Hidup Adalah Persoalan Ikhlas Menerima
“Saya masih ingat, dulu Tuan pernah beretorika bahwa, ‘hidup adalah persoalan iklas menerima’.”
“Ya, memang begitu.”
“Tapi saya sudah lupa detilnya.”
“Pertama, kamu iklas menerima ‘lahir dari rahim siapa’. Kedua, kamu iklas menerima ‘besar di mana’. Ketiga, kamu iklas menerima ‘mengalami apa dan apa’. Keempat, kamu iklas menerima ‘terniat/terpikir dan berusaha untuk menjadi apa/siapa’. Kelima, kamu iklas menerima ‘kenyataan diri dari hasil setelah berpikir dan berusaha’. Keenam, kamu iklas menerima bahwa ‘segala yang ada pada manusia, begitu mudah hilang, satu persatu, pelan-pelan, atau, semuanya sekaligus’. Ketujuh, kamu iklas menerima bahwa ‘ketika tiba saatnya, yang hilang itu justru diri sendiri’.”
“Kalau begitu, semua sudah ditentukan?”
“Ya, manakala dari awal kamu sudah ditentukan ‘lahir dari ibu mana’, maka selanjutnya kamu juga akan ditentukan ‘besar di mana’, ‘mengalami apa dan apa’, ‘terniat/terpikir dan berusaha menjadi apa/siapa’, dan seterusnya.”
“Jika semuanya memang telah ditentukan, lantas untuk apa ayat, ‘Tidak berubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya?’”
“Bahwa, pun tanpa ayat itu, kehidupan umat manusia di muka bumi ini memang sudah begitu, dari manusia awal sampai manusia sekarang. Ayat tersebut adalah sebuah gambaran penegasan untuk pola berpikir kaum yang lahir dalam masa ayat itu. Yang artinya—ulangi—tanpa ayat tersebut, maka ‘tidak-berubah-nasib-suatu-kaum-kecuali-kaum-itu-sendiri-mengubahnya’ tetap berlaku.”
“Tadi Tuan menyebutkan ‘untuk pola berpikir’-bla-bla-bla, berarti berpikir itu memiliki efek.”
“Berpikir memang memiliki efek, akibat, atau pengaruh, tetapi kenapa orang berpikir seperti itu atau sesuatu yang seperti itu, itu punya sebab; dan sebab-sebab itu terjalin dari latar belakang yang sambung-menyambung sampai ke ‘kamu lahir dari rahim siapa’, ‘besar di mana’, ‘mengalami apa dan apa’, ‘terniat/terpikir dan berusaha untuk menjadi apa/siapa’ dan seterusnya.”
“Kalau begitu untuk apa pula doa?”
“Doa akan mengubah nasibmu, karena nasibmu yang akan berubah itu mentakdirkan kamu untuk berdoa sebelum terjadinya perubahan itu. Doa akan membuat cita-citamu tercapai, karena jauh sebelum itu, cita-citamu yang akan tercapai mentakdirkan dirimu untuk berdoa. Ada saatnya doamu tidak membuat nasibmu berubah; nah, retorikanya sebagai berikut: bayangkan, malah sudah berdoa tapi nasibmu tidak berubah, apalagi sama sekali tidak berdoa. Begitu pula ketika doa tidak membuat cita-citamu tercapai; retorikanya adalah: bayangkan kalau kamu sama sekali tidak berdoa. Ada juga orang yang sama sekali tidak berdoa, tapi semua keinginannya tercapai; retorikanya adalah: bayangkan kalau ia berdoa, mungkin semua keinginannya akan terseleksi demi ketercapaian yang baik-baik saja. Tapi yang jelas, doa dapat menolak takdir, karena takdir yang akan tertolak menghajat kepada doa itu. Doa tidak dapat menolak takdir, karena takdir yang tak tertolak itu menghajat kepada doa yang tertolak. Ada takdir yang tidak ada doa, ada juga doa yang tanpa takdir apa pun sebelumnya.”
“Saya bingung dengan semua yang Tuan katakan itu, namun sepertinya saya menangkap satu hal, bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas; semuanya terjadi berdasarkan kehendak takdir, begitukah?”
“Berpikir bahwa manusia memiliki kehendak bebas, itu adalah kehendak takdir. Berpikir bahwa semuanya ini terjadi berdasarkan kehendak takdir, itulah kehendak bebas yang ditakdirkan.”
“Apa? Coba Tuan ulangi—sorry.”
“Kalau kamu berpikir bahwa manusia memiliki kehendak bebas, maka itu adalah kehendak takdir. Kalau ternyata kamu berpikir bahwa semuanya ini terjadi berdasarkan kehendak takdir, maka itulah kehendak bebas yang ditakdirkan.”
“Baik, saya akui bahwa saya bingung. Tapi tak apa-apa. Saya ingin kembali ke punca kesederhanaan. Apakah retorika atau teori ‘hidup adalah persoalan iklas menerima, dari butir yang pertama sampai ke butir yang ketujuh’, itu sudah valid?”
“Tidak. Sebuah teori bisa berubah sesuai zaman dan perkembangan pemikiran orang-orang di zaman tersebut.”
“Jika Tuan yakin teori itu masih ada kemungkinan berubah, apakah Tuan akan berusaha terus berpikir di mana mungkin tanpa perlu menunggu generasi berikutnya, Tuan justru bisa menemukan pembaruan teori itu lebih dini?”
