CERBUNG : TUHAN TAK ADA DALAM DADA KITA (EPISODE I)

in #indonesia6 years ago

Siluet Masjid.jpg
Sumber ilustrasi

Sudah 15 tahun kutinggalkan kampung halamanku, setelah aku memutuskan untuk pergi merantau untuk mencari kerja. Rasanya, tak ada banyak yang berubah pada kampung tempat aku dilahirkan ini. Sampai di rumah ibuku, aku, istriku dan kedua anakku rehat sejenak setelah melalui perjapanan panjang untuk sampai ke sini. Ketika kami sampai tadi, ibu dan ayahku menyambut kedatangan kami dengan pelukan haru setelah lama tak berjumpa.

Keesokan harinya,aku memutuskan berjalan jalan santai sebentar ke luar rumah untuk melihat-lihat sekaligus mengenang masa kecilku dulu. Aku mampir sejenak di sebuah warung kopi setelah beberapa menit berjalan mengitari kampung dan memutuskan untuk duduk santai di situ sambil memikmati secangkir kopi panas. Aku mengarahkan pandanganku ke seantaro ruangan warung untuk memanggil pelayan. Lalu, mataku tertuju pada meja di sudut sebelah kananku. Kulihat sekelompok bapak-bapak paruh baya duduk di sana menikmati bergelas kopi sambil asyik main batu.

Beberapa ada yang kukenal teman ayahku dan tetangga kami di sebelah rumah. Namun, mataku tertuju pada bergepok uang yang dililit karet gelang di atas meja mereka. Aku langsung mahfum kalau mereka sedang melakukan perjudian. Ada sedikit rasa keterkejutan melihat kegiatan mereka. Terlintas dipikiranku tentang masyarakat kampung halamanku ini yang terkenal sangat taat beribadah dan tak pernah melakukan kegiatan yang di larang Allah tersebut. Kulihat salah seorang dari mereka seorang bapak yang masih sangat kukenal sebagai orang yang paling sering ke meunasah kampung dan paling kuat agamanya. Bapak itu bernama Abdullah. Dia yang paling semangat dalam permainan itu. Astaghfirullah, kataku dalam hati. Tak menunggu lama, setelah menghabiskan kopiku, aku langsung berjalan pulang dengan rasa penuh kebingungan. Apa yang terjadi pada kampung ini?

Sampai di depan rumah pun hatiku masih di selimuti tanda tanya. Kulihat kedua anakku menyambut kedatanganku di halaman dengan girang sambil memangil namaku berulang-ulang. Aku memggendong Aisya, anakku yang paling bungsu, sedang Ufaira, kakaknya berjalan di sampingku. Ketika aku masuk kedalam, ternyata istri dan ibuku baru saja selesai memasak untuk makan siang kami.

''Shalatlah dahulu, Bang, sebelum makan. Itu sudah azan dzuhur,'' kata Annisa, istrikum. Aku hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan pesan istriku dengan senyum. Lalu, akupun bergegas mengambil wudhu. Dari kejauhan, terdengar suara Annisa meminta anak-anak kami untuk ikut shalat.

Bersambung..