Belajar Syukur dari Sempak
Pada lemparan pertama, mata kailnya mendarat sampai jauh ke tengah sungai. Tak butuh waktu lama, aku merasakan hentakan yang kuat. Dengan keyakinan seorang calon bupati yang larut dalam kepercayaan diri nan tinggi hingga diserang megalomania, cepat-cepat kuputar katrol dengan girang, memecah keheningan seorang pemancing yang sedari tadi belum menuai apa-apa, Ia kemudian
turut bergabung pula menyaksikan drama kehebohan yang diciptakan mata pancingku.
Lihatlah, bisik dalam hati, tak perlu sabar yang terlalu, cukup lempar saja, maka kau akan dapatkan ikannya. Tiba-tiba ada Kebanggaan yang menyeruak, merasa hebat, paling beruntung, mengungguli si pemancing tadi, yang kini mendongakkan kepalanya, menjadi supporterku. Hingga mata kailnya mendekat, rupanya tidak ada ikan apapun yang menggelepar tertangkap, kecuali sebuah sempak putih besar bercak kekuning-kuningan mengapung di ujung mata kail. Si kawan pemancing tadi, melihatku dengan tatapan kasihan, seraya kembali membetulkan tempat duduknya, ia tertawa kecil. Dan itu telah cukup untuk membuatku menjadi laki-laki paling konyol.
Aku lupa pada pesan bijak, bahwa apapun keadaan dan kondisinya, manusia harus tetap tetap tenang (syukur) dan biasa saja (tawadhuk). Sebab, nalar manusia terbatas, inderanya apalagi. Sesuatu yang dianggap nikmat, bisa jadi itu adalah cobaan, atau lebih buruk, bala. Begitupun sebaliknya. Jadi apapun yang menimpa atau hinggap di kehidupanmu. Bahagia atau duka. Tak perlu kau berikan ruang rasa yang berlebihan. Cukup dengan syukur saja.
Maka, meski yang nampak di ujung mata pancing adalah seorang putri duyung yang tengah menggelepar erotis, yang perlu kau lakukan hanya, tenang. Tak perlu panik, heboh apalagi merasa unggul, sebab bisa jadi ia hanya ilusi belaka sebagai akibat dari nafsu yang memuncak. Tetaplah selalu dalam tenang, sebab panik, hanya membuat sempak yang bercak kekuning-kuningan terlihat seperti seekor Kerapu.