“Ya, saya akan terus berpikir tentang kemungkinan teori itu akan ada yang lebih sempurna dari yang sudah ada. Pendek kata, saya akan terus berpikir karena takdir mengehendaki bahwa pikiran itu tidak boleh senyap. Dia terus bekerja, berputar, bergulir, menggelinding dan tidak ada yang sampai pada sebuah kesimpulan akhir selama otak masih berfikir. Terus bekerja.”
“Dan, bolehkan saya terus bertanya?”
“Kamu terus bertanya, yang bermakna kamu juga terus berpikir.”
“Ke depan ini, saya akan berusaha hadir dengan pertanyaan-pertanyaan gila.”
“Saya akan berusaha menjawab dengan pikiran-pikiran yang lebih gila. Kita harus gila-gilaan. Jangan sampai terlambat, jangan sampai kita sempat menjadi gila justru karena selalu takut berpikir gila-gilaan. Selama ini kita terus hidup dari hasil kegilaan pikiran bangsa lain; dari berkomunikasi jarak-jauh berbasis internet sampai ke kasur tidur, hasil ciptaan kegilaan pikiran orang. Apa tidak bosan dan malu hidup seperti ini terus-menerus?”
“Tuan sepertinya tidak konsisten dengan teori dan retorika sendiri. Dari kata ‘harus’, ‘jangan sampai’ dan semua yang Tuan katakan barusan, di sana mengusung makna yang berarti kita punya kehendak bebas.”
“Saya berkata begitu karena gerak takdir yang berasal dari pertanyaanmu; kamu bertanya begitu karena ditakdirkan dari jaringan berpikir yang ada dalam kepalamu; jaringan dalam kepalamu terajut dari beberapa takdir hasil persentuhanmu dengan bacaan, khutbah, teori, orasi dan beberapa unsur lain yang terakses olehmu yang urutan ke belakangnya lagi nanti toh akan jatuh ke takdir ‘kamu lahir dari rahim siapa’, ‘besarmu di mana’, dan seterusnya.”
“Oya, kenapa ada ayat ‘iqra’’, yang notabene bermakna, bahwa jika kamu banyak membaca, kamu akan berilmu. Itu berarti kan manusia bisa memiliki kehendak bebas?”
“Tanpa adanya ayat ‘iqra’’, manusia di jagat semesta ini juga akan membaca. Yang dimaksudkan al-Qur’an dengan ayat itu adalah, jangan sampai manusia lain yang giat membaca, tapi kamu yang ayat itu justru diturunkan ke kaummu malah tidak giat membaca.”
“Oya, di waktu-waktu yang lalu, saya sering mendengar Tuan menyebut ‘membaca kitab’ atau ‘membaca buku’; kenapa harus ada kosa kata ‘kitab’ atau ‘buku’; kenapa tidak ‘membaca’ saja?”
“Sebuah kitab atau buku pada umumnya mengupas suatu pokok pikiran dari awal sampai akhir secara tuntas sehingga sempurna sebagai sebuah pengetahuan dan dasar pijakan untuk modal berpikir selanjutnya. Sedangkan artikel-artikel pendek umumnya berupa sekilas informasi untuk memancing, agar, kalau kita ingin memperdalam informasi itu, kita segera mencari kitab atau buku-buku yang berkenaan dengannya.”
“Kalau menurut teori Tuan, jika memang kita benar-benar tidak giat membaca meski sudah dipaksa-paksa kitab suci kita sendiri, berarti itu termasuk takdir kita dong. Ha-ha-ha!”
“Takdir kaum yang tidak giat membaca sudah jelas, mereka akan terkebelakang. Dan takdir kaum yang giat membaca pun sudah jelas, mereka akan memimpin dalam segala gerak perubahan peradaban. Yang dimaksudkan al-Qur’an adalah, hendaknya kaum yang berjalan di depan itu adalah kaummu—yang rahasianya sudah dibongkar kitab suci agamamu.”
“Nah, kalau suatu kaum bisa berubah nasibnya oleh ajaran kitab suci mereka, itu berarti kehendak bebas itu ada dong.”
“Kehendak bebas untuk berpikir bahwa nasib suatu kaum bisa berubah oleh ajaran dalam kitab suci mereka adalah sebuah takdir yang membuat kaum itu tidak pernah mengikuti ajaran kitab sucinya, sehingga mereka terus-menerus berada di belakang kaum-kaum yang lain yang justru terus melakukan yang terbaik untuk mereka kendati sangat menyesali bahwa kitab suci mereka malah tidak pernah memfirmankan itu.”
“Jadi gila saya kalau begini. Ya ampun. Mati anak muda. Apa Tuan bilang barusan?”
“Jangan berputus asa. Mari kembali ke awal. Kita sederhanakan lagi masalahnya.”
“Maksud Tuan?”
“Kembali ke teori: ‘Hidup adalah persoalan iklas menerima’.”
“Saya tidak mengakui teori itu. Konyol sekali. Saya tidak mau menerima nasib bangsa kita yang terus-menerus seperti ini!”
“Nah, kegilaanmu mulai terarah. Lanjutkan!!!”
Jroh teuma.
Trims kawan.
Semangat bang beu teugeh
Bravo bg @muhaimin
Saling mendukung bang @munawar87
Pasti
Heheheh