Krisis Moneter 1997 – 1998 dan 20 tahun Setelahnya
PEMBUKAAN..
Gambar ini diambil pada Kamis, 15 Januari 1998 di kediaman Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, di Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto mengesahkan Letter of Intent ke-2 dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Dengan disaksikan oleh Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, Soeharto membungkukkan badan dan mengesahkan dokumen tersebut. Letter of Intent yang pertama telah disahkan pada 31 Oktober 1997. Letter of Intent menegaskan keharusan Indonesia melakukan reformasi dalam struktur perekonomiannya sebagai syarat mendapatkan bantuan keuangan senilai 43 miliar dolar AS untuk mengatasi krisis moneter.
6 bulan sebelumnya, nyaris tidak ada yang menyangka bahwa Indonesia akan terpuruk begitu luar biasa oleh krisis yang dimulai di Thailand ini. Bagaimanakah kisahnya?
10 Tahun sebelum krisis
Kinerja perekonomian Indonesia pada periode 1989 – 1996 bisa dibilang sangat mengesankan. Setelah era 1980-an yang berat karena anjloknya harga minyak mentah yang menjadi komoditas ekspor utama Indonesia pada 1970-an dan empat kali devaluasi rupiah (1971, 1978, 1983, dan 1986), pertumbuhan ekonomi mencapai 7% setahun dan pendapatan per kapita mencapai angka 1.000 dolar AS pada 1996. Sebagian orang mengenang dekade terakhir Orde Baru sebagai masa-masa keemasan. Harga-harga kebutuhan pokok maupun barang konsumsi terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Masyarakat dimanjakan dengan 5 stasiun televisi swasta baru sejak 1989 yang menemani TVRI. Keamanan dalam negeri relatif stabil. Cadangan devisa Indonesia pada 1997 mencapai 21 miliar dolar AS. Dengan sistem kurs mengambang terkendali yang mana pergerakan dolar AS – rupiah dibatasi hanya sebesar 8% saja, pelaku bisnis dapat mengekspor barang produksi dan mengimpor barang serta berutang dari luar negeri tanpa perlu khawatir akan gejolak moneter. Indonesia dinilai sudah mampu untuk tinggal landas dan menjadi negara industri.
Keberhasilan Soeharto dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia digambarkan dalam uang kertas pecahan Rp50.000 yang diedarkan pada 1 Maret 1993. Ketika uang ini beredar untuk pertama kali, uang ini setara dengan 25 dolar AS. Pada 22 Januari 1998, nilai uang ini hanya tinggal 2,94 dolar AS dan ketika diganti dengan uang Rp50.000 baru pada 1 Juni 1999, uang ini bernilai 7,46 dolar AS.
Paket deregulasi perbankan dari 1988 hingga 1991 menimbulkan booming pada industri perbankan di Indonesia. Dengan modal disetor minimal Rp10 miliar, seseorang dapat mendirikan bank di Indonesia. Hasilnya, jumlah bank umum di Indonesia melesat dari 108 pada 1988 menjadi 240 pada 1994. Pertumbuhan kredit perbankan juga mengesankan namun pada masa krisis akan menimbulkan masalah kredit macet perbankan yang besar.
EFEK Penularan
Krisis moneter yang menimpa Indonesia pada penghujung 1990-an adalah bagian dari krisis finansial Asia yang menyerang setidaknya 7 negara di Asia dan mengakibatkan berbagai perekonomian di Asia mengalami keterpurukan. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand menjadi negara yang paling menderita akibat krisis. Korea Selatan menyaksikan perusahaan mobil kebanggaannya, KIA Motors, bangkrut. Thailand menyaksikan bagaimana kebijakan ekonomi yang tidak pro-rakyat mengantarkan kepada kemenangan Thaksin Shinawatra dalam pemilu 2001. Indonesia menyaksikan bagaimana keajaiban ekonomi dan pencapaian yang telah diraih sejak akhir 1960-an hancur begitu saja karena satu guncangan.
