Akhirnya Kamu Menemukanku | PART X
Perjalanan menuju Deli Serdang ke Medan kurang lebih dua jam, kami melewati tol agar lebih cepat. Samping kiri kanan masih ada pepohonan, beda sekali dengan Jakarta yang dipenuhi dengan gedung-gedung. Sepanjang perjalanan kami membahas banyak hal. Ia selalu membuatku tertawa padahal sebelumnya aku benar-benar marah padanya, tapi ia mampu membuatku merasa nyaman dan melupakan hal menyebalkan karena menunggunya selama empat jam.
"Jadi Bu ini masih di daerah Deli Serdang". Kata Rizki dengan tangan kirinya menunjukan arah, dan tentu saja tangan kanannya tetap memegang stir mobil. Ia seolah menjadi tourguide perjalananku.
Aku mengangguk seolah membenarkan perbuatannya, sambil menahan geli diperutku. Ini baru pertama kali aku melihatnya dengan jarak begitu dekat, menatap matanya, melihat ia tersenyum, dan mendengarkan ia bercerita secara langsung membuat jantungku semakin tak karuan. Apalagi saat tadi ia turun dari mobil, kemeja putih dan celana hitam jeans yang ia kenakan semakin membuatnya terlihat tampan. Belum lagi ia selalu terlihat rapi dengan tatanan rambutnya, ia tak pernah betah jika rambutnya sedikit panjang, padahal menurutku masih batas wajar. Ditambah aroma parfum yang menurutku hari ini ia terlihat perfect di saat pertama kali kita berjumpa
Medan tak ada beda dengan Jakarta, sama sama macet. Selama perjalanan kami saling melempar candaan dan tertawa bersama. Ia adalah laki-laki humoris yang ku kenal dekat, berhubung sebelumnya mantan kekasihku adalah sesosok yang cuek.
"Mau aku ajarin naik mobil ngga? Mumpung lagi macet parah". Tanyanya padaku
"Hahahaha ngga ah, takut. Yang ada ntar nabrak kemana mana". Tolakku asal.
"Sini tangan kamu". Ia meraih tanganku diletakannya diatas persneling mobil, dan menimpa tanganku dengan tangannya tepat diatas. Lalu, ia menjelaskan bagaimana caranya mengoper gigi. Aku begitu antusias saat tangannya mencoba menuntunku untuk berpindah dari gigi sebelumnya. Pengalaman yang menyenangkan buatku.
Kami berhenti di sebuah pusat perbelanjaan di Medan untuk makan, sesunguhnya saat ini tepat pukul jam empat sore. Entah menyebutnya dengan makan siang atau makan sore, aku tak tahu. Yang kutahu saat ini perut kami sama-sama lapar. Kami makan di restoran ayam, aku lupa apa namanya. Yang jelas semua menu diolah dari ayam. Aku memesan ayam rica-rica dan es teh manis, dan ia memesan ayam bakar dan juga es cappucino. Kami memakannya dengan lahap. Karena ia tak suka pedas, ia memberikan sambalnya untukku. Sedangkan aku memberikan tempe orek yang ada dipiringku untuknya.
Usai makan, ia mengajakku berkeliling untuk melihat-lihat. Aku menggodanya saat ada seorang spg cantik sedang berusaha memintanya untuk mampir di toko handphone yang sedang dijaga oleh wanita itu. Ia hanya tertawa, dan aku pun ikut tertawa melihat ekpresinya.
Kami menghabiskan waktu dengan duduk di sebuah caffe, ia mengajakku untuk makan ice cream sambil menunggu bus untuk perjalanan ke Aceh yaitu tepat jam sepuluh malam. Buatku, waktu bersamanya terasa lebih cepat hanya dengan mendengarkan ia bercerita. Entah kenapa, aku hanya ingin berada disisinya malam ini, tanpa pergi kemana-mana. Jam sembilan malam kami meninggalkan caffe dan pergi ke terminal bus. Untungnya, jalanan malam ini tak begitu macet.
"Aku sayang kamu, Aira". Katanya sambil menatapku "Tapi, entah kenapa. Aku ragu karena kamu baru mengakhiri hubungan sebulan ini, dan kuyakin kamu masih memiliki rasa padanya". Lanjutnya menjelaskan alasan mengapa ia terlalu takut untuk memulai denganku
Aku tersenyum sedikit, "Iya, aku ngerti". Kataku lemas, entah kenapa aku begitu kecewa dengan pengakuannya. Memangnya apa yang ku harapkan? Ah rasanya hatiku perih sekali. Aku mencoba menetralkan perasaanku dengan melihat jalan dan mobil yang beringingan disamping kami dari dalam kaca pintu mobil.
"Tapi jangan pergi" Katanya padaku, ada tangan yang tiba-tiba menggenggam jemari tanganku. Sangat erat, dan menaruh di dadanya. Aku mencoba melepaskan sekuat tenaga, namun cengkramannya semakin kuat. Aku tak bisa melepas. Aku diam seribu bahasa menahan panas diujung mataku, seolah akan ada yang keluar disana. Dan akhirnya pertahananku goyah, air mataku jatuh satu persatu membasahi longdress hitam yang ku kenakan. Ia memintaku untuk jangan menangis, dan tentu saja masih mengenggam tanganku.
Salam hangat,