Tasawuf Sebagai Kritik Sosial
“Kaum nahdiyin mempertemukan tiga tradisi berpikir yaitu; fiqih, qalam, dan tasawuf, sebagai wal jamaah yang ikut pendahulu”
Di tengah situasi yang semakin kacau, karena perdebatan di dalam tubuh umat islam terkait kebenaran yang dipegang masing-masing, muncul seorang perempuan yaitu; Rabiah Al-Adawiyah. Kemunculannya ini sontak mengagetkan semua pihak yang bertikai. Kemunculannya mengingatkan kembali, bahwa kita harus ingat pada Allah SWT.bukan pada ciptaannya. Jangan cinta pada surga, tapi cintailah penciptanya yaitu; Allah SWT. Ketika yang bertikai masih ngotot dengan pendiriannya masing-masing, Rabiah Al-Adawiyah bersyair:
“Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku”
Kejadian inilah yang menghasilkan sebuah tradisi baru dalam berpikir, yang dikenal dengan berpikir “Tasawuf.” Metode berpikir seperti ini diadopsi oleh kalangan Sunni, karena tasawuf menjadi jalan keluar ketika terjadi konflik tentang baik dan buruk secara tekstual. Muncul pula tokoh seperti Ibnu Athaillah dengan kitab al-Hikam, yang seolah-olah Ibnu Athaillah lupa dengan ayat Allah “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun ” “ innani ana allah laailaha illa ana fa'budni” karena cara berpikirnya berbeda. Sejatinya hidup ini untuk beribadah, beramal, tapi Ibnu Athaillah malah menyindir orang yang beribadah dan beramal. Dengan dasar min alamatil I’timadi alal amali nuqshonur roja inda wujudiz zalal.
Lahirlah tradisi pemikiran yang disebut tasawuf. Yang satu itu benar kalau tidak punya akhlak, sedangkan yang satunya lagi memikirkan bagaimana kebenaran itu sampai kepada Allah SWT. Kedua tradisi berpikir semacam ini dikawinkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari, yang kemudian dikenal dengan istilah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah.
Umat islam Sepeninggal Rasulullah, harus ada yang mengatur tubuh, akal, dan hatinya. Tradisi ilmu fiqh ini dihasilkan dari apa yang ditulis oleh sahabat nabi terkait segala sesuatu yang dilakukan nabi. Ilmu qalam dihasilkan dari perdebatan tentang tuhan. Kemudian tasawuf adalah ilmu yang mengembalikan Allah menjadi idola. Ketiga kajian ilmu atau tradisi berpikir ini harus dipertemukan.
Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, khususnya nahdiyin mempertemukan ketiga tradisi berpikir ini. Apa yang dilakukan oleh nahdiyin memang tidak pernah ada di zaman Rasulullah, tapi pengalaman kaum muslimin, wal jamaah-nya terjadi seperti itu. Rasulullah sebagai ahlussunnah-nya dan wal jamaah-nya ikut para pendahulu, dalam tradisi yang pernah ada.