2 Juli 1997, pemerintah Thailand di bawah perdana menteri Chavalit Yongchaiyudh akhirnya menyerah dalam menghadapi spekulan yang sejak Mei 1997 terus menerus menyerang mata uang baht yang dipatok tetap, yaitu 25 baht per dolar AS. Dengan cadangan devisa yang terkuras habis, Thailand terpaksa mengambangkan kurs baht. Nilai baht terpuruk hingga 100% dan perbankan Thailand mengalami keterpurukan. Krisis ini pun menyebar ke beberapa negara Asia lainnya. Indonesia, yang memiliki karakteristik ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan Thailand, pun terkena dampaknya pada Agustus 1997. Bank Indonesia mencoba meredam efek krisis dengan melebarkan rentang pergerakan dolar AS dari 8% menjadi 12% dan membeli rupiah dengan menggunakan cadangan devisanya yang berbentuk dolar AS. Cara ini tidak berhasil. Rupiah mulai melemah menjadi Rp2.682 per dolar AS pada 13 Agustus 1997. Pada 14 Agustus 1997, sebuah keputusan yang drastis diambil Bank Indonesia. Bank Indonesia melepas band intervensi rupiah dengan alasan agar cadangan devisa tak terkuras habis seperti yang menimpa Thailand. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Rupiah malah semakin terpuruk dan menembus level Rp3.000 per dolar AS pada September 1997. Pada 16 September 1997, pemerintah menunda megaproyek senilai Rp39 triliun dalam upaya “mengencangkan ikat pinggang” (menghemat anggaran). Suku bunga acuan Bank Indonesia juga dinaikkan agar investor mau kembali membeli rupiah dan meredam penguatan dolar AS. Namun, upaya ini belum membuahkan hasil.
8 Oktober 1997, Soeharto memutuskan untuk meminta bantuan IMF dalam mengatasi krisis moneter. 31 Oktober 1997, Letter of Intent pertama disepakati. Keesokan harinya, 1 November 1997, 16 bank swasta dilikuidasi oleh pemerintah atas desakan IMF sebagai langkah mereformasi perbankan. Simpanan sebesar maksimal Rp20 juta diganti oleh pemerintah. Hal ini memicu ketakutan masyarakat bahwa bank lain juga akan dilikuidasi sehingga memicu orang menarik tabungannya dari bank. Beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas dan mendapat bantuan likuiditas dari Bank Indonesia. Jumlahnya mencapai Rp144,5 triliun.
- masa kegelapan Indonesia
Kita baru saja memasuki tahun 2018. Banyak orang berharap keadaan akan lebih baik dibanding tahun 2017.
Pada pergantian tahun 1997 ke 1998, hanya satu harapan hampir semua orang Indonesia, terutama pelaku bisnis. Kurs rupiah stabil bahkan menguat dan krisis moneter segera berlalu. Namun, harapan itu tidak terwujud. 1998 akan menjadi saat gelap bagi perekonomian Indonesia.
Januari 1998 menjadi puncak kehancuran rupiah. Pada 6 Januari 1998, Soeharto mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1998 – 1999 yang berlaku mulai 1 April 1998. Berbagai asumsi yang dibuat dianggap tak mencerminkan kondisi perekonomian secara nyata, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi 4%, tingkat inflasi 9%, dan kurs rupiah Rp4.000 per dolar AS. Setelah Letter of Intent kedua disahkan pada 15 Januari 1998, asumsi tersebut direvisi. Pertumbuhan ekonomi menjadi 0%, tingkat inflasi 20%, kurs rupiah Rp5.000 per dolar AS, dan subsidi energi dipangkas secara gradual.
Orang-orang kalangan menengah dan menengah ke atas memborong bahan kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng di supermarket karena persediaannya semakin sedikit dan harganya terus meningkat. Sampai-sampai, pembelian barang tersebut harus dibatasi untuk setiap orang. Sementara itu, kalangan menengah ke bawah harus mengantre untuk membeli kebutuhan pokok yang dijual dengan harga rendah lewat operasi pasar. Krisis telah menggerogoti daya beli mereka.
22 Januari 1998, rupiah mencapai level terendah sepanjang sejarah, Rp17.000 per dolar AS.
Februari 1998, ide untuk menerapkan Currency Board System / CBS dengan mematok kurs tetap muncul. Ide ini ditentang oleh IMF dan Amerika Serikat. Ide ini akhirnya dibatalkan. Soeharto bahkan memecat Gubernur Bank Indonesia, Soedrajad Djiwandono, pada Februari 1998 meski masa jabatannya sebenarnya akan berakhir pada Maret 1998 (saat itu Gubernur Bank Indonesia adalah pejabat setingkat menteri dan termasuk dalam anggota kabinet).
