Mudik; Lebih dari Pulang
"Rumah adalah terjemahan surga. Rumah ialah surga bagi seorang pemula.
-- Charles Henry Parkhurst."
Orang-orang yang bekerja di luar daerah, mahasiswa yang kuliah di luar daerah dan lainnya, semua pulang ke rumah. Semua mudik dan pulang menjemput kebahagiaan lain yang tak ditemui di rantau sana.
Memang, di luar rumah kita masih bisa bahagia, masih bisa tertawa dan bersuka cita. Tapi tetap saja, rumah adalah kebahagiaan yang berada di maqam berbeda. Ia sebaik-baiknya bahagia. Maka dari itu, setiap menjelang lebaran ada ritual khusus bagi umat manusia yang disebut mudik.
Jujur saja, dulu, sebelum saya pergi dari rumah untuk menantang masa depan, rasa-rasanya mudik adalah hal biasa yang tak perlu di-dramatisir-kan. Bagi saya, mudik adalah kepulangan biasa yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Tak ada emosional di sana.
Tetapi, setelah mengalami sendiri, setelah pengalaman merantau saya cicipi dengan jiwa dan raga sendiri, barulah saya tersadar bahwa mudik memang lain. Ia adalah momen sentimentil dan emosional sekaligus. Saya baru mengerti bahwa mudik lebih dari pulang.
Pada hakikatnya, mudik sangat identik dengan rumah. Bahwa setiap orang mudik pasti pulang ke rumah, bukan ke pos jaga apalagi ke sekolah. Mudik selalu berbicara tentang rumah. Rumah yang ditinggalkan ketika seseorang muda dan menjadi tempat paling dirindukan saat ia menua.
Saya pernah membaca sebuah kutipan dari penulis andal bernama Ralph Waldo Emerson tentang rumah. Katanya, rumah ialah tempat yang ingin kita tinggalkan ketika sedang tumbuh dan ingin kita kembali ketika mulai menua. Saya sepakat dengannya. Tentu saja.
Betapa spesialnya rumah akan terlihat jelas ketika ia tak tergantikan dengan hal terberi lainnya. Bahwa ketika seseorang mengingat rumah itu berarti ia juga sedang mengulang semua kisah masa kecil. Kisah ketika ia bebas merdeka merengek apapun tanpa dimarahi. Meminta apapun tanpa peduli isi dompet.
Kenangan macam itulah yang menyulap rumah benar-benar berbeda dengan tempat/benda apapun yang ada di dunia. Barangkali, kampus adalah indah bagi setiap mahasiswa. Di sana ada cinta, ada rutinitas tugas dari dosen killer dan sebagainya. Tapi percayalah, itu semua tidak dapat menggantikan rumah sebagai tempat paling dirindukan.
Barangkali, inilah alasan Henry Anatole Grunwald, penulis besar lainnya yang menyebut rumah sebagai tempat kelahiran yang disempurnakan oleh kenangan. Saya kira dia benar-benar tepat mengatakan itu. Lagi-lagi saya sepakat dengan ujaran demikian. Rumah selalu bisa menghadirkan gejolak yang sulit ditahan.
Inilah yang barangkali menyebabkan mudik selalu disambut antusias oleh semua perantau. Mudik seringkali dijadikan jembatan untuk kembali menautkan rindu dengan rumah. Maka tak heran ketika mudik tiba, semua orang cepat-cepat merangkulnya dengan penuh emosi. Semua orang ingin pulang lebih cepat dari yang lain. Semua ingin mudiknya lancar-lancar saja sehingga mereka saling mendahului.
Barangkali, kerinduan yang maha dahsyat itulah yang membuat sesorang ingin menjadi yang terdepan saat mudik. Akhirnya tak jarang mudik menjadi ajang saling sikut dan saling mendahului, sehingga pada titik dan derajat yang lain mudik menjadi altar kecelakaan yang menyesakkan.
Saya masih ingat kejadian horor pada saat mudik tahun 2016 lalu. Saat itu mudik menjadi fragmen orang-orang naas menjemput maut dengan rindu yang masih sesak di dada. Alih-alih ingin mudik berjalan lancar, yang terjadi justru mudik menjadi akhir hidupnya di dunia.
Pada 2016 lalu mudik menjadi momen menyesakkan bagi masyarakat Indonesia. Betapa tidak, macet horor berjam-jam yang terjadi karena padatnya arus mudik menyebabkan belasan orang meregangkan nyawa di Brebes, Jawa Tengah. Saat itu orang-orang yang sedang mudik meninggal karena kelelahan menghadapi macet arus mudik dan tentu saja lelah menahan rindu.
Semua ingin cepat sampai rumah. Sedangkan ruas jalan melebihi kapasitas kendaraan yang mudik. Maka jadilah mudik itu horor hingga membuat beberapa orang meninggal dunia. Bagi kita mungkin hal itu konyol. Orang meregang nyawa karena tak sabar ingin pulang adalah sebuah dramaturgi yang seharusnya bisa ditertawakan.
Tapi percayalah, itu semua tidak benar. Merindukan rumah selalu tak bisa biasa. Rumah selalu hanya bisa dirindukan dengan rindu yang maha besar. Maka ketika ada orang-orang yang menjemput ajal di jalan raya karena buru-buru pulang ke rumah saat mudik lebaran, do'akan mereka agar diberikan rumah yang layak di alam kekal sana.
Tulisan ini saya buat untuk semua pemudik di Indonesia. Bahwa serindu apapun kita dengan rumah, berhati-hatilah saat mudik. Tetap fokus dan mengontrol emosi ketika di jalan raya, sehingga kita semua sampai di rumah dengan selamat. Kemarin saya mudik dari Pematangsiantar ke Aceh dengan selamat. Oleh sebab itu saya doakan keselamatan untuk teman-teman steemian yang juga akan melakukan mudik. Salam literasi.
Regards
Mudik ini juga sudah menjadi tradisi tiap lebaran dari sjak leluhur dlu
Iyaa.. Mudik memang paling ditunggu...
Aseek selamat mudik, eh kok sama sih aku juga baru ja liat-liat harga koper,hihihi
Hehehe.. Karena Cules selalu sama di banyak hal mbak.. 😂😂
mantap @samymubaraq . . . makin membuat netizen gak sabar untuk pulang kampung,hehhe
Hehe.. Ayoo mudikk.. 😀