Self Government Aceh, Berhenti Mengigau Mari Bangkit!
Bicara mengenai Self Government di Aceh maka tak lepas dari rentetan sejarah panjang dan problematika yang tak kunjung usai hingga hari ini. Sejak tahun 2005 lalu, Aceh dikatakan telah memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Namun faktanya berbagai persoalan masih terus membayangi tanpa adanya jalan keluar yang memadai. Inilah yang hendak saya kupas dalam tulisan ini. Tidak hanya melulu membeberkan “kepincangan” penerapan Self Government di Aceh. Di sini, saya juga bermaksud untuk menawarkan suatu pendekatan yang kiranya akan mampu membuka mata kita. Bahwa masih ada titik terang atas kekaburan yang selama ini terjadi.
Istilah Self Government memiliki arti yang cukup luas. Namun pemahaman hematnya adalah suatu pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri, kecuali menyangkut tiga hal yakni, kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri. Artinya, Aceh sebagai daerah dengan keistimewaan Self Government memiliki hak untuk mengurus diri sendiri, diluar ketiga hal di atas. Akan tetapi, implementasi Self Government di Aceh sungguh sangat jauh dari kata ideal jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang memiliki kewenangan serupa. Sebut saja, Sabah dan Serawak di Malaysia, Monaco, Greenland, Tibet, dan Puerto Rico di Amerika Serikat.
Jika pada daerah-daerah tersebut tidak sulit menemui simbol-simbol wilayah seperti bendera, lambang dan himne. Maka, hal tersebut tidak ditemui di Aceh. Padahal MoU Helsinki poin 1.1.5 menyebutkan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah yang bahkan dipertegas lagi di dalam UUPA Pasal 246. Belum berhenti di situ. Dalam bukunya “Self Government (Studi Perbandingan Tentang Desain Administrasi Negara), Yusra Habib Abdul Gani menuliskan bagaimana status Aceh dan pemerintah Aceh di Indonesia dalam hukum Internasional. “a nonself governing territory” adalah sebutannya. Pemerintah Aceh hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan penguasa pusat di daerah. Yusra melihat bahwa apa yang diterapkan di Aceh adalah wujud sesungguhnya dari otonimi seluas-luasnya. Bukan pemerintahan sendiri atau yang disebut dengan Self Government. Hanya mengganti istilah sehingga terkesan lebih ilmiah dan seolah-olah tidak melaksanakan otonomi khusus (hal.134). Tidak hanya itu, sejumlah perjanjian yang telah disepakati dalam MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ternyata juga belum sepenuhnya ditepati.
Kewenangan dan posisi Self Government Aceh dalam realisasinya dianggap masih sebatas otonomi yang kapan saja bisa dicabut oleh pemerintah pusat. Seharusnya kewenangan pemerintah pusat terhadap Aceh hanyalah sebatas mengatur tiga hal yang telah disebutkan di atas. Sayangnya yang terjadi saat ini, campur tangan pemerintah pusat masih mendominasi. Karena hal tersebutlah, lahir elit-elit lokal sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat yang memiliki kuasa di daerah. Pada masa sebelum penandatanganan MoU Helsinki dikenal istilah “Elit Lama” yang dianggap sebagai musuh dan objek resistensi oleh pihak GAM dan “rakyat” karena dianggap sebagai bagian dari Indonesia kala itu. Kini pasca damai, eksistensi “Elit Lama” perlahan memudar diganti oleh keberadaan “Elit Baru” yang lahir dari rahim organisasi GAM.
Mulanya, kehadiran elit baru ini dianggap sebagai titik terang dan pengharapan bagi rakyat Aceh. Hal ini dikarenakan mereka terbentuk dari kalangan mantan pejuang GAM, para aktivis, maupun para pimpinan diasporan GAM yang sebelumnya berjuang dari luar Aceh. Mereka tidak lagi dianggap sebagai kelompok pro Indonesia atau sejenisnya, melainkan dimaknai sebagai aktor perubahan yang mengisi posisi-posisi strategis. Evers dan Schiel (1990: 12) menyebutnya sebagai kelompok-kelompok strategis yang memiliki fungsi untuk perkembangan politik, situasi konflik, reformasi ataupun revolusi dalam masyarakat.
Namun, menjamurnya elit-elit baru ini memiliki peranan strategis dan akses yang dominan ke pusat-pusat kekuasaan. Mereka tidak hanya bermain dalam kancah politik saja, namun juga melanglang buana hingga aspek ekonomi. Inilah yang kemudian menimbulkan beragam permasalahan sehingga lagi-lagi implementasi Self Government Aceh semata-mata mengarah pada kepentingan tertentu, bukan rakyat.
Jika sudah begini, ujung-ujungnya rakyat yang kembali menanggung derita. Alih-alih sejahtera, hidup berkecukupan pun masih jauh dirasa. Lantas, apa yang mampu dilakukan? Akankah terus terpuruk? Atau membiarkan realisasi atas wacana Self Government Aceh yang selama ini terkesan “mengigau”? Tidak! Amat disayangkan jika budaya apatis terus dikembangkan. Iya, kalau ketidaktahuan dan “awam” menjadi alasan. Kalau tidak? Mari bertindak! Atas alasan tersebutlah saya menulis tulisan ini dengan turut menyertakan suatu sudut pandang berbeda dari biasanya yang menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu politik, guna “meneropong” permasalahan ini. Dalam hal ini, sesuai dengan disiplin ilmu yang saya geluti maka saya melihatnya melalui “kacamata” antropologi.