Banyak orang yang mengalami PHK dan menjadi pengangguran karena perusahaan tempatnya bekerja berhenti beroperasi bahkan bangkrut karena krisis.
Kenaikan harga yang terjadi saat itu diilustrasikan oleh dua orang kartunis Indonesia, Benny Rachmadi (Benny) dan Muhammad Misrad (Mice) dalam buku berjudul Lagak Jakarta : Krisis Moneter yang terbit 1998 lalu. Digambarkan bahwa sebelum krisis, uang Rp3.500 dapat digunakan untuk membeli sepiring ketoprak, sebotol teh botol, dan sebungkus rokok. Ketika krisis, dengan uang yang sama, hanya sebungkus rokok yang dapat dibeli. Dalam komik lain diilustrasikan bahwa Mice ingin mengabadikan krisis moneter dalam komik. Ia pun ingin membeli kertas di toko buku. Ketika hendak membeli satu rim kertas, ia terkejut karena harganya sudah mencapai Rp40.800 atau naik 400%.
Mi instan, makanan cepat saji yang menjadi andalan banyak orang, juga mengalami kenaikan harga dari Rp250 menjadi Rp600 per bungkus selama krisis.
Akhir orde baru
10 Maret 1998, Ketua MPR / DPR, Harmoko, mengetuk palu sebanyak dua kali dan mengesahkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia / Mandataris MPR untuk periode ketujuh, 1998 – 2003. Pengesahan ini disetujui secara aklamasi oleh seluruh anggota majelis dari seluruh fraksi. Meskipun Soeharto sudah menunjukkan isyarat untuk tidak lagi menjadi presiden setelah Maret 1998, Harmoko berhasil meyakinkan Soeharto untuk maju kembali.
Keadaan tetap tidak menunjukkan perbaikan. Harga minyak goreng, salah satu kebutuhan pokok masyarakat, sudah mencapai Rp7.000 per liter, dari Rp1.400 per liter pada Juli 1997 yang memaksa sebagian orang untuk menggoreng tanpa minyak goreng atau menggunakan daun. Persediannya pun langka. Bahkan kini, kaum pelajar dari berbagai universitas lantang menyuarakan reformasi politik dan pengunduran diri Soeharto.
10 April 1998, Letter of Intent ketiga disahkan. Salah satu poin dalam LoI kali ini adalah pengurangan subsidi energi secara gradual. Maka, pada 4 Mei 1998, harga BBM di Indonesia dinaikkan. Menaikkan harga BBM, yang akan berpengaruh kepada ongkos distribusi dan pada akhirnya harga kebutuhan pokok, saat daya beli rakyat sudah sangat anjlok, tentu bukanlah hal yang bijak. Demonstrasi pun terjadi di beberapa kota besar di Indonesia pada Mei 1998, seperti Jakarta, Bandung, Medan, Solo, dan Yogyakarta. 12 Mei 1998, 4 mahasiswa Universitas Trisakti dan 1 pelajar SMA tewas tertembak. Lalu selama 3 hari (13 – 15 Mei 1998), Jakarta dikepung kerusuhan besar yang mengakibatkan banyak bangunan hangus dan toko dijarah. Puncaknya, gedung MPR / DPR diduduki ribuan mahasiswa dan Soeharto mengundurkan diri pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB. Habibie menggantikannya sebagai presiden.
20 Tahun setelahnya
Pemerintahan Habibie mencoba menunjukkan diri sebagai pemerintahan yang pro-reformasi. Berbagai bentuk pembatasan ala Orde Baru dilenyapkan. SIUPP yang pada masa Orde Baru menjadi alat untuk membungkam pers dihapus oleh Habibie melalui Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah. Majalah Tempo yang dibredel sejak 1994 dapat kembali terbit pada Oktober 1998. Semua orang pun boleh mendirikan partai politik baru. Tak heran bila ada 141 partai politik yang mendaftar untuk pemilu 1999.
Meskipun, rupiah pada masa Habibie mengalami penguatan signifikan, seluruh indikator ekonomi Indonesia pada 1998 menunjukkan hasil yang sangat buruk. Pertumbuhan ekonomi -13%, inflasi sekitar 60 - 80%, jumlah pengangguran mencapai 5,46 juta pada 1998, dari 4,68 juta pada 1997, dan angka kemiskinan melonjak tajam. Utang luar negeri Indonesia per Maret 1998 mencapai 137,424 miliar dolar AS dengan separuhnya adalah utang swasta.
