Kenapa Kita Menjadi Pembeda ? "Matinya Ruang Apresiasi"
http://exploresemarang.com/bioskop-paragon-xxi/
Kegiatan perfilaman di Aceh di saat ini masih sangat meprihatinkan khususnya keberadaan ruang apresiasi, dimana ruang-ruang pemutaran perfilman masih sangat terbatas, hingga dari izin sampai ke tingkat kebijakan masih terkantung-kantung yang tak jelas dan membuat komunitas film mengalami ketidak jelasan keamanan dalam melakukan pemutaran film. Begitu juga berbagai opini masyarakat dimedia massa lokal tentang pro dan kontra terkait ruang pemutaran yang tak berujung pada sebuah kepastian hukum dan sosial, persoalan-persoalan tersebut membuat karya sineas di Aceh dan sineas film nasional tidak memiliki keberanian untuk memutarkan filmnya di masyarakat. Kadar demokrasi suatu negara sesungguhnya bisa dilihat dari pilihan film yang tersedia bagi masyarakatnya. Logikanya, semakin beragam film yang beredar di publik, semakin terbuka pula masyarakatnya terhadap segala bentuk perbedaan.
Bila dilihat kebelakang sejarah perjalanan ruang apresiasi film di Aceh sempat menjadi sebuah pilihan khusus masyarakat Aceh dalam memilih film serta hiburan, dimana pada tahun 80-90-an salah satu kegiatan yang sering dilakukan hampir seluruh gampong (desa) di Aceh yang sering disebut bioskop rakyat/layar tancap dan film-film yang diputarpun sangat beragam terutama film-film dokumenter tentang kesuksesan pemerintah Orba saat itu serta penguatan ideologi pancasila.
Pasca tsunami Aceh tahun 2004, banyak sineas-sineas di Aceh mulai bermunculan dan mendirikan berbagai komunitas film dan Aceh-pun mulai dikenal kiprahnya di dunia perfilman Indonesia dari hasil karya-karya sineas Aceh di berbagai festival, namun karya sineas aceh maupun Nasional tidak bisa ditonton oleh masyarakat Aceh. Karena tanpa satupun terlihat kembali bioskop di Aceh akibat diterjang amuk air laut, bioskop-bioskop tersebut kemudian beralif fungsi menjadi tempat lain yang jauh dari kepentingan bioskop. Di Aceh sendiri pada tahun 1900-1936 tercatat ada beberapa bioskop yang cukup berkembang seperti Deli Bioscoop di Kota Banda Aceh, Bioscoop di Bireuen, kemudian ada Bioscoop di Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, Sabang Bioscoop di Sabang, dan Gemeente Bioscoop di Sigli.
Jika berbicara masalah bioskop di Aceh, maka akan berbicara sejarahnya yang sangat panjang, tercatat bahwa sebelum Perang Dunia II tahun 1930-an, di Aceh sudah memiliki dua bioskop yaitu Deli Bioscope dan Rex Bioscope, yang pada saat itu disebut kumedi gambar yang letaknya di Banda Aceh. Catatan sejarah menyebutkan bahwa bioskop ini telah ada sebelum listrik masuk ke Aceh. Film diputar menggunakan pijar yang ditembak ke layar. Pemutaran dilakukan secara manual dengan tangan. Film yang muncul pun masih tanpa warna dan suara. Karena filmnya bisu, maka dibarisan depan duduk sederetan pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Hingga awal tahun 2000-an, Aceh masih memiliki beberapa bioskop yang beroperasi seperti di Banda Aceh ada 6 Bisokop, Bireuen ada dua, Sigli, Takengoen, Langsa, dan Aceh barat.
Salah satu bioskop yang paling bersejarah di Banda Aceh adalah Garuda theatre, karena pada tanggal 16 Juni 1948 Presiden pertama RI, Ir Soekarno pernah melakukan pidato politik di tempat itu. Di gedung itu Soekarno membakar semangat perjuangan pemuda Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Begitu juga dengan bioskop lain yang ada pada saat itu akan menjadi ingatan tersendiri bagi generasi yang ikut merasakan masa kejayaan bioskop-bioskop tersebut.
Namun seiring dengan berjalannya waktu banyak faktor-faktor yang menyebabkan tutupnya gedung-gedung bioskop di Aceh. Banyak hal mengenai perkembangan bioskop di Aceh sendiri sampai saat ini masih menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat Aceh. Segelintir orang menganggap bahwa kehadiran bioskop di Aceh bisa memperluas akses maksiat bagi muda-mudi yang belum menikah namun nyatanya sejak diterbitkan Undang-undang 2001 tentang Syariat Islam di Aceh masih ada beberapa bisokop yang masih hidup salah satunya bioskop Garuda yang bertahan sampai munculnya bencana gempa dan Tsunami 2004 serta faktor konflik bersenjata antara GAM dan RI di Aceh yang melahirkan situasi keamaan serta berbagai macam pungli terhadap pengelola bisokop di Aceh ketakutan. Selain faktor bencana tersebut, regulasi menjadi faktor penghambat utama proses keberadaan perfilman di Aceh, belum adanya Qanun (Undang-undang) dan tekanan beberapa kelompok masyarakat kecil yang menentang keberadaan film terutama ditakutkan menentang nilai-nilai syariat islam apabila ada ruang/tempat pemutaran film (bioskop).
