Saya dan Fotografi

in #indonesia7 years ago (edited)

Tidak pernah terbesit dalam pikiran saya, objek apa yang harus saya potret saat mengenal kamera tahun 2004 silam. Membuat pasphoto dan mencetaknya dalam kamar gelap, itulah rutinitas sehari-hari yang saya lakukan. Kamar gelap merupakan ruang kedap cahaya untuk melakukan proses cetak manual dalam dunia analog. Bagi saya yang memilih bekerja di studio saat itu, memahami keduanya hampir dikatakan mutlak.
Teknik Dasar Fotografi+.jpg
Beruntung saya masih bisa merasakan sedikit era fotografi menggunakan kamera film. Kira-kira 12 tahun yang lalu ketika saya masih di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Setelah Tiga tahun berkecimpung di dunia analog, akhirnya pada tahun 2007, tibalah saatnya era digital datang mengerusnya.

Memasuki masa transisi pertengahan tahun 2007, saya hendak melakukan penyelamatan file yang masih dalam bentuk ‘klise’. Disitulah saya mencoba mengingat kembali, momen apa yang pernah saya hasilkan dari Tiga tahun memotret dengan kamera film. Selain dari Pasphoto, maka Jawabnya, “tidak ada!.” Apakah tidak ada momen menarik untuk diabadikan kala itu? “Banyak, ada banyak sekali”. Salah satunya gempa Tsunami yang merupakan bencana terdahsyat pada abad ini.

Minggu 26 Desember 2004, saya sempat menyusuri kawasan pesisir Tanoh Anoe, Aceh Utara. Desa tersebut merupakan kawasan parah terkena dampak Tsunami di kecamatan Muara Batu. Sore itu, saya membawa tiga kamera di dalam tas, serta puluhan rol-film yang saya selamatkan dari studio. Saya tidak menggunakan kamera itu. Mengeluarkan dari tas saja tidak, apalagi untuk memotret sisa-sisa dari terjangan ombak yang maha dahsyat.

Begitu pula pada bula-bulan berikutnya. Ada banyak sekali momen bersejarah menjelang momentum damai Aceh. Serta acara-acara kebudayaan yang sudah sangat jarang dipentaskan. Itu juga luput dari bidikan saya.
Untitled-1+.jpg

Jika saya mengingatnya sekarang, maka ingin rasanya saya ‘memaki’ diri saya sendiri. Dalam hati saya selalu bergumam, “Mengapa dulu saya tidak memotret momen selain Pasphoto?.” “Untuk apa saya miliki kamera waktu itu?.” “Mengapa sudut pandang saya terhadap dunia fotografi begitu sempit?.” Ada banyak lagi pertanyaan yang tak kuasa jika saya harus menjawabnya saat itu.

Seiring berjalannya waktu dalam menekuni bidang fotografi, saya selalu mencoba menambah referensi. Baik itu dari bidang fotografi sendiri, terutama foto Jurnalistik, maupun bidang lain; tari, sastra, teater dan lain sebagainya. Di samping itu, meningkatkan kepekaan terhadap realitas sosial yang ada, itu juga salah satu hal dalam membuat foto lebih berbicara.
Untitled-1+.jpg
Sedangkan di bangku perkuliahan, saya sangat tertarik dengan semiotika. Saya memberi fokus lebih mengenai ilmu untuk memahami ‘simbul dan tanda’ tersebut. Alasannya, karena semua fenomena sosial dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotika itu sendiri mempelajari sistem yang memungkinkan tanda-tanda itu memiliki arti (Sobur, 2001: 96). Bahkan tugas untuk syarat akhir studi, saya melakukan analisis deskriptif terhadap berita foto Jurnalistik, dengan menggunakan analisis semiotik model Rolland Barthes.

Setelah melewati masa-masa pembelajaran itulah akhirnya saya menemukan jawaban; Jawaban terhadap apa yang harus saya potret. Bagaimana membuat sesuatu yang tidak menarik menjadi tertarik. Satu lagi yang tak kalah penting, mengapa sikap acuh dan tidak peka terhadap momen menghinggapi saya awal-awal mengenal kamera.

Mulai sekarang dalam menggeluti bidang fotografi, terpenting bagi saya adalah menumbuhkan rasa personal dalam memotret. Memainkan pra-visual kemanapun saya pergi. Melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda hingga menemukan makna Denotasi (asli) serta Konotasi (kiasan) dalam setiap jepretan saya. Dan terakhir menjadikan diri terasa asing di negeri sendiri, sehingga semua momen yang ada di sekitar menjadi menarik untuk diabadikan.
Untitled-1+.jpg