1999 menunjukkan pemulihan ekonomi meskipun keadaan keamanan masih mengkhawatirkan. Beberapa kejadian yang menarik perhatian masyarakat Indonesia pada 1999 adalah kasus hak tagih Bank Bali kepada bank di bawah naungan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, referendum Timor Timur yang berujung lepasnya Timor Timur pada Oktober 1999, dan kerusuhan di berbagai lokasi di Indonesia seperti Ambon. Tongkat kepemimpinan berada pada Gus Dur dari 1999 hingga 2001 dan Megawati dari 2001 hingga 2004.
Indonesia melanjutkan program pemulihan ekonomi bersama IMF hingga 2003 ketika keadaan ekonomi Indonesia sudah dianggap pulih dan mampu kembali bergerak maju. Utang Indonesia kepada IMF dilunasi pada Oktober 2006 dengan membayar cicilan pamungkas senilai 3,2 miliar dolar AS. Bagaimanapun juga, kehadiran IMF di Indonesia membawa banyak perubahan bagi negeri kita tercinta.
Monopoli terhadap berbagai komoditas seperti tepung terigu oleh Bogasari, BBM oleh Pertamina, dan kebutuhan pokok oleh Bulog dihapuskan.
Peritel asing masuk ke Indonesia pada 1998.
Proyek mobil nasional Timor kandas seiring dengan dihentikannya fasilitas oleh pemerintah dan bangkrutnya KIA Motors di Korea Selatan. Demikian pula proyek pesawat terbang Industri Pesawat Terbang Nasional rancangan Habibie yang diputus pendanaannya oleh IMF.
Banyak bank swasta yang menjadi milik asing, seperti Bank Niaga, Bank Danamon, dan Bank internasional Indonesia.
Privatisasi BUMN, seperti Indosat pada 2002.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - 2014), perekonomian tumbuh rata-rata 6% per tahun. Pemerintahan SBY juga berhasil meredam gejolak krisis keuangan global pada kuartal keempat 2008 terhadap Indonesia meski sempat terjadi gejolak di pasar uang dan pasar saham. Rupiah juga menemukan ekulibriumnya di level Rp9.000-an per dolar AS selama sekitar 8 tahun.
Masa pemerintahan Joko Widodo menyaksikan pembangunan infrastruktur secara massal, khususnya di luar Pulau Jawa. Namun, utang luar negeri Indonesia telah mencapai 343,13 miliar dolar AS pada September 2017. Artinya, total utang negara ini sudah meningkat 149,69% sejak Maret 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama masa pemerintahan Joko Widodo berkisar 5%.
Sejak 2013, rupiah mulai terdepresiasi lagi hingga mencapai ekuilibrium baru di level Rp13.000-an per dolar AS sejak 2015. Namun, masalah yang menyeruak di masa krisis seperti kemiskinan, harga kebutuhan pokok yang tak terjangkau, dan terbatasnya lapangan pekerjaan masih membayangi negara ini, 20 tahun setelah krisis.
Kesimpulan
Krisis yang bermula di Thailand justru membawa dampak terburuknya di Indonesia karena dipadu dengan guncangan politik untuk menumbangkan rezim Orde Baru. Rupiah terdepresiasi 400% dan Indonesia gagal tinggal landas untuk menjadi negara maju
Penutup
terimakasih untuk semua
Rachmadi, Benny, & Muhammad Misrad. (2007). Lagak Jakarta Edisi Koleksi Jilid 1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Rachmadi, Benny, & Muhammad Misrad. (2007). Lagak Jakarta Edisi Koleksi Jilid 2. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Rafick, Ishak. (2008). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia : Jalan Baru Membangun Indonesia. Jakarta: Ufuk Press.
Winda, Dian Andika. (2009). Perang Sejarah Para Jenderal : Kesaksian Para Jenderal atas Prahara Mei 1998 dan "Isu Kudeta". Jakarta: Pustaka Timur.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.kaskus.co.id/show_post/5a4a45cbd89b0927368b4569/1/krisis-moneter-1997--1998-dan-20-tahun-setelahnya
terimakasih