ANOMALI KONSUMSI DAN HARGA DAGING DI ACEH
Yang dimaksud dengan daging disini adalah daging sapi dan daging kerbau. Harga daging sapi/kerbau melonjak mahal di pasar lokal di Aceh pada hari tertentu, terutamanya pada hari makmeugang menjelang Ramadan dan hariraya serta untuk kurban. Konsumsi daging per kapita masyarakat Aceh meningkat tajam selama makmeugang.
Daging bukanlah menu keseharian dalam masyarakat Aceh. Namun daging mendadak menjadi primadona dalam menu pada acara kenduri dan makmeugang. Pada hari makmeugang, terjadi amuk daging.
Masyarakat Aceh dalam kesehariannya bukanlah pemakan daging. Bukan seperti orang Timur Tengah atau orang Barat. Dapat dikatakan pola konsumsi daging masyarakat Aceh adalah pola kagetan. Inilah anomali konsumsi daging.
Konsekuensi dari pola kagetan ini ada pada harga daging yang naiknya bikin kaget pula walau sebenarnya sudah dapat diprediksi. Semua harga barang ditentukan oleh adanya permintaan dan suplai barang - Demand and Supply. Jika demand tetap dan supply pun tetap maka harga stabil. Jika demand meningkat dan supply tidak cukup harga akan membumbung tinggi. Jika demand kurang dan supply lebih harga barang akan jatuh.
Dalam perdagangan daging di Aceh, terjadi anomali yang bermula pada anomali konsumsi daging seperti saya sebutkan di atas. Saat2 Aceh akan kekurangan daging memang dapat diprediksi. Supply dapat dilakukan. Namun, pasokan daging menjelang makmeugang ini hanya 3 kali setahun, bukan perdagangan rutin yang normal. Akibatnya terjadilah kemahalan harga akibat mobilisasi yang kagetan dan matarantai perdagangan yang hanya tercipta 3 kali setahun. Meningkatkan produksi daging domestik (Aceh) secara teoritis dapat dilakukan oleh para pemodal, namun secara ekonomis para pemodal akan merasa grogi dengan kenyataan bahwa orang Aceh tidak membeli daging secara rutin, mau dikemanakan daging produksi peternakannya. Jika supply surplus tentu harga akan anjlok. Jalan keluarnya tentu ada, yaitu ekspor. Tapi ekspor pasti diikat dalam kontrak kontinuitas supply. Supply nya tetap, tidak boleh berkurang. Wal hasil, pada ujung2nya daging makmeugang akan tetap mahal juga walau di Aceh ada peternakan sapi/kerbau karena perusahaan peternakan harus menenuhi komitmen kontraknya walaupun di Aceh sedang makmeugang. Ini lah anomali dagangnya.
Bantuan sapi dari Pemerintah Aceh secara kontinyu terus dilakukan. Selama pemerintahan saya pada periode 2007-2012, masyarakat telah menerima puluhan ribu sapi dan kerbau bantuan untuk memperkuat peternakan sapi/kerbau rakyat. Tapi apa yang berlaku? Sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan penerima bantuan gagal jujur dengan proposal mereka sendiri. Sapi bantuan dijual, bukan diternakkan. Praktis tidak ada nilai tambahnya disini. Ada juga yang menternakkanya tetapi pada saat ternak itu dijual, uangnya dibelanjakan semuanya untuk memenuhi keinginan lain, lupa menyisihkannya untuk pengadaan sapi/kerbau bakalan baru. Bikin propasal lagi kepada Pemerintah Aceh dan, dapat dipastikan, akan ditolak. Begitu lah sekelumit anomali konsumsi dan perdagangan daging di Aceh.
SOLUSI:
- Adanya pemodal yang mau membuka usaha peternakan di Aceh dengan catatan selain produksinya diarahkan untuk perdagangan normal berbasis kontrak, juga harus mempersiapkan produksinya untuk dilepas ke pasar lokal pada waktu2 tertentu, makmeugang.
Namun, siapa yang dapat memaksa pemodal agar berinvestasi dalam dunia peternakan yang penuh dengan resiko itu?
- Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan yang terus menerus terhadap peternak penerima bantuan. Tapi nyoe trep that meuhase. Payah tameu-let2 ngon rakyat peternak. Tapi, bisa lah dicoba.
Wallahualam.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://beritakini.co/news/irwandi-yusuf-kebanyakan-penerima-bantuan-sapi-gagal-jujur/index.html