Bacaleg

in #indonesia6 years ago

image
Beberapa teman secara informal memberitahukan bahwa telah mendaftar sebagai bacaleg untuk Pileg 2019 yang digelar serentak di seluruh Indonesia--emang kapan pileg tidak serentak? Hehe, maksudnya serentak dengan pilpres--, mendengar kabar tersebut saya tentu berbahagia. Teman-teman saya itu telah memulai satu langkah baru dalam kehidupan politiknya.

Teman-teman saya itu tentu menyadari bahwa dengan jumlah ratusan orang peserta pileg di tiap kabupaten, kursi yang diperebutkan tentu hanya puluhan saja. Mereka juga menyadari bahwa tidak semua di antara mereka akan menang. Karena untuk menang dalam pemilu, tidak cukup hanya dengan mendaftar sebagai bacaleg. Karena banyak hal yang harus ditempuh untuk dapat meraih kursi.

"Ikut-ikutan saja, biar memenuhi kuota," kata seorang teman yang maju melalui salah satu partai nasional.

"Siapa tahu beruntung, kan keberuntungan tidak pernah bisa ditebak," kata yang lain sembari tetap akan menghemat anggaran sehemat-hematnya.

"Saya sudah mendapatkan semua kisi, semoga strategi saya mujarab," kata teman lainnya.

Dari beberapa yang sangat serius, kepada saya mereka menyampaikan bila menang akan memperjuangkan daerah pemilihannya masing-masing, yang menurut mereka saat ini masih di anak tirikan dalam pembangunan. Mereka memilih terjun karena merasa sudah sangat pantas mewakili aspirasi rakyat dapilnya masing-masing.

Atas alasan apapun, saya mengaku bangga atas sikap mereka. Dengan segala dinamika, teman-teman saya itu memilih terjun pada pileg 2019, tentu semua berharap untuk menang, walau mereka juga menyadari bahwa tidak semua orang bisa menang.

Ketika mereka meminta bantu kepada saya, tentu tidak ada yang saya tolak mentah-mentah. Sebagai individu tentu saya bersimpati kepada mereka semua, dan ada niatan untuk membantu. Tapi ketika sudah berurusan dengan pencitraan melalui media yang saya pimpin, tentu hitungannya akan lain. Media yang saya pimpin bukan blogspot, tapi media profesional berbadan hukum dan merupakan sarana bisnis yang dibangun oleh ownernya untuk mencari keuntungan finansial, sembari tetap berusaha menyebarkan dakwah kebaikan.

Ketika saya tawarkan konsep kerjasama yang bisa dibangun, beberapa memilih mundur untuk melanjutkan diskusi karena alasan tidak memiliki budget. Beberapa lainnya mengatakan akan berpikir lagi, dan ada pula yang mengatakan akan menghitung kembali kebutuhan politiknya. Para incumbet justru sudah beberapa orang yang sudah menyatakan kerjasamanya jauh-jauh hari.

Saya memahami kondisi ini, banyak di antara teman-teman saya yang masih berpikir bahwa media massa itu sebuah wahana gratis yang bisa dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan siapapun. Begitu saya jelaskan bahwa media massa adalah unit bisnis milik swasta mereka baru paham. Tidak sedikit pula yang belum mampu membedakan kualitas media massa. Mereka menyamakan media yang saya pimpin dengan media abal-abal yang dikelola asal-asalan oleh "wartawan bodrek" yang bisa dibayar sekedar dengan uang minum kopi, atau ucapan terima kasih semata.


Demokrasi liberal yang sedang berjalan di Indonesia, dengan jumlah partai politik yang sangat banyak, serta tidak berjalannya kaderirasi secara maksimal di tubuh partai politik, telah melahirkan perilaku politik anomali. Banyak orang yang berseragam partai politik, justru hanya memahami politik sebatas caleg dalam pileg. Kewajiban partai politik memenuhi kuota bacaleg pun sangat berpengaruh pada kualitas orang yang akan direkrut sebagai bacaleg. Bahkan tidak sedikit cabang-cabang partai yang bekerja hanya sebatas untuk memenuhi kuota semata.

Atas semua dinamika itu, saya tentu tidak pantas untuk mengejek, apalagi sampai harus mencaci maki siapapun. Saya harus menghormati keputusan siapapun atas pilihan hidupnya, termasuk pilihan politiknya. Untuk itu saya tetap bisa menghormati siapapun dari partai manapun. Bilapun harus ada yang saya kritisi, tentu dengan data yang memadai atau atas fenomena tertentu, tidak dengan nyinyir yang tidak berujung.

Orang-orang yang memilih terjun ke dalam politik praktis, mereka memiliki resiko yang sangat besar. Bahkan mereka telah dengan penuh kesadaran menutup peluang atas dirinya terhadap ragam lapangan kerja yang menghendaki pelamarnya non partisan dan tidak terdaftar sebagai pengurus atau kader partai tertentu.

Saya tertarik dengan pernyataan salah sseorang anggota DPRK Bireuen Muchlis Juann Rama, yang mengatakan dirinya sangat berhati-hati ketika merekrut orang ke dalam partainya. Dia harus memastikan bahwa ia akan mampu memperhatikan mereka, bila kelak mereka tidak lolos ke parlemen.

"Bergabung dengan partai politik penuh dengan resiko, seseorang yang mendaftar ke partai, akan kehilangan nilai independensinya selama lima tahun. Bila kalah ia tidak akan bisa kemana-mana, karena banyak pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah telah mewajiban independensi," katanya.

"Ini tidak main-main, saya harus memastikan infrastruktur itu, agar saya bisa memberikan harapan yang kelak bisa saya penuhi,"kata anggota DPRK Bireuen asal dapil Juli-Jeumpa itu yang juga kader Partai Amanat Nasional (PAN).

Sort:  

Brother bagus post, but I do not understand, makasi

Posted using Partiko Android

Thank verymuch.