Padi Menguning & Pantat-Pantat yang Basah
Kamis siang (21/6/2018) udara cukup bersahabat, tidak ada kering yang menyengat, tidak pula dingin yang menusuk. Danau Lut Tawar yang membentang di kelilingi oleh pegunungan batu nan lelah, yang ditumbuhi pinus-pinus berdaun jarum yang kian terancam dari tangan-tangan jahil manusia serakah.
Pinggang bukit yang melingkar memeluk Lut Tawar, terlihat semakin rapuh, bebatuan besar kian terlihat sangat mengancam tiap jiwa yang berlalu lalang di jalanan aspal sempit di pinggang bukit yang kian rapuh.
Asap mengepul di mana-mana, belukar dibakar dengan sengaja, demi mempercepat membersihkan lahan-lahan untuk kemudian dipasangi tenda-tenda kecil tempat berteduh di pinggir bibir air Laut Tawar yang sejuk. Mereka tak peduli, api yang dipantik kecil itu telah membakar rerumputan dan lumut serta pinus yang tumbuh mencengkeram tanah gembur yang melapisi bebatuan cadas. Sungguh mereka sedang mengundang bala.
Nun di lembah, anak, istri dan saudara mereka hidup di daratan di dekat bibir air, yang luasnya tidak seberapa. Di sana mereka membangun peradaban Gayo yang gilang gemilang. Di sana mereka menanam padi-padi khas Tanoh Gayo yang sebentar lagi bisa dituai. Ya di sana, di kaki bukit yang kian meranggas itu, mereka membangun kehidupan, cinta dan mimpi.
Hamparan padi ibarat permadani dengan sulaman emas, berundak indah mengikuti pola tanah yang tidak rata, cericit pipit yang kekenyangan serta suitan jalak yang kian serak karena kerbau sudah berendam ke dalam kubangan.
Anak-anak desa berlarian ke sana kemari, sesekali menoleh ke arah tetamu yang melintas di jalanan dengan tubuh dibalut jaket tebal. Dara-dara Gayo, bebujang Gayo, Ine, ama, tersenyum ramah tiap kali diuluk salam dengan penuh ketakziman.
Siang itu, anak-anak tempatan berenang di dalam danau, pantat mereka yang tanpa celana dalam basah disiram air dan mengkilat diterpa sinar mentari. Kulit-kulit yang berwarna eksotis itu terlihat begitu segar keluar masuk air yang tidak dingin bagi mereka.
Ine, ama yang tertawa -tawa kecil di pinggir danau, sembari menyicip jagung rebus yang terlalu cepat dingin setelah diangkat dari tungku rebusan. Mereka sepertinya benar-benar tidak menyadari bahwa sejatinya sedang memupuk bencana nun di puncak bukit. Bukit-bukit rapuh berbatu itu, yang kian disiksa oleh pembakaran hutan pinus, telah terlihat meranggas resah dan telanjang dengan batu-batu hitam sisa gelora api yang membara.
Ah, Lut Tawar, keindahan yang engkau tawarkan, telah membuat anak cucumu serakah, hanya demi uang yang tidak seberapa, mereka tanpa sungkan merusak jantung peradaban mereka sendiri.
Please upvote: https://steemit.com/free/@bible.com/4qcr2i