Aceh Dalam Alaram Bahaya, Bahagia dalam Lilitan Masalah?

in #indonesia6 years ago

image
Bersama Adnan Ganto dalam diskusi Era Industri 4.0

Sekilas, kabar ini menggembirakan. Menurut indeks kebahagiaan provinsi tahun 2017 posisi Aceh ada pada angka 71,96 pada skala 0-100. Angka ini lebih tinggi dari indeks kebahagian nasional, 70,69.

Jika dikontraskan dengan masalah yang ada, maka indeks kebahagiaan Aceh itu sebuah alaram bahaya sebab Aceh sudah pada level menikmati masalah, bukan lagi pada sikap berkehendak untuk mengatasi masalah.

Disebut bahaya, karena meski secara nasional Aceh terbilang bahagia, namun dibandingkan dengan provinsi lain, posisi kebahagiaan Aceh ada diurutan ke-13, kalah jauh dengan Maluku Utara dan Maluku yang berada di puncak.

image

Jelas, Aceh butuh pendekatan luar biasa untuk kembali bersedia mengatasi kendala dan masalah yang ada. Salah satunya segera mengadopsi pendekatan berbasis teknologi dalam kerja pelayanan publik.

Sayangnya kesadaran terhadap keadaan yang semakin menyesakkan dada rakyat ini tidak menjadi kesadaran massal birokrat Aceh. Visi pemimpin belum mampu diterjemahkan dalam praktek pelayanan publik oleh birokrat.

Akibatnya, total anggaran saban tahun dari APBA, APBD dan Dana Desa sekitar 46 triliun belum juga menjadi daya ungkit. Dilihat dari Dana Otsus, sejak 2008 - 2018 sudah ruah peng ke Aceh sebanyak 64 triliun angka kemiskinan di Aceh belum juga beradi diangka satudigit. Kini, kemiskinan Aceh masih di angka 15,97 persen (Maret 2018) dari 26,65 persen (2007).

Angka kemiskinan ini menempatkan Aceh pada urutan keenam provinsi miskin, nomor satu miskin di Sumatera, Aceh masuk dalam 10 provinsi banyak pengangguran, Aceh masuk dalam radar KPK karena rawan korupsi, dan peringkat 15 provinsi paling rawan penyelewengan uang, serta posisi investasi Aceh ada di urutan 30 dari 34 provinsi di Indonesia.

Siapa yang salah? Jawabannya harus kita alamatkan pada birokrat pemerintah. Mereka inilah yang tidak mampu menghasilkan perencanaan berkualitas sehingga menjadi salah satu penyebab RAPBA disahkan tidak tepat waktu.

Perencanaan yang jelek juga berakibat fatal pada pencapaian visi dan misi pemerintah. Akibatnya, siapapun yang dipilih rakyat, berkemungkinan bisa dikalahkan oleh birokrat pemerintah yang sudah pada tingkat menikmati masalah sehingga bisa melakukan sesuatu sejak diperencanaan.

image
Kotak kue kreatif karya mahasiswa Unsyiah

Bandingkan dengan perencanaan provinsi lain yang dapat kita cermati dari APBD mereka. Dari 9 provinsi di Pulau Sumatera, tinjauan APBD tahun 2017, hanya Aceh yang APBDnya besar. Delapan provinsi lainnya, hanya Sumatera Utara dan Riau yang mendekati APBD Aceh. Selebihnya, APBD enam provinsi lainnya dibawah 10 triliun.

Meski anggaran Aceh, besar, tapi belanja modal provinsi Aceh baru 17 persen. Bandingkan dengan Belanja Modal di Bengkulu yang mencapai 30 persen, Jambi 23 persen, Riau 23 persen, dan Sumatra Selatan 26 persen.

Memang ada juga provinsi yang persentase belanja modal mereka sama dengan Aceh, seperti Bangka Belitung, Lampung dan Kepulauan Riau, bahkan ada yang lebih kecil yaitu Sumatera Utara (14 persen).

Meski sama dan kecil dari Aceh, mereka memiliki realisasi investasi yang mengalahkan Aceh. Tahun 2017, nilai realisasi investasi Aceh baru 61, 1 miliar. Sedangkan Kepulauan Riau sudah di angka 183,2 miliar. Lebih dasyat tentu saja Sumatera Utara (1.440,3 triliun) dan Lampung (1.800,4 triliun).

Lebih menarik lagi, Riau dan Sumatera Selatan, meski nilai realisasi investasi sudah diangka triliunan tapi belanja modal kedua provinsi tersebut di APBA juga masih besar, di atas belanja modal Aceh.

Saya yakin, gubernur dan wakil gubernur, ketua dan wakil ketua DPRA serta kepala SKPA dan semua tahu peta masalah ini. Tapi, yang tidak juga hadir adalah pendekatan luar biasa guna mengatasi masalah yang juga luar biasa ini.

Saban lima tahun, pemimpin terpilih masih saja terus kalah dengan birokrasi yang berhasil memaksa pemimpin untuk mengikuti irama kerja mereka, walau pada masa kampanye sudah berjanji akan melakukan reformasi birokrasi, mengembalikan fungsi pelayanan sebagai elan vitalnya pemerintah.

Akibat paling fatal saat ini dari kekacauan kerja biasa-biasa saja ini adalah perdamaian Aceh mulai menerkam anaknya sendiri. Beberapa orang sudah ditangan KPK, beberapa ada tangan penegak hukum lainnya.

image
Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah

Sekarang, Plt Gubernur Aceh kembali membangun jalan ikhtiar untuk menarik yang minus menuju zero agar menjadi titik maju menuju ke arah plus.

Menariknya, dalam ikhtiar itu Plt Gubernur Aceh juga mendekatkan kerja pelayanan publik dengan pendekatan teknologi dalam usaha yang disebut mewujudkan Aceh menjadi Smart Province. Ikhtiar ini sangat tepat karena arah dunia sedang bergerak memasuki era industri 4.0, yang salah satunya dipicu oleh teknologi kecerdasan buatan dan teknologi blockchain.

Jika Aceh tidak segera beradaptasi maka sangat mungkin akan terjadi kemiskinan yang berlipat ganda akibat terdestrupsinya banyak lapangan kerja berbasis sumberdaya manusia murah. Sebaliknya, jika Aceh cepat memutuskan diri untuk terbuka dengan era industri 4.0 bukan tidak mungkin mampu menurunkan angka kemiskinan secara drastis hingga menyentuh angka satudigit.

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq