Memilih Karena Konstribusi Sederhana Sekalipun Bermakna

in #indonesia6 years ago (edited)

Pilkada baru saja usai. Hiruk pikuknya masih terasa. Saya pribadi tidak memilih kemarin karena memang sudah menunaikannya beberapa waktu lalu di Pilkada sebelumnya. Iya kali ini gak bisa hunting diskonan di merchant-merchant tertentu dengan menunjukkan jari ungu. Kali ini jadi penonton yang baik dan penikmat libur pilkada saja.

7B4D037C-F6AD-4C8D-83DF-C725E9C1B496.png
personal picture, edited with canva

Suasana jelang kontestasi politik selalu membuat saya lebih “waspada” dalam bergaul di media sosial. Tujuannya tidak lain untuk menjaga hati agar tidak ikut memanas karena memanasnya suhu politik. Pemilihan kepala daerah sudah bikin gerah apalagi pemilihan umum baik pemilihan presiden dan tidak kalah seru pemilihan legislasi untuk anggota DPR.

Beragam macam sikap masyarakat menyikapi pesta politik ini. Ada yang semangat, ada yang ogah-ogahan, ada yang sinis dan pesimis tapi tetap mau datang ke kotak suara, ada pula yang menyatakan sikap untuk tidak bersikap.

Well, apa yang akan saya tulisakan tentu tidak untuk tujuan pembenaran atau menyalahkan satu di antara sekian macam sikap yang lagi-lagi menjadi hak pribadi setiap orang. Namun hak konstitusional untuk memilih alangkah baiknya ditunaikan bahkan jika kita harus memilih kotak kosong. Beberapa calon pemimpin daerah hanya maju sebagai calon tunggal dan bersaing dengan kotak kosong. Bagi yang tidak bisa memilih sang calon tunggal sekalipun alangkah baiknya untuk tetap menunaikan hak konstitusional dengan memilih kotak kosong.

Hak suara yang tidak ditunaikan berpotensi untuk disalahgunakan. Setidaknya jika tidak berkenan memilih kita tetap menutup kemungkinan penyalahgunaan suara. Apa pengaruhnya? Toh cuma satu suara?

Bayangkan jika ada sekian kepala yang berpikiran seperti itu. ratusan atau ribuan...

Carut marutnya wajah panggung politik semoga tidak menyurutkan langkah kita untuk menjadi bagian kecil yang menjaganya tetap dalam kondisi “sehat”, dengan kontribusi sederhana kita sesederhana tidak “Golput”.

Saat berita kemenangan Trump dari oposisinya di Pemilu Amerika lalu, banyak pihak yang heran. Apalagi di kantong-kantong demokrat kuga tampak ada ketimpangan jumlah suara antara demokrat dan republik. Kok bisa?

Berdasarkan hasil kajian salah satu penyebab dari kemenangan Trump adalah banyaknya potensial voter untuk demokrat yang justru memilih abstain alias “golput”. Maka ketika dari sekian jumlah suara yang ditunaikan kemudian menjadi poin kemenangan republik salah satu sebabnya karena banyak yang memilih untuk tidak memilih. Mungkin karena merasa tak ada pilihan yang cocok. Namun memilih yang terbaik dari yang ada (yang buruk sekalipun) kiranya berlaku dalam konteks ini karena tidak memilih hakikatnya yang lebih buruk.

Mereka yang tidak memilih tentu menjadi rancu jika ikut-ikutan memprotes dan rusuh terharap kebijakan mereka yang terpilih. Menunaikan hak suara saja tidak?

Saya tidak ingin mengatakan bahwa saya tidak suka pada mereka yang memang bersikap untuk tidak bersikap. Ini kembali pada hak pribadi masing-masing. Tetapi saya pribadi belakangan memilih untuk sebisa mungkin menunaikan hak dan kewajiban konstitusional ini tidak lain karena saya juga bertanggung jawab atas nasib negeri ini dan kelak masa depannya.

Saya pernah tidak menunaikan hak ini pada pemilu legislative di 2009. Bukan karena mau sok-sok an golput tapi karena pada hari itu tengah berada di meja operasi untuk melahirkan putri kedua saya.

Meski saya bekerja dekat dengan dunia politik namun sungguh saya tidak suka hal yang berbau politik. Namun saya seperti tertampar ketika saya membaca tulisan salah satu penyair Jerman, Bertolt Brecht tentang Political Illiterate yang kutipannya saya sampaikan di bawah ini.

“The worst illiterate is the political illiterate, he doesn’t hear, doesn’t speak, nor participates in the political events. He doesn’t know the cost of life, the price of the bean, of the fish, of the flour, of the rent, of the shoes and of the medicine, all depends on political decisions. The political illiterate is so stupid that he is proud and swells his chest saying that he hates politics. The imbecile doesn’t know that, from his political ignorance is born the prostitute, the abandoned child, and the worst thieves of all, the bad politician, corrupted and flunky of the national and multinational companies.” (Bertolt Brecht)

"Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional." (Bertolt Brecht )

Iya saya yang hanya memiliki satu suara ini ternyata memiliki peran lahirnya kebijakan-kebijakan penting yang dikeluarkan para pembentuk hukum dan kebijakan. Mereka terpilih atau tidak terpilih antara lain karena ada satu suara saya yang terhitung.

Memilih bukan soal menang dan kalahnya pilihan kita. Memilih artinya kita sudah menunaikan kewajiban dan tanggungjawab kita berkontribusi membangun negeri ini. Tanggung jawab yang dalam agama saya akan dimintakan juga akuntabilitasnya di hari kemudian.

Kelak siapapun yang kemudian terpilih, pilihan kita atau bukan pilihan kita, tugas kita pulalah mengawal mereka. Percaya lah tidak ada yang bisa menjamin pilihan kitalah yang terbaik sebagaimana yang bukan kita pilih adalah pilihan yang buruk.

Dalam dunia politik segala hal sangat mungkin terjadi. Saya selalu bilang pada diri saya sendiri “just play your role - your part” and be responsible!

Bahkan memilih kotak kosong sekalipun itu artinya kita telah tunaikan tanggungjawab dan tidak bersikap buta politik.

Semangat teman-teman, karena perubahan membutuhkan kontribusi kita meski dengan hanya satu suara.

Tahun 2019, pastikan kita memilih. Siapapun pilihan kita.

*pendapat pribadi saya yang tentu saja dimungkinkan jika ada yang berpendapat berbeda. Berbeda tidak mengapa asalkan kita selalu menjaga damai dan kesatuan.

Best Regards

Ophi Ziadah, 28 Juni 2018

Sort:  

Sayangnya birokrasi terlalu ribet sehingga banyak yang tidak dapat surat suara.

Masih butuh banyak perbaikan dalam negeri ini.
Pun begitu sebagai warga yang baik kita harus tetap mendukung program dan proses pemerintahan.

Di tempat saya malah ada yg jago2in satu pasangan. Eh kalah dia jadi balik bagus2in pasangan lain yg menang... Plin plan gitu kebayang kalau dia yg jadi calon. Gimana nanti menjalankan amanah pemilih...