Lembaga perlindungan Hak Asasi Manusia

in #law6 years ago

Human_Rights_for_All_e14048650.jpg

Tuntutan masyarakat yang menggema dan liberalisasi politik yang begitu kencang setelah jatuhnya Soeharto selain berdampak pada perubahan konstitusi dan instrumen hukum juga berpengaruh pada pembentukan lembaga-lembaga perlindungan HAM di tingkat nasional. Terkait dengan hal ini, Jimly Assiddiqiy mengatakan bahwa perkembangan masyarakat baik secara ekonomi, politik,dan sosial budaya serta pengaruh globalisme dan lokalisme menghendaki struktur organisasi negara lebih responsif terhadap tuntutan mereka serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan pemerintahan.
Keberadaan lembaga negara tentu tidak dapat dipisahkan dari amanat konstitusi yang setelah amandemen di era reformasi juga serius memberikan perlindungan terhadap HAM.

Mahfud M.D mengatakan, pada prinsipnya ada dua isi penting konstitusi, yaitu pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan atas HAM. Konstitusi memberikan pengaturan dan menentukan fungsi-fungsi lembaga negara agar tidak terjadi pelanggaran atas HAM. Setidaknya sampai hari ini,belum ada sistem yang diyakini lebih baik dari demokrasi,terutama dilihat dari caranya menempatkan atau memposisikan rakyat dalam konteks bernegara Demokrasi memposisikan rakyat secara jelas pada tempat yang begitu penting yakni pada tingkat terakhir rakyatlah yang paling menentukan.

Perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi sangat penting setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Konstitusi dan instrumen-instrumen HAM nasional dibentuk dan memuat perlindungan dan pemenuhan HAM yang pengawasannya diselenggarakan oleh lembaga-lembaga yang independen sehingga dapat mewujudkan perlindungan,penghormatan dan pemenuhan HAM oleh negara. Oleh sebab itu, kita selaku masyarakat harus mengetahui dan memahami lembaga-lembaga yang melindungi Hak Asasi Manusia di Indonesia maupun di dunia secara umumnya. Akan tetapi saya akan berbagi tulisan seputar lembaga perlindungan HAM yang ada di Indonesia.

Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga lembaga resmi oleh pemerintah seperti Komnas HAM,Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,Peradilan HAM dan lembaga–lembaga yang dibentuk oleh masyarakat terutama dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM.

hak-asasi-manusia-pkn-kls-vii-18-728.jpg
Uraian masing-masing sebagai berikut:

  1. Komnas HAM
    Komnas HAM merupakan badan yang ditugaskan untuk melindungi dan memajukan HAM. Di level internasional badan ini menjadi partner kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Baca (Knut D. Asplund, Suparman Marzuki dan Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, hlm. 283.)

Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM (Bab VIII,pasal 75 s/d.99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan UU Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999. Selain itu Komnas HAM juga bertujuan sebagai:
a) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
b) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia yang tinggal Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM harus melaksanakan fungsi:

  1. Fungsi pengkajian dan penelitian. Untuk melaksanakan fungsi ini,Komnas HAM berwenang antara lain:
    a. melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
    b. melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,perubahan dan pencabutan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

  2. Fungsi penyuluhan.
    Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini,Komnas HAM berwenang:
    a. menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.
    b. meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya.
    c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

  3. Fungsi pemantauan.
    Fungsi ini mencakup kewenangan antara lain:
    a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
    b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.

  4. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar keterangannya.
    a. pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengarkesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan.
    b. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
    c. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis ataumenyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
    d. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
    e. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

  5. Fungsi mediasi.
    Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk melakukan:
    a. perdamaian kedua belah pihak.
    b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
    c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
    d. penyampaian rekomendasi atas sesuatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
    e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti.

Bagi setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.

pelanggaran-ham-di-sumut-masih-tinggi-118-kasus-di-tahun-2017-ButLHkPHVI.jpg

  1. Pengadilan HAM
    Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,ras,kelompok,etnis,dan agama.

Cara yang dilakukan dalam kejahatan genosida,misalnya: membunuh, perbuatan ini merupakan tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental,menciptakan kondisi yang berakibat kemusnahan fisik, memaksa tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran,memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan misalnya:
a. pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan.
b. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
c. perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional.
d. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
e. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
f. penghilangan orang secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai penolakan pengakuan melakukan tindakan tersebut dan pemberian informasi tentang nasib dan keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu yang panjang).
g. kejahatan apartheid (penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atas kelompok ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan maskud untuk mempertahan peraturan pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim). Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI).

