Menanti Maaf dari Paya Bujok Tunong (4)

in #indonesia7 years ago (edited)


Source

Sebelumnya

Tergesa kusambar The Runaway Jury dari rak ketiga di sisi kiri meja. Mengeluarkan kartu peminjaman, menyerahkan pada Kak Santi yang hari itu bertugas sambil mengagumi sanggulnya yang miring bertutup selendang hijau. Aceh sangat style sanggulnya hari itu. Aku meninggalkannya dengan pipi bersemu merah dan tubuh terpaku saat kukatakan, "Sanggul Kakak bisa bikin aku berdiri di sini sampai beberapa jam ke depan."

Sambil menimbang sisa 9 menit sisa masa istirahat dengan potensi menghabiskan sebatang rokok di belakang lab Kimia.

Saat langkahku tiba di kawasan paling bengal di SMU Negeri 1 Langsa, kulihat Rony, Fahmi dan puluhan Pemuda Harapan Bangsa mengepulkan asap rokok dari muncung masing-masing. Aku melangkah mendekati Fahmi, memberi kode dengan mengangkat alis. Dengan wajah kesal yang dibuat-buat, ia mengeluarkan bungkusan Commodore Filter softpack.

Anak pedagang emas di pasar Langsa itu menjadi tambatan harap para siswa berstatus Sumitro Rojali (suka minta rokok, rokok jarang beli) macam aku ini.

Aku tak banyak bicara. Sementara para ahli-hisap lain mengumbar khayal tentang lagu baru Dewa 19, model kreta mutakhir sampai cewek yang sedang jadi incaran. Mataku terprovokasi Oki yang memamerkan 2 dek kartu domino bergambar perempuan tak berbenang.

"Ini Jepang punya barang, Wak... yang ini Arab..." ujarnya sambil menggelar dek kartu. Melebihi kecepatan magnet menyedot pasir besi, kawan-kawan jama'ah testosteron merubunginya.

"Anjiiirrr... mantap kali, Wak..." ungkap Saiful dengan ekspresi wajah berlendir.

Tepat ketika geliat bara menyentuh tulisan merek rokokku, suara lonceng berdentang. Cuma Pak Mus yang mampu menghasilkan dentang lonceng senyaring itu.

Kupulas ujung bara rokok ke semen di tepian parit pengalir cucuran air hujan. Aku berencana tak 'kan menatapnya saat masuk kelas 45 detik ke depan.

Ia tak menjelaskan waktu lebih detail soal minggu depan. Kusimpulkan 'hari ini' di minggu depan, jam 4 sore dan kudapatilah 6 jam waktu hidupnya cuma untukku. Aku sangat yakin itu cukup.

Entah mengapa sosoknya menjadi pusaran penyedot tatapku. Gagal sudah komitmen yang kubangun untuk tak menatapnya. Lereng keanggunan yang angkuh itu sudah mulai terpanjat. Kukira semakin dekat aku ke tujuan hasrat yang tengah menunggang gejolak batin.

Suara Bu Irwani yang menjelaskan mengenai meristem apikal dan meristem apendikular seperti asap menguari ruang pirsaku. Benak terlalu sibuk menghitung mundur 7x24x60x60. Masih lebih dari 604.800 detik lagi membentang di antara kami berdua.

Pagar besi putih berhias rintisan korosi, pohon Mangga Udang, keramik putih dan ambang pintu berdaun 2 telah membayang dalam kepala. Ah... juga pamplet praktek dokter bertulis nama Ayahmu, lengkap dengan eksposisi, "Hari Minggu dan hari besar lainnya tutup".

Atap genteng yang warnanya mengingatkanku pada hati ayam, cat kapur berbalur putih mencekam, juga kaca jendela gelap mengancam. Telapak tangan dan kakiku terasa membasah berkeringat dingin membayangkan naunganmu. Betapa kasta memang samar tapi nyata adanya di antara kita. Mental hamba yang masih menunggangi tubuhku turut menambah beban, membantah besaran konstanta gravitasi yang diajarkan Pak Irwan.

Bersambung
IMG-20180214-WA0021.jpg

Sort:  

sudah saya vote ya diyus semuanya

Sungguh tulisan yang penuh makna tersirat,hehe

mendadak minder dengan hasil karya original @sangdiyus , seolah mengandung magis disetiap kata yg terketik

Aku juga merasakan minder 1000 kali lipat tiap membaca ulasan Tuan soal teknologi...

Makanya, jangan diangkat, Wak... dibaca aja...
Hahahahahaha...
Terimakasih sudah singgah.

Melihat tulisan ini, sepertinya abangda orang yang sukses dalam literasi

Komentar ini kuaminkan sebagai do'a sebab kenyataannya tak begitu. Belum ada karyaku berupa buku dan baru 1 kali karyaku dimuat media massa.

ada rasa hoyong saat ku baca bang.... hahahahaha