh Prof. Hasbi Assiddiqy dengan Fikih Nusantara, KH. MA. Sahal Mahfudh Fikih Sosial, dan, yang teranyar, Masdar Farid Mas’udi dengan Zakat Pajak-nya. Dalam pada itu, muktamar demi muktamar yang bertema fikih sebagai solusi juga diadakan oleh berbagai pihak dengan mengikutsertakan pakar-pakar lintas disiplin.

Sort:  

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by Meutuah93 from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.