Saatnya "Janeng" naik kasta
JANENG - atau boh janeng mungkin masih asing di telinga sebagian masyarakat Aceh, terutama generasi muda. Umbi-umbian dengan nama latin Dioscorea Hispida ini konon menjadi makanan pokok alternatif para leluhur saat masa perang. Dengan alat dan bumbu seadanya, boh janeng dulu disajikan dengan direbus atau dijadikan bubur. Solusi untuk menuntaskan rasa lapar para indatu saat beras, sagu, dan jagung sulit didapat.
Kini, janeng bisa dikonsumsi dengan cara yang lebih menarik dan lebih lezat. Adalah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh yang menggagas untuk mengolah janeng menjadi varian makanan lezat. Seolah ingin menegaskan bahwa janeng yang dulunya disepelekan kini sudah naik kasta dan menjadi bahan makanan yang dapat diolah menjadi mi goreng, serabi, cup cake, bahkan pizza yang menggiurkan.
DLHK Aceh menggelar ‘Sayembara Memasak Janeng’ di halaman kantor tersebut, Minggu (20/3). Kegiatan itu diikuti 16 grup, di mana setiap grup terdiri atas dua orang. Layaknya koki profesional, para peserta yang berasal dari berbagai kabupaten/kota di Aceh itu mengenakan celemek serasi dengan pasangannya. Mereka beraksi dengan peralatan lengkap sambil menunjukkan kepiawaian mengolah janeng kering menjadi santapan lezat.
Panitia juga mendatangkan lima juri kuliner untuk menilai kreasi peserta. Mereka adalah dosen Pertanian Unsyiah Ir Gina Erida MSi, pakar Agro Teknologi Dr Rita Hayati MSi, Ir Chadijah Hasan dari PKK Provinsi, serta dua dosen Tata Boga Unsyiah, Dra Indani MSi dan Laili MSi. Peserta diberikan waktu dua jam untuk mengolah janeng sedangkan dewan juri
memiliki 3
Ketua dewan juri, Ir Gina Erida MSi saat membacakan keputusan penilaian mengatakan, kreasi ‘Pizza Janeng’ karya Cut Herlita dan Rita Murtian dari Banda Aceh meraih juara pertama dalam sayembara tersebut. Sementara Salapa ala Turki berbahan janeng kreasi Budi Mulia dan Chairul Amni dari Aceh Besar meraih juara kedua. Juara ketiga diraih Zahraini dan Nurlaili dari Aceh Besar dengan kreasi Janeng Gulung. Keputusan dewan juri tersebut disambut tepuk tangan para hadirin. Para juara berhak mendapat trofi dan uang pembinaan dari DLHK Aceh.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Ir Husaini Syama’un yang membuka kegiatan itu mengatakan, sayembara ini merupakan ajang menciptakan inovasi baru dalam mengolah janeng agar tetap eksis di zaman ini. Menurutnya, makanan nenek moyang bangsa Aceh ini perlu dilestarikan dengan aneka resep baru agar bisa diterima semua kalangan.
“Sejak nenek moyang kita, janeng telah menjadi makanan sehari-hari yang diolah dengan cara sederhana. Kini dengan hadirnya inovasi pengolahan janeng, produk ini bisa lebih enak dan bernilai ekonomis,” kata Husaini. Menurutnya, janeng merupakan umbi yang tumbuh di bawah hutan yang terlindung. Maka dari itu, janeng salah satu barometer bagus-tidaknya sebuah hutan.
Selain itu, tambah Husaini, janeng merupakan cadangan pangan terakhir saat beras, sagu, dan jagung mengalami krisis. Dikatakan, bukan tak mungkin ke depan janeng bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok masyarakat Aceh. “Perubahan iklim dan pembangunan bisa membuat beras dan jagung menjadi langka ke depan. Dengan diberdayakan kembali janeng, kita berharap bisa terhindar dari krisis pangan,” ujar dia sambil menyebut potensi janeng ada di Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil.
Mabuk janeng
Ketua Panitia, Muhammad Daud yang juga Kepala Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan mengatakan, pihaknya mengapresiasi antusiasme peserta dari seluruh Aceh untuk mengikuti kegiatan tersebut. Dari 54 tim yang mendaftar, panitia memilih 16 yang terbaik untuk mengikuti sayembara di DLHK Aceh. “Tiga tim terbaik berhak menampilkan karyanya di stan DLHK Aceh di Penas KTNA ke depan,” kata dia.
Menurut Daud, janeng merupakan cadangan pangan terakhir yang perlu dilestarikan. Namun untuk mengolahnya menjadi makanan, masyarakat harus lebih cermat agar tidak ‘mabuk’. “Janeng itu mengandung racun yang membuat kita mabuk. Agar bisa dikonsumsi dengan aman, janeng harus dicuci di air yang mengalir, lalu dirajang tipis, dan dijemur diterik matahari hingga kering,” katanya, seraya mengatakan cara tersebut sudah dipraktikkan sejak dulu oleh para indatu, agar umbi berduri itu bisa dinikmati hingga anak cucu.