Mengasah Kepekaan Qalbu
Al-Manfaluthy menuliskan sebuah tulisan dalam kitabnya “al-Nadzarat” dengan judul “Wanita Mati Kelaparan”. Dia memulai tulisan itu dengan menyatakan bahwa beberapa hari yang lalu membaca sebuah koran yang menurunkan berita bahwa polisi menemukan seorang perempuan yang meninggal di Bukit Muqaththam. Setelah dokter memeriksa ternyata mayat itu mati karena kelaparan. Dengan peristiwa ini dia menggugah:
Perempuan itu tidak meninggal di tengah gurun pasir sahara atau di tengah hutan belantara, akan tetapi dia meninggal di depan pandangan mata manusia, serta di tempat lalu-lalang mereka. Sudah barang tentu sebelum dia meninggal telah banyak rumah yang dikunjungi dan diketuk, namun tidak ditemukan jawabsapa, dan sudah tentu pula dia berupaya untuk berdiri di persimpangan jalan yang ramai dengan menadahkan tangan meminta belas kasih manusia agar rela mengulurkan tangannya walapun sepotong roti atau satu sen uang receh untuk dibelikan roti demi menutupi kelaparannya, namun usaha itu hanya sia-sia. Alangkah kerasnya hati manusia! Alangkah jauhnya rasa belas kasih dari kalbunya yang tega, tabah serta sabar menonton petaka menyedihkan ini.
Mengapa perempuan malang itu, pada saat-saat akhir hayatnya pergi ke bukit Muqaththam? Boleh jadi dia mengira bahwa hati batu karang lebih lunak dari benak manusia, lalu datang mengadu nasib padanya. Atau binatang buas itu lebih kasih dari kalbu insan, lalu dia mengharapkan sisa makanan darinya untuk disantap. Saya yakin, seandainya batu karang itu bisa bicara pasti dia menghiburnya, atau seandainya binatang buas itu dapat merasa iba kepedihan yang dialaminya sungguh dia meratap serta memberi kelembutan padanya seperti kelembutan ibu pada sang bayi. Binatang memang bisa menangis sedih tapi tidak memiliki air mata. Saya tidak memahami adanya makhluk dipermukaan bumi ini yang tersentuh hati serta memiliki deraian air mata selain makhluk manusia.
Tidakkah seorangpun berjumpa dengannya lalu memperhatikan fisiknya yang telah lemah lunglai, wajahnya yang keriput pucat, sementara air matanya berlinang pertanda dia mengerang kelaparan, dengan demikian muncul rasa empati padanya. Apakah bumi ini telah kosong dengan segala jenis makanan sehingga tidak tersisa pada penduduk gubuk atau penghuni istana walaupun sepotong roti atau sesuap nasi?
Ya Allah bukan karena ini dan tidak pula karena itu. Makanan melimpah ruah yang kadang terbuang di dekat rumah orang kaya. Yayasan dan rumah penyantun berserakan di mana-mana yang gaung dan gemanya terdengar ke setiap pelosok. Akan tetapi bangsa ini hanya mau memberi sedekah dan dermanya setelah tercatat di koran atau ditayangkan di TV sehingga disaksikan oleh banyak orang. Bersedekah adalah menunjukkan kebanggaan dan kesombongan pada orang dan fakir miskin. Umat ini tidak lagi mengenal ihsan sejati, kecuali belunggu berat yang digantung di leher dan pundak orang miskin agar tunduk pada keinginannya. Kita berpura-pura membantu masyarakat miskin yang seolah-olah pahlawan kebaikan, namun dibalik itu tidak lebih dari memperbudakkan mereka. Misalnya, ada seorang janda yang membantu di rumah kita seharian, maka ketika dia pulang kita memberikan kepadanya beberapa genggam beras, barang dua potong ikan sehingga terkesan kita adalah pemurah yang layak mendapat pujian darinya. Namun ketika dia melapor anaknya terpaksa drop out dari pendidikan dengan nada membujuk kita memintanya untuk bekerja di rumah kita, padahal harapan kita agar menjadi pengganti ibunya yang beranjak tua. Sendainya kita benar memiliki hati yang dermawan dan suka berbuat ihsan, pasti kita berani menyatakan bahwa biaya pendidikannya kamilah yang akan menanggung selamanya. Dengan demikian kita telah berupaya menghapus perbudakan di kalangan orang miskin.
Perempuan malang itu, jika mau, pasti dia mampu mencuri sepotong roti untuk mengganjal perutnya. Ataupun dia masih bisa menjajakan dirinya pada lelaki hidung belang di malam hari demi keberlanjutan hidup sebagaimana banyak perempuan malang melakukan hal demikian. Tidak, dia perempuan suci yang tidak mau melakukan yang ini dan yang itu, namun rela memilih mati mulia daripada hidup nista.
Dalam dunia sekarang, kemuliaan setiap orang sangat tergantung pada kecerahan nurani sendiri. Dia bertanggung jawab pada kalbu dan Tuhannya. Dia peka pada tetangga yang tidak memiliki apa-apa, bukan memburu nama megah agar tercatat luas di alam maya.
Kalau Al-Manfaluthy meratap demikian untuk satu orang, bagaimana dengan nasib ribuan orang miskin di pelosok dan pedesaan kita. Anak-anak mereka tidak langsung mati seperti cerita di atas, tapi secara pelan ada dari mereka yang mati karena busung lapar.
Oleh: Ustadz Usman Husein