Alasan serupa dijadikan salah satu penghambat keberadaan film di Aceh oleh unsur pemerintah, untuk mendukung keberadaan ruang apresiasi film atau bioskop di Aceh, para pengiat film atau komunitas film telah menyuarakan aspirasi dan berbagai solusi kebijakan kepada pemerintah agar tersedia ruang apresiasi atau industri (bisokop), apabila alasan pemerintah ditakutkan bertentangan dengan nilai-nilai syariat islam dapat di cari solusi teknis diantaranya membuat ruang pemisahan antara penonton laki-laki dan perempuan biar tidak terjadi maksiat.
Sesungguhnya Film merupakan salah satu pendistribusian khasanah budaya bangsa yang memiliki berbagai peran serta fungsi penting baik secara langsung ataupun tidak langsung. Selain itu film juga harus bisa menghubungkan gambaran masa lampau dengan masa sekarang dan ikut serta peran mencerdaskan dan mencerahkan bangsa karena memberikan nilai-nilai keberagaman yang terkandung didalamnya, seperti sarana penerangan atau informasi, pendidikan, dan untuk mengekspresikan jiwa seni seseorang.
Film juga menggambarkan sebuah karakteristik, harkat dan martabat budaya bangsa, seperti halnya dengan sebuah busana yang mencerminkan kepribadian pemakainnya. film juga telah memberikan manfaat dan fungsi yang luas bagi bidang ekonomi, sosial dan budaya. Disini yang ditonjolkan tidak hanya unsur hiburan semata, tetapi film lebih kepada tanggung jawab moral guna mengangkat nilai nasionalisme dan jati diri bangsa yang berbudaya.
Jadi bisa dikatakan kebudayaan suatu bangsa dapat diketahui melalui film nasionalnya, karena dari sebuah film telah mewakili generasi, konflik sosial, budaya, sejarah, adat istiadat, bahkan sistem kekuasaan tertentu. Ekspresi individu atau kolektif atas realita, persepsi dan seni juga dapat tercermin dari film. Film akan akan lebih mudah dinikmati, dipahami dan diapresiasi penonton jika ada satu kesatuan yang terintegrasi secara kuat baik itu dari segi alur cerita, penokohan, setting, kamera, setting beckground dan lainnya.
Lebih jauh lagi apa yang telah diberikan film pada bangsa adalah film berperan sebagai penyampai pesan-pesan moral, informatif, sejarah ataupun solusi atas isu-isu yang berkembang di masyarakat, yang sangat terpenting rasa nasionalisme penonton tumbuh serta hanyut dalam suasana perjuangan. Manfaat yang jauh bisa dirasakan adalah, ketika penonton mengambil hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam film tadi, dan berusaha untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan riil. Film dapat juga memberikan kontribusi-kontribusi yang nyata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontribusi itu terwujud dalam berbagai bidang, dari ekonomi, pendidikan, budaya, sosial serta penanaman nilai-nilai luhur bangsa. Tidak bisa dipungkiri bahwa film memang telah memberikan banyak kontribusi baik bagi negara ataupun masyarakat.
Maka oleh karena itu, Aceh harus mengambil peran terutama dukungan dari pemerintah untuk memanfaatkan peluang perkembangan di dunia perfilman yang mempuyai dampak positif terhadap kemanjuan Aceh dari industri film. Lebih jauh lagi peluang, adanya antusiasme masyarakat dan dukungan dari pengusaha-pengusaha terhadap keberadaan bioskop di Aceh, serta diperlukan pemerintah agar dapat memberikan ruang apresiasi, tempat pemutaran film, dan bioskop bagi berbagai jenis film lokal, dan nasional. Sehingga keberadaan tersebut dapat meningkatkan kunjungan turis berbagai macam negara.
Sungguh film bila ditelaah dalam Islam, bisa dikatakan sebagai salah satu media dakwah. Qawlan Syahidan yang berarti Sentuhan Qalbu. Gabungan medium Audio dan Visual menjadikan Film bisa langsung menyentuh rasa dari penonton sehingga, pesan yang disampaikan film bisa diterima dengan baik.
Postingan yang berkualitas Pak Dosen!
Thanks.
Ayok kita advokasi secara bersama2 untuk melahirkan bioskop syariah @jamsphonna
Ayoo