ACEHNOLOGI (VOLUME III, BAB 25) ; SISTEM KEBUDAYAAN ACEH
Assalamualaikum,
Pada bab ini saya melanjutkan review daripada tugas saya yang mengenai dengan Kebudayaan Aceh, dua istilah tersebut memang sering muncul dan terdengar bagaimana reproduksi Kebudayaan Aceh. Oleh karen itu tidak sedikit kajian mengenai kedua hal tersebut, dimana sejak kedatangan Islam ke Aceh hingga keinginan mengaktifkan kembali pelabuhan di Aceh. Namun dalam beberapat tulisan lain, disini penulis telah mengupas bagaimana aspek fisik dan metafisika dari sebuah kebudayaan Aceh. Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan tersebut adalah ilmu-ilmu sosial dapat ditemukan dalam beberapa teori yang dimulai dari aspek meta-teori. Adapun dalam kajian ini tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan konsep hakikat jati diri manusia yang telah berjasa menemukan bentuk-bentuk kebudayaan.
Pada bab ini lebih menjelaskan pada pembahasan kemampuan orang Aceh dalam membangun kebudayaan adalah turi Droe (kenali diri). Adapun prosesnya adalah mengenali saya yang ada pada diri mereka sendiri, dengan kata lain mereka menjadi produsen budaya adalah mereaka yang telah mampu menafsirkan keberadaan dirinya dibumi ini. Salah satu persoalan lanjutan yang muncul dalam kajian ini yaitu apakah semua konsep diatas yang pernah di praktikkan oleh orang Aceh sangat terbelakang atau sebagai awal dari kemajuan berpikir rakyat Aceh ? ini merupakan landasan berpikir Hegel di Barat, ketia dia mengaitkan nilai-nilai universalitas muncul ketika manusia mampu memahami Geist (spirit). Adalah tugas diri untuk mendapat akualisasi diri (self actualization) di dalam kehidupan.
Dikarenakan tidak ada lagi kekuasaan dan peradaban, maka yang tersisa di tepi laut Aceh adalah Reusam, istilah Reusam muncul dari Bahasa Arab yaitu Rasm (gambar). Lempengan gambar yang terdapat di tepi laut merupakan warisan. Namun, tidak lagi memiliki kekuatan yang mempengaruhi keluar, mealainkan hanya kedalam masyarakat. Maksudnya adalah apakah orang di tepi laut Aceh khususnya nelayan ataupun pengambil ekbijakan mampu memahami laut Aceh dalam bentuk geo-politik. Atau dapatkah orang Aceh berpikir bagaimana nilai-nilai strategis laut di Aceh dari perpektif perdagangan internasional. Dari peerpektif luar, tepi laut Aceh sudah dimasukkan kedalam lanskap percaturan global, namun apakah orang Aceh sudah memiliki kesadaran mengenai hal tersebut ?
Saat ini pula kita masih mendiskusikan tepi laut sebagai reusam, namun orang lain sudah memikirikan kedepan bagimana nasib orang Aceh, mulai dari tepi laut hingga kepada bukit barisan. Harus diakui bahwa laut pada masa sejarah kolonialisasi, laut memegang arti yang cukup penting untuk dikuasai. Karena itu proses penyadaran akan kekuatan laut Aceh, merupakan salah satu upaya yang harus dipertahankan. Para intelektual harus mampu membangkitkan daya nalar yang kritis untuk menciptakan ataupun menemukan teori-teori yang mampu mengarahkan proses penyadaran masyarakat Aceh. Demikian pula Pemerintah harus mengambil andil dalam memperkuat institusi mereka.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan yang dapat digaris bawahi. Pertama, dalam tradisi berpikir orang Aceh telah ditemukan konsep i being action, dan ada juga beberapa konsep lanjutan yang bersifat menggerakkan kehidupan orang Aceh. Kedua, pola yang dilakukan oleh pemikir Aceh, ternyata hampir mirip pola yang dilakuka di Barat, ketika filosofmencoba menemukan kekuatan reason didalam menyerap daya tersebut terhadap kesadaran diri. Ketiga, perlu dipikirkan kembali sistem ide-ide yang ada dikalangan masyarakat Aceh, khususnya mereka yang memiliki kemampuan untuk berpikir pada tahap untuk melaukan rekayasa sosial. Dalam kajian ini tampak bahwa salah satu kemampuan tersebut ditemui dalam kebudayaan masyarakat Aceh di tepi laut. Secara sosial sejarah kontribusi sistem ide-ide orang Aceh telah memberikan kontribusi yang amat signifikan bagi dua etnik di Asia tenggara yaitu Jawa dan Melayu.