Ayah, maaf! || 02 End
Hujan semakin deras. Perlahan tangisku berubah. Aku tertawa. Bukan, bukan tertawa riang melainkan tertawa sinis dan mengutuk diriku sendiri.
“Apa yang kau tangisi, hah!? Bukankah ini yang kau inginkan, saat kau mengabaikan pria terhebatmu? Bukankah kau yang mendorongnya agar semangat hidupnya luntur?,” aku bertanya pada diriku sendiri.
Semuanya salahku! Jika saja aku mau mendengarkan perkataannya mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Jika saja aku mengabulkan keinginannya sekali saja, mungkin sakit yang ku alami tidak akan separah ini, jika saja aku tidak mengabaikannya dan mengurusnya dengan baik sebagaimana dia mengurusku dulu, pasti aku tidak akan menyimpan luka sedalam ini. Jika saja aku sedikit peduli dan mencurahkan perhatianku padanya seperti yang selalu ia lakukan dulu, pasti dia tidak akan pergi dengan kesedihan mendalam di hatinya. Hahh jika saja, jika saja waktu bisa diputar kembali. Namun semua itu hanya jika, jika semuanya terjadi. Nyatanya tidak ada yang terjadi, aku tidak melakukan hal-hal yang semestinya kulakukan. Betapa durhakanya aku yang tidak ingin membantu untuk mengurangi kesakitan yang dirasakan ayahku.
Hal yang membuatku semakin sakit dan begitu menyalahkan diriku sendiri ialah aku tidak ada disaat terakhirnya. Aku melihat dengan jelas bekas buliran air mata di pipinya, apa sebegitu sedih dan kecewanya dia karena anaknya tidak memperdulikannya. Ya itu sudah pasti. Itulah yang aku pikirkan hingga aku menemukan surat. Sebuah surat yang berada di atas tempat tidurku, ada bekas tetesan air mata yang terlihat di surat itu. Membuktikan bahwa ayahku sangat sedih dan menangis saat menulisnya.
Putriku, ayah ingat betul bagaimana tangisan pertamamu saat pertama kali kau melihat dunia ini, ayah ingat sekali bagaimana riangnya tawa pertamamu saat ayah menciummu dan menggelitik pelan perutmu sewaktu kau kecil dulu. Ayah juga sangat ingat bagaimana jemari mungilmu menggenggam jari ayah. Mengingat semua hal itu membuat hati ayah kembali hangat. Sekarang putri kecil ayah sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Meskipun dulu hidup dalam kekurangan, itu semua tidak membuat ayah sedih. Melihatmu sudah sukses dan memiliki pekerjaan yang bagus membuat ayah bangga dan ayah selalu mengatakan dalam hati, 'betapa cantiknya putri ayah saat mengenakan pakaian kerjanya'. Tidak ada yang dapat membuat seorang ayah bahagia selain melihat kebahagiaan anak mereka dan ayah sangat bersyukur memiliki putri yang tumbuh dengan baik sepertimu.
Putriku, kau adalah kebanggaan ayah. Ayah tau semakin kau mengejar karirmu semakin sedikit pula waktumu untuk bersama keluargamu. Ayah hanya ingin mengahbiskan waktu sedikit saja dengan putri ayah seperti saat dulu. Tapi, sepertinya tidak akan terjadi megingat kau sangat sibuk belakangan ini.
Ayah senang melihatmu senang. Tahukah kau apa penyesalan ayah selama ini? Ayah menyesal karena tidak dapat memberikan apapun yang kau inginkan saat kau memintanya dulu. Maafkan ayah kerena belum bisa menjadi ayah yang sempurna untukmu, maafkan ayah karena tidak dapat memberikan apapun yang kau inginkan dulu. Saat kau memintanya dan harus membuatmu bekerja untuk mendapatkannya.
Sekarang ayah sangat bahagia sekaligus sedih. Melihatmu bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan kita. Tahukah kau apa kepedihan dan kesakitan orang tua? Yaitu melihat anak mereka menangis, ayah sangat menyesal tidak menjadi orang kaya dan berpendidikan sehingga putri ayah terus menerima ejekan dari teman-temannya. Maafkan ayah nak! Dan teruslah tersenyum seperti sekarang hanya itu yang ayah inginkan.
Salam sayang dari ayah.
