Satu tungku banyak belanga
Dulu berperang dengan senjata, sekarang berperang diatas meja (pena), penandatanganan perdamaian antara RI dan GAM memang hari bersejarah bagi masyarakat Aceh, sesuatu yang harus diresapi dan dimaknai sebagai tonggak titik balik dalam sejarah kemanusiaan.
Pasca damai peperangan berubah pola, dulu bergerilya di hutan rimba, sekarang adu strategi dibalik bilik suara, pemilu merupakan ajang pertaruhan perjuangan idiologi, memang pasca damai politik identitas menguat di Aceh seiring dengan berkuasanya para mantan GAM, namun para kepala daerah (terutama yang berasal dari GAM) terlalu asyik dalam memikirkan atau menghabiskan anggaran yang tertera dalam APBA atau APBKnya tanpa memikirkan berapa DIPA APBN yang masuk ke daerah yang dipimpinnya, padahal walau APBA atau APBKnya sedikit tapi DIPA APBN yang masuk ke daerah banyak maka kue pembangunan tentu lebih besar.
Namun nampaknya menjelang pemilu kali ini strategi perjuangan para mantan gerilyawan tersebut berubah, kalau dulu filosofinya hanya boleh ada "satu ayam jantan yang berkokok dalam nanggroe", sekarang filosofinya ,"satu tungku banyak belanga". Hal ini terlihat dari banyaknya mantan gerilyawan GAM yang mencalonkan diri melalui partai lain terutama untuk memperebutkan kursi legislatif ditingkat nasional.
Fenomena ini sedikit mencerahkan demi kemajuan "nanggroe" tercinta, kekerdilan pemikiran politisi lokal sedikit tercerahkan, mereka sudah menyadari bahwa kue pembangunan terbesar ada di pusat bukan di daerah. Walau sekoci perjuangan mereka berpencar tapi tujuannya sama, seperti kata pepatah "walau tempat tidurnya berbeda yang penting mimpinya sama.
Mudah-mudahan perjuangan mantan gerilyawan tersebut berhasil, apalagi titel mereka sekarang rata-rata sudah sarjana atau bahkan ada yang sudah lulus pasca sarjana, pemikiran mereka tentu sudah luas dibanding pada waktu pertama kali dulu mencalonkan diri hanya bermodalkan lulusan paket C.
Wallahu'alam