"Jejak Spirit Aceh" (Acehnologi III : 23)
Assalamualaikum …..
Ini adalah kelanjutan dari tugas review buku acehnologi saya pada bab 23 tentang “Jejak Spirit Aceh” .
Lanjutan untuk tugas meriview saya pada buku Acehnologi Volume III Bab 23 tentang “ Jejak Spirit Aceh”,
alangkah baiknya jika kita mengetahui dahulu apa itu arti “Spirit”. Spirit adalah kata lain dari semangat,
yang dimana semangat itu adalah suatu keadaan pikiran ketika tergerak untuk melakukan satu atau banyak
tindakan. Dan apabila seseorang memiliki semangat yang kuat, maka sikap dan perilakunya itu terlihat
dinamis.
Di Aceh kata semangat sangat sering digunakan dengan beberapa istilah seperti “Krue Semangat”
atau “ Krue “ kata “Krue” sangat sering mereka ucapkan untuk memberi semangat kepada mereka yang
sedang terkena masalah atau musibah. kata “Krue” sering diungkapkan untuk memanggil angin dan memanggil
ayam untuk memberinya makan, dan istilah itu semua gunanya untuk memberikan semangat.
Tapi sayangnya semua kegiatan atau praktik-praktik yang mendatangkan spirit pada masyarakat aceh sekarang mereka menganggap sebagai sesuatu yang tidak masuk dalam akal dan pikiran mereka, tanpa mereka
sadari bahwa awalnya kegiatan itu juga terbentuk didasari pada akal juga, seperti contohnya kegiatan atau
tradisi peusidjuk ( Tepung Tawar ) yang dimana tradisi ini mereka anggap sebagai tradisi yang berkembang sebelum datangnya islam, sehingga kegiatan yang memberikan dampak atau kekuatan ke dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak ada lagi mereka yakini sebagai bagian dari kehidupan manusia yang menyatu
dengan alam dalam diri manusia itu sendiri. Dan juga seperti contoh praktik atau tradisi “ Meugure” atau “
Menuntut Euleume”, tetapi sepertinya tradisi ini masyarakat aceh menganggapnya tidak lagi memberikan
dampak serta perkembangan yang berarti pada keilmuan di Aceh dan dianggap sebagai old fashion.
Pemikiran-pemikiran orang diperkampungan juga sudah mulai berubah, mereka sudah tidak lagi menggunakan pola “Beureukat” untuk mencari rezeki karena mereka menggap cara yang praktis yaitu cara saling “ Sikat, sikit, dan sikut “, akibat dari cara yang seperti ini maka alhasil orang-orang yang sudah kaya
pun tetap merasa bahwa dirinya selalu miskin dan tidak pernah puas dengan kekayaannya, sedangkan orang yang miskin berupaya agar mereka secepatnya bisa kaya. Dan intinya adalah bahwa seiring dengan
perkembangan zaman ini perlahan masyarakat Aceh telah melupakan spirit Acehnya, selain dikarenakan dengan adanya aliran spirit kapitalisme yang telah merasuk ke dalam masyarakat Aceh melemahnya spirit
Aceh ini juga dikarenakan tidak adanya lembaga khusus yang menawarkan bagaimana pengkajian secara serius mengenai spirit Aceh. Dan proses penyempaian secara serius mengenai spirit Aceh didalam konteks
kekinian itu tidaklah mudah, hal ini disebabkan ketiadaan upaya untuk melakukan transformasi mengenai kekuatan yang abstrak yang muncul didalam masyrakat Aceh, karna system berfikir yang abstrak telah hilang
dan munculah sistem berfikir masyrakat yang materi ( materialism ).
Dengan demikian kita perlu menjaga “Jejak Spirit Aceh” kita, bagaimanapun itu adalah warisan atau tradisi Aceh terdahulu yang merupakan aset untuk masyarakat aceh kedepannya.
Demikianlah review saya pada bab kali ini dan Insya Allah akan dilanjutkan pada bab berikutnya