Youth, State Shariah and Pop-Acehnism : an Introduction

in #indonesia7 years ago

Pembahasan syariat Islam hampir pasti menjadi fokus utama penelitian di Aceh. Kajian-kajian mengenai Dinas Syariat Islam, Polisi Wilayatul Hisbah dan Mahkamah Syariah menjadi fokus utama. Sistem hukum juga menjadi perbincangan dengan bahan utama qanun-qanun yang dianggap melampaui wewenang hukum Indonesia. Sebagai contoh Qanun Jinayat yang mengatur hukuman ta'dzir dan hudud.

Aceh Lebih Pilih Perang Daripada Syariat Islam Di Hapus.jpg
http://www.islaminews.com/2017/09/aceh-lebih-pilih-perang-daripada.html

Secara general ada dua jalur yang terlihat dari penelitian-penelitian tersebut, mendukung syariat Islam berlangsung atau mengkritisi penerapan syariat Islam. Kajian-kajian tersebut bukan tanpa kritik, karena satu dan lainnya cenderung membawa corak berpikir masing-masing ilmu dalam membaca Aceh.

Dalam pandangan penulis, ada dua hal yang kurang dicermati oleh penelitian-penelitian mengenai Aceh pasca syariat Islam. Pertama, kurangnya melihat perubahan cara berpikir remaja Aceh. Kedua, tidak tersentuhnya ruang budaya populer Aceh yang sedang mengalami pertumbuhan besar.

Fenomena-fenomena ruang urban yang kini mulai tumbuh di beberapa wilayah Aceh kiranya harus juga menjadi bahan penelitian serius. Semakin banyaknya Selebgram (Selebriti Instagram) muda asal Aceh, fenomena popularitas Bergek dan Apache, serta berubahnya tongkrongan warung kopi sebagai ruang gaul anak muda Aceh tidak lagi dapat dikesampingkan dalam membaca Aceh kontemporer.

Sejarah pertumbuhan budaya pop di Aceh sendiri dapat ditelisik setelah masa damai dan tsunami. Kemunculan Film lokal Eumpang Breuh dan meningkatnya popularitas penyanyi lokal Raffly menandakan apresiasi seni populer di Aceh sudah ada sejak lama. Film-film lokal serta musik-musik pop lokal berhasil menjadi pesaing kuat film dan musik nasional. Bahkan Raffly dan Haji Uma (salah satu tokoh utama dalam Empang Breuh) berhasil menggunakan popularitasnya dalam pemilihan senator Aceh di Gedung Senayan.

untitled.png
http://atjehmovie.blogspot.co.id/2013/09/eumpang-breuh-vol-10.html

Kini di era media sosial, film lokal dan musik lokal Aceh kian semakin bertumbuh pesat. Aktor utamanya ialah para remaja Aceh.

Media sosial memberi akses produksi serta peluang bagi siapapun untuk mempromosikan diri. Sesuatu yang sangat mahal dan tidak mungkin remaja Aceh dapatkan sebelumnya. Hal ini kemudian membuat Youtube dan Instagram sebagai ruang populer yang menarik bagi remaja Aceh untuk menampilkan diri pada dunia luar. Munculnya Selebgram seperti Awien_Syuib dan Teuku Mail dapat dijadikan penanda mengenai fenomena tersebut.

Awien_Syuib dan Teuku Mail memberi gambaran remaja Aceh yang meskipun berada di bawah kendali syariat Islam, juga memiliki kesadaran seperti remaja pada belahan dunia lain. Para Selebgram muda ini membuat ruang alternatif baru untuk mengekspresikan pilihan yang ingin mereka tampilkan karena ekspresi tersebut tidak mampu didukung oleh syariat Islam.

Pilihan untuk tampil di ruang maya tersebut, bukan hanya berhasil menjadi ruang ekspresi akan tetapi juga telah menjadi bisnis baru yang menguntungkan. Minimnya ketersediaan ruang ekspresi terbuka yang dapat di akses, menjadikan ruang ekspresi maya menjadi konsumsi utama para remaja Aceh. Ini sedikit memberi alasan mengapa budaya populer melalui media sosial dapat berkembang begitu pesat di Aceh.

14515768_367071470308049_1493464423510048768_n.jpg
http://www.imgrum.org/user/atimvidgram/3238554217/1414593687434716098_3238554217

Pada sisi yang lain, perubahan bentuk warung kopi juga disebabkan mulai timbulnya kesadaran pergaulan remaja Aceh. Hal ini bukan tanpa dukungan dari budaya populer yang semakin intens dikonsumsi oleh remaja Aceh. Tongkrongan gaul dengan dekorasi yang menarik untuk ber-swafoto kian menjadi kebutuhan penting remaja Aceh. Maka tidak mengherankan saat ini warung kopi mulai mengalami perubahan mulai dari bentuk, model produksi kopi, adanya menu semacam espresso dan americano serta akses jaringan internet yang kencang.

Warung kopi sudah tidak lagi dilihat sebagai tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi sudah berubah menjadi budaya gaul remaja Aceh. Dalam warung kopi pembicaraan mengenai politik ataupun permasalahan sosial tidak lagi menjadi dominan. Persoalan percintaan remaja, gosip tentang artis K-pop, review pertandingan sepak bola, referensi musik dan film bagus, serta pembicaraan ide-ide karya seni mulai sering diperbincangkan.

Kita cenderung meremehkan para remaja yang duduk di warung kopi sambil menikmati akses wifi dan mencari referensi budaya luar melalui Youtube maupun Instagram. Hal ini karena warung kopi telah lama diyakini hanya didominasi oleh kalangan masyarakat dewasa saja. Maka tidak jarang observasi yang dilakukan di warung kopi hanya fokus pada diskursus politik lokal dan permasalahan sosial. Dua pembicaraan yang sering dihindari para remaja kalau tidak ada agenda Pilkada, Pileg dan Pemilu.

17438099_1231777716938652_7317135915892080640_n.jpg
http://www.imgrum.org/user/kabaraceh/1616558577/1178573762119330772_1616558577

Meningkatnya produksi budaya populer yang dilakukan remaja Aceh sudah harus menjadi bahan amatan serius. Terlebih dalam hubungannya dengan semakin intensnya proses syariatisasi ruang publik di Aceh saat ini. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hubungan keduanya (budaya populer dan syariat Isam) mulai harus menjadi minat kajian baru dalam membaca Aceh kedepan.

Saya sendiri akan sangat bersyukur jika ada donatur ataupun lembaga pemberi beasiswa yang bersedia menghubungi saya untuk merealisasikan tulisan singkat ini :D

Sort:  

Semoga cita cita dan azham mendapatkan donatur penelitian maupun beasiswa dapat segera terkabulkan bro Yogi