Legenda Batu Balah Batu Batangkup di Aceh Selatan

in #legenda7 years ago (edited)

Dikisahkan, di hutan belantara di Aceh Selatan, jauh dari perkampungan. Hiduplah sebuah keluarga di sebuah rumah yang sederhana. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak. Halim adalah anak pertama dari dua bersaudara, usianya 8 tahun. Adiknya bernama Wati berusia 6 bulan.

Halim termasuk anak yang rajin, dia sering membantu ibunya tetapi sedikit keras kepala. Ia sering keluar hutan untuk mengadu ayam ke perkampungan. Terkadang membuat ibunya sangat khwatir jika Halim tersesat di hutan. Walaupun ibunya sering melarang, Halim tak pernah menggubrisnya. Suatu ketika ayah dan ibunya bertengkar hebat karena Halim tak kunjung pulang. Bahkan sang ayah tak segan-segan menampar keras pipi ibunya sampai biru lebam, ayahnya memang berwatak keras dan kasar. Karena itu Halim tidak betah di rumah. Dia tidak mempunyai teman. Ayahnya sering memarahi Halim bahkan memukul jika hanya membuat satu kesalahan kecil saja.

Ayah Ibunya bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan hasil panen di jual ke pasar. Terkadang ayahnya, pergi ke hutan menangkap belalang. Orang-orang zaman dahulu biasanya memasak belalang untuk dimakan bersama nasi sebagai pengganti lauk.

Dirumah sederhana mereka, ada sebuah peti kecil terbuat dari kayu. Ayah Halim menyimpan belalang yang ditangkap ke dalam peti tersebut. Pagi itu, Seperti biasa ayah Halim pergi untuk berburu belalang. Biasanya ayah Halim pergi pagi dan pulang siang. Dia membawa bekal sekedarnya saja. Sebelum pergi ayahnya berpamitan kepada ibunya dan berpesan.

“Mak Halim, jangan pernah membuka peti kayu itu, karena dalam peti masih dipenuhi belalang. Takutnya, begitu peti itu dibuka semua belalang akan terbang. Aku akan pergi mencari belalang yang baru untuk dimasak hari ini, Sedangkan belalang yang di dalam peti itu kita simpan untuk persediaan besok.”

Ibu Halim hanya menjawab “Iya,” sambil menggendong Wati dan tersenyum mengantar suaminya ke pintu.

Tinggallah mereka bertiga, letak sumur yang agak jauh dari gubuk tak memungkinkan ibunya membawa mereka ke sana, karena ibunya harus mencuci beberapa pakaian kotor. Halim dan Wati berdua di gubuk mereka yang kecil. Halim bertugas menjaga adiknya yang masih bayi. Halim adalah seorang abang yang sangat baik terhadap adiknya. Tanpa disuruh Halim menjaga adiknya dengan penuh kasih sayang, ibu Halim bangga akan hal itu.
Setelah menjelang siang, ibu Halim pun selesai menjemur pakaian. Hari begitu panas, ibunya kembali ke rumah memasak nasi. Tetapi untuk memasak lauk, ibunya harus menunggu ayah Halim pulang membawakan belalang yang baru ditangkap. Setelah nasi matang Ibu Halim besantai sejenak di beranda depan rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa peluh diwajahnya. Ibunya memanggil Halim.
“Halim, bawa adikmu kepada emak, adikmu pasti haus,” Kata ibunya.

Halim menggendong Wati dan memberikan kepada Ibunya. Ibu Halim menyusui Wati kecil. Halim duduk di sebelah ibunya sambil menunggu ayah pulang.

Karena lama menunggu membuat Halim bosan, dia masuk ke rumah. Tiba-tiba tanpa sengaja mata Halim tertuju ke arah peti.

“Mak, apa didalam peti itu mak?” tanya Halim sambil menunjuk ke arah peti.
“Dalam peti ada banyak belalang,” jawab ibunya.

Selama ini Halim tidak mengetahui jika ayahnya menyimpan semua belalang di dalam peti itu. Ayahnya memasukkan semua belalang ke dalam peti saat Halim tidur siang atau sedang bermain di luar rumah. Biasanya, setelah memasukkan belalang ayah Halim menyembunyikan peti itu di belakang tumpukan gabah. Akan tetapi, pagi itu ayah Halim lupa menyembunyikan kembali peti itu ke tempatnya.

“Halim mau belalang satu mak, Halim mau bermain dengan belalang,” ujar Halim kepada ibunya. “Jangan nak, ayahmu tak membolehkan kita membuka peti itu, nanti ayahmu marah,” jawab ibunya. Halim menghentikan tangannya yang hendak membuka peti. “Tapi Halim mau belalang mak,” Halim tampak kecewa. “Tunggulah ayahmu pulang.”
“Tapi ayah pulangnya lama mak,” “Sebentar lagi ayah pulang.”

Halim memang keras kepala. Dia terus merengek, meminta ibunya membuka peti. Akhirnya ibu menyerah dengan permintaan Halim.
“Biar emak saja yang membuka peti.”

Ibu Halim bangun dari duduknya, sambil menggendong Wati. Tangannya yang kanan membuka peti dengan hati-hati. Begitu peti dibuka, tiba-tiba semua belalang terbang tak bersisa.

Siang itu, matahari begitu panas dan terik saat ayah Halim pulang ke rumah dengan wajah yang lelah. Tidak seperti biasanya dia pulang terlambat, keranjang belalangnya tampak kosong. Ayah Halim tidak mendapatkan seekor belalang pun. Dia agak kecewa. Tetapi ada harapan, masih ada persediaan belalang di rumah yang akan dimasak oleh istrinya. Akhirnya ayah Halim pun tiba di rumah.
Ibu Halim menyodorkan segelas air putih untuk menghilangkan dahaga suaminya. Ayah Halim langsung meminumnya. Setelah beberapa saat, ayah Halim berkata.

“Hari ini tidak ada seekor belalang pun yang bisa ditangkap, masaklah belalang yang ada di peti itu. Perutku lapar sekali.”

Ayah Halim kemudian membuka peti. Tetapi dia sangat terkejut saat mendapati petinya dalam keadaan kosong tanpa seekor belalang pun.

“Kemana semua belalang?” tanya ayah Halim kepada ibu Halim.

“Maafkan aku bang. Tadi Halim meminta belalang, dia terus menangis. Akhirnya aku buka peti itu dengan hati-hati. Akan tetapi, begitu peti terbuka belalang pun terbang semua.”

Ujar ibu Halim dengan suara yang agak gemetar.
Ibu Halim tahu bahwa suaminya akan memarahinya,bahkan tak segan-segan memukul Ibu Halim. Oleh karena itu, Halim disuruh ibunya memberi makan ayam di belakang rumah sembari menggendong adiknya yang kecil. Benar saja, tiba-tiba ayah Halim menampar ibu Halim dengan sangat keras.

“Maafkan aku bang, aku tak sengaja.” Ucap ibu Halim dengan air mata berlinang.

Ayah Halim terus memukul ibu Halim, Bahkan sekarang menggunakan