Itulah isi surat yang ditulis oleh ayah untuk terakhir kalinya. Hal itulah yang menyayat-nyayat hatiku, rasanya ada ribuan benda tumpul yang mengahantam dadaku sehingga aku merasakan sesak yang sangat hebat. Lukanya tidak akan dapat meski kuraba, kepedihan dan kesakitannya tidak akan dapat kurasakan. Yang paling membuat lukaku semakin besar adalah aku tidak dapat lagi mendengar suaranya, tawanya, dan juga senyumnya yang bersahaja.
Kilasan-kilasan kenangan yang dulu sering kulakukan bersamanya berputar bak film di kepalaku. Ingatan saat dulu ayahku menekan perutnya hanya untuk memberikan makanan enak untukku. Saat dia berjalan menggunakan sepatu usang yang tidak layak pakai, hanya untuk memberikan sepatu baru untukku. Ingatan dimana dengan bahagianya dia melihatku mengenakan pakaian toga dan juga senyuman bahagianya saat aku pertama kali medapatkan pekerjaan.
Aku tiba-tiba teringat saat dulu aku menangis mengadu kepadanya.
“Ayah,” kataku sambil mengusap air mataku dengan tangan kecilku dan terisak menangis layaknya anak kecil.
“Kamu kenapa menangis nak?”
“Teman-temanku mengejekku mengatakan aku tidak layak berteman dengan mereka, karena aku bukan orang kaya dan ayah juga tidak bersekolah. Aku malu,” ayah mendekap tubuhku erat dan megusap puncak kepalaku.
“Nak, jika seseorang mengejek dan menghina kita, kita tidak boleh menangis karena itu benar apa adanya. Jadikan perkataan dan celaan mereka sebagai motivasi dan terus berjuang untuk menjadi lebih baik. Buktikan anak ayah tidak akan menjadi seperti ayah, ayah akan berusaha menyekolahkanmu setinggi-tingginya dan akan terus mendorongmu untuk mencapai puncak kesuksesan,” katanya dengan lembut dan mencium puncak keningku.
Aku menangis bahkan air mata ini tidak mau berhenti, terus mengalir semakin deras sederas hujan yang menerpa tubuhku.
Dia adalah pahlawan terbesar dalam hidupku, tapi apa yang kuberikan? Membalas semua kebaikannya dengan keburukan. Kesuksesan dan kenikmatan akan dunia membuatku melupakannya. Melupakan pahlawanku yang selalu berusaha mengangkat ku agar aku mencapai pucak tertinggi. Melupakan bahwa selain uang, aku lah yang paling dibutuhkannya. Ya aku, hanya aku!.
"Ayah, maaf!” ucapku lirih. Hanya maaf yang ingin kuucapkan, namun sekarang tidak lagi bermakna karena aku tidak dapat langsung menyampaikan kepadanya, ayahku. Maaf hanya satu kata itu yang ingin aku ucapkan namun kini telah terhalang oleh gundukan tanah.
Hanya satu kata namun sekarang tidak lagi berguna, karena tidak dapat kusampaikan langsung padanya.
Aku hanya bisa menangis dan terus menangis sambil terus menggumakan kata maaf sambil memegang dadaku yang sesak dan sakit, karena aku tidak dapat menjalankan keinginan terakhirnya untuk tersenyum. Aku telah kehilangan senyumku semenjak aku kehilangan lelaki hebat dalam hidupku.
Hujan, bawa serta semua luka dan sakitku. Dan sampaikan maafku pada ayah, di sana. Di surga Tuhan yang indah.
Terimakasih sudah sudi mampir 😊
Ceritanya sedih jg :D
Iya :)
Itu kali liat kalian Mash bisa terus aktif nulis... Iim malah gak bisa Krena bbrpa kndala..
Ini cerpen lama im, udah berbulan² zhu sekap di laptop 😂😂
Kak zhu 😅
Ceritanya buat baper deh kak.. 😞
Alhamdulillah kalo buat baper 😂
Ayah.. dalam hening sepi Kurindu..
sosok ayah begitu penting buat kita, bahkan banting tulang demi menghidupi kita. semoga kita bisa menjadi yang terbaik buat ayah kita setidaknya bisa melakukan apa yang di harapkannya.
btw. cerita ini sangat menarik ulasannya semoga bisa di bukukan @zhusahali
Amin....
Duh kak, beneran nangis bacanya 😢