Antropologi secara diskursuf ditunjukkan oleh Degung Santikarma (2004) bahwa secara genealogis memiliki relasi dengan kekuasaan. Rezim antropologi (sebelumnya) yang masih berkutat menemukan “karakter mentalitas budaya bangsa” hanya terpaku pada pencarian struktur sosial dan rumusan tatanan stabilitas, sehingga apa yang secara terselubung bekerja kurang terperhatikan, misalnya saja kekuasaan dan kekerasan yang bekerja secara massif. Oleh karena itu, menjadi penting bagi antropologi untuk melakukan terobosan “praktik cara mendengar”, yang nantinya akan menjadi senjata untuk memberikan “suara” pada kelompok masyarakat yang dibungkam, alias tersisihkan. Ini sesuai dengan kondisi rakyat Aceh saat ini.
Adapun “senjata” tersebut tertuangkan dalam salah satu buku karya I Ngurah Suryawan yang berjudul “Jiwa yang Patah” (2013). Dalam buku ini, terkait penyelesaian atas kompleksitas yang terjadi di Papua, I Ngurah Suryawan seorang antropolog sekaligus pengajar di salah satu Universitas di Papua menyebutkan bahwa pendekatan antropologi reflektif merupakan pendekatan yang cukup efektif dalam memahami persoalaan konflik terkait pembangunan di tanah Papua. Saya melihat, ada kemiripan antara situasi cheos yang terjadi di Aceh dan Papua. Yakni, tidak terwujudnya pembangunan seperti apa yang diharapkan serta tak kunjung usainya selisih paham yang terjadi antara pemerintah pusat dan “rakyat” daerah. Dalam konteks Aceh sendiri, salah satu tujuan dari penerapan Self Government adalah pembangunan. Maka, pas rasanya jika kita mengulas permasalahan “igauan” Self Government ini melalui pendekatan reflektif.
Melalui perspektif ini, antropologi memberi ruang rekognisi kepada masyarakat tempatan (dalam hal ini masyarakat Aceh) untuk menegakkan identitas diri dan budayanya. Sama seperti bagaimana kita melihat melalui mata “orang kecil”. Pendekatannya adalah dengan melihat proses kognitif, yaitu pada proses kesadaran pembentukan makna dan menemukan penafsiran-penafsiran di balik ekspresi-ekspresi budaya rakyat tempatan. Seperti yang dikatakan I Ngurah Suryawan, masih di dalam buku yang sama. Bahwa antropologi reflektif ini lahir bersama-sama rakyat untuk berpolitik dalam membangun sejarah baru. Maka, antropologi reflektif yang mendasarkan dirinya pada gerakan sosial, bekerja secara bersama-sama untuk menemukan “diri masyarakat” dan juga diri si “peneliti/antropolog” itu sendiri, dalam hal ini pemerintah. Sehingga dengan demikian, pendekatan ini dapat menjadi “senjata” bagi rakyat Aceh untuk menyuarakan serta melantunkan identitas diri dan budayanya.
Ujungnya, hal ini untuk memberi kejelasan atas apa yang rakyat inginkan dan Self Government seperti apa yang seharusnya diterapkan.
Inilah yang hendak disampaikan, bahwa betapa pentingnya pemahaman akan sudut pandang rakyat selaku manusia yang menempati dan merasakan efek dari implementasi Self Government itu sendiri. Pemerintah seharusnya jeli sebelum memutuskan. Tidak main “mencekoki” ketika mengeluarkan kebijakan. Jangan lagi membiarkan “wacana” mengambang dan berujung pada “igauan” tanpa aksi nyata. Saatnya bangkit dan bertindak! Self Government Aceh perlu dibenahi, bukan sekedar dikritisi. Ya, langkah awalnya adalah melalui pemahaman akan nilai-nilai lokal dan budaya dari masyarakat, sehingga apa yang hendak direalisasikan dapat berjalan sesuai dan cocok dengan kriteria masyarakat dan budayanya. Karena bagaimanapun, rakyat adalah manusia yang berbudaya. Begitupun “Ureung Aceh”.
Semoga lewat tulisan ini dapat membuka “kesadaran” dan menyentil “egoisme” oknum pemerintah. Rakyat juga punya sudut pandang yang ingin bersama-sama dilihat dan dimengerti. Jika memang tujuan utama penetapan segala kebijakan, termasuk Self Government ini adalah untuk menyejahterakan rakyat. Maka, dengarkan mereka. Berlaku pula bagi kaum yang mengatasnamakan diri sebagai “pembela rakyat”. Berhenti mendulang janji dan tunjukkan kontribusi lewat kepedulian akan “jeritan rakyat”. Jangan saling tuding yang pada akhirnya memecah bingkai integritas. Jangan biarkan Aceh sebagai bagian dari NKRI terus menerus “hibernasi” atau bahkan sampai “disuntik mati”. Sadarlah Aceh Lon Sayang!
Note: semua foto diambil di seputaran Kota Lhokseumawe, Aceh, Indonesia.
(Maafkeun karena isunya kurang faktual. Karena tulisan ini merupakan essay yang sudah cukup lama dikerjai. Mohon maaf atas beragam kekurangan dan terima kasih sudah membaca steemians sekalian! Hopefully untuk diberikan masukan dan koreksi atas kesalahan maupun kekurangannya yaa~🙏)
Salam hangat❤
@putrianandass
kurang sedikit itu biasa..
ka mantao nyan
Hehehehe terima kasih😉😆
luaaar biasa.....pengetahuan yang mendalam menunjukkan perhatian yang amat sangat...
Waaah terima kasih sudah mampir 😉🙏