Status Status yang Raib

in #indonesia6 years ago


Sumber


Menelusuri jejak digital pada akun media sosial seseorang dikenal dengan sebutan "stalking".

Stalking tersebut tentu punya alasan tersendiri, bukan sekedar mengintip profil, memantau, namun lebih jauh ingin membaca kepribadian lewat status dan gambar lawas pemilik akun.

Jika tujuan positif tentu tidak bermasalah, namun ketika mengekplore dengan tujuan mengunduh photo photo konyol, alai atau mengcapture status status tak berbobot kemudian menjadikannya sebagai lelucon tentu memberi efek berbeda.

"Stalking" timbul dari rasa keingintahuan yang mendesak pelaku untuk lebih dalam mengetahui informasi terkait sesuatu hal tanpa sepengetahuan sang pemilik.

Namun bagaimana dengan "stalking" akun yang menawarkan hal berbeda dalam setiap postingannya ?

Sebuah akun akan menarik banyak perhatian, saat status statusnya mampu menjadi oase atas semua persoalan terkini.

Ada pembelajaran, ada ajakan renungan dan ada nasehat yang hadir.

Ada kejutan yang selalu kita tunggu, ada analisa yang timbul pada ruang pikir, bahkan tak kurang satirnya terkadang menampar logika sehat.

Akun akun tersebut perlahan menuai banyak like, comment dan dibagikan sehingga terkadang viral.

Namun sayang, ketika kedalaman ilmu yang terpancar di setiap postingan itu tiba tiba raib.

Ada rasa rindu sekaligus gelisah, ada rasa kritis yang hilang arah. Logika tak lagi sejalan, status status yang raib tak mampu pasang badan.

Bisa jadi sang pemilik akun lelah atau kehilangan gairah dan mungkin saja ada resah status statusnya dipolitisir.

Hater seringkali hadir, membumbui status status tersebut dan mengalihkan isu untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Cenderung berseberangan dengan komentar komentar pedas dan terkadang tak jarang muncul hastag yang tak ada korelasinya dengan status itu dimuat.

Bagi pencari ilmu status status brilliant tersebut akan dimaknai sebagai suluh, namun sebaliknya bagi penikmat kebodohan status akan mengantarkan pada subjektivitas berkarat tanpa dasar.

Akun media sosial bisa menjadi representasi kecil dari pribadi pemiliknya, walaupun tidak sepenuhnya status status akan mampu menggambarkan utuh.

Kemampuan kata kata ambigu dan multi tafsir akan memaksa akal cenderung menerima sebuah pembenaran hanya dengan peristiwa terbaru yang saling berkaitan namun faktanya lemah dan belum valid.

Status menohok, memojokkan dan menuding akan menuai kontra, ada silogisme amburadul yang terlalu dipaksakan.

Bahkan mereka yang intim dengan eksistensi medsos akan terjebak dalam kawah paranoid.

Bermula dari premis semakin banyak postingan makin eksis, semakin sering berkomentar semakin update.

Rutinitas postingan sampe hal remeh temeh pun dipublish tentu melunturkan kualitas, sehingga akhirnya menggerakkan alam bawah sadar untuk menjajal isu sensitif dan memburu tanda "suka".

Terlalu sering melahirkan status yang menuai kontroversi mendorong munculnya ketakutan tersendiri menjadi objek dari status status yang berlawanan arah.

Paranoid hinggap, saat kita merasa tau persis, di kondisi apa status itu tercetus dan siapa yang ingin disasar.

Salah kaprah, logika sempit, asumsi naif dan kesalahan penyimpulan malah menjebak sang pemilik akun mengupdate hoak berulang yang berakibat fatal.

Sumber

Atas nama kebebasan berekpresi dan berpendapat kita melupakan etika dan larangan.

Lalu dimana keberadaan status berlian yang selama ini menghiasi kronologis kita ?

Banyak akun berlian memposisikan diri jadi sebagai pertapa, di taman ekpresi yang berorientasi kepentingan semu.

Lebih baik diam dari pada bicara pada dunia penuh carut marut dan kebenaran hanya ada di atas keypad qwerty.

Viral telah menjadi bukti betapa kita hanya butuh diakui bahwasanya kita dipihak yang benar bukan bebal.

Bertapa menjadi solusi, karena diam adalah menikmati, mengamati dan bukan bungkam.

Memang menjadi level manusia penikmat dan pengamat itu sebuah kelebihan.

Mampu bertahan untuk tidak mengerakkan jemari, bersabar dalam cek dan ricek informasi dan mampu menyesuaikan emosi agar tidak mudah terpancing jadi kalap.

Saat kita sudah mampu memposisikan diri sebagai penikmat, maka tak ada lagi sumpah serapah, caci maki dan saling menyalahkan.

Saat kita menjadi pengamat, maka kita telah melatih otak untuk tidak beku dengan analisa yang kritis, mengupdate informasi tanpa tergerus kabar bohong dan upaya mobilisasi kebohongan.

Wajar jika kemudian hanya ada satu like, satu komen dan sebuah postingan bermamfaat, semua itu adalah ekpresi senyum kita pada siapapun di taman bermain.

Syarat menjadi Penikmat dan pengamat cuma sederhana, banyak senyum.

Jika belum, mari duduk bersama. Insya Allah kita akan mampu menertawakan diri, menertawakan hidup dan tersenyum tanpa perlu takut terpenjara oleh UU ITE.

AW KOPI, Pukul 00.14
Blangpidie,26 Januari 2018.

masri1.png