w644.jpg

  1. Mahkamah Konstitusi
    Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap konstitusi atau dikenal dengan constitutional review. Pelaksanaannya di Indonesia dan di berbagai negara, uji konstitusionalitas disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing),bahwa Undang-Undang yang akan diuji telah merugikan hak dan atau wewenang konstitusional pemonohon constitutional review. Hak-hak yang ada dalam UUD 1945 meliputi hak sipil politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, hak pembangunan, dan lainnya yang muatannya bisa dikatakan telah mewakili substansi materi HAM yang ada dalam generasi pertama hingga keempat. Hak-hak tersebut bisa dijadikan pijakan pemonon untuk menguji keabsahan dari suatu Undang-Undang. Landasan hukum kelembagaan Mahkamah Konstitusi ialah Pasal 24C UUD 1945 dan UU No. 18 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

  2. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
    Pembentukan Komisi ini juga sama yaitu untuk merespon atas terjadinya berbagai pelanggaran dan kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Tujuan pembentukan Komisi ini, pertama, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Kedua,meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Landasan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini ialah Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005.

STOP-kekerasan-terhadap-perempuan-e1488898091340.jpg

  1. Komisi Perlindungan Anak Indonesia
    Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan nasional perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997. Kemudian pada era reformasi, tanggung jawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan kepada masyarakat.

Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang mendorong lahirnya UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).

KPAI dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
b. mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
c. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah segera membuat undang–undang larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU.

  1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
    Lembaga ini sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UU No.13 tahun 2006 merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan atau Korban.
    lembaga mandiri yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. LPSK dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.
    Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Prolegnas.

lpsk-_130507150138-743.jpg

Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.

Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.

Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005. Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009, telah menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi.

Akhirnya Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu, tanggal 30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah, tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban.

Pada bulan Juli 2006 Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UU tersebut. 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008.

Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Undang-undang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.

  1. Organisasi Masyarakat Sipil
    Organisasi masyarakat sipil di Indonesia mulai menampakkan diri pasca era reformasi, terutama, ketika terjadi migrasi besar-besaran aktivis organisasi masyarakat sipil menjadi politisi dan pejabat publik. Agenda demokratisasi yang menjadi misi reformasi-pun semakin gencar disorongkan. Dan, rezim hibrida-pun lahir dari perdebatan mereka. Namun, rezim hibrida selanjutnya melahirkan juga hibrida baru dalam organisasi masyarakat sipil.

Penting dicatat, jalan demokrasi, selain pilihan, adalah juga prasyarat yang diberikan untuk mengakhiri krisis ekonomi. Hibriditas dalam konteks Indonesia, dengan demikian, harus diletakkan dalam konteks upaya Indonesia menyelesaikan krisis ekonominya yang sebagian besar dilakukan dengan menerima resep-resep tawaran IMF dan Bank Dunia. Indonesia sejatinya tengah mengulang kembali sejarah negara-negara Afrika dan Amerika Latin di awal 1990-an yang menempuh transisi demokrasi mereka melalui program penyehatan ekonomi. Dalam paket resep itu, demokratisasi memang menjadi prasyarat utama yang digariskan oleh lembaga-lembaga tersebut.

Demokratisasi, dalam hal ini, menyangkut pemenuhan prosedur-prosedur penyelenggaraan kekuasaan tertentu, mulai dari pemilu demokratis hingga good governance. Pada puncaknya, demokratisasi dimuarakan pada liberalisasi (the best government is the least government).

Kesimpulan yang dapat penulis hasilkan adalah sudah sepatutnya kita selaku masyarakat Indonesia harus mengetahui lembaga-lembaga perlindungan Hak Asasi Manusia agar dapat membantu proses masyarakat setiap terjadi penyelewengan dari perbuatan yang melanggar HAM.

Sangat banyak problematika yang dihasilkan saat ini khususnya negara kita yang terjadi korban dari pelanggaran HAM dan banyak pula yang belum terungkapkan, dengan kita mengetahui lembaga yang menampung setiap permasalahan HAM maka semakin mudah kita untuk melindungi serta mengayomi pada masyarakat yang belum tahu dan paham tempat yang harus ia laporkan setiap mereka mengalami korban HAM.

Tulisan ini sudah dipaparkan dalam forum diskusi mingguan di hadapan mahasiswa jurusan Hukum Keluarga Islam serta di dampingi dosen pembimbing Tasrizal M.H

follow-steemit.gif

Sort:  

Go here https://steemit.com/@a-a-a to get your post resteemed to over 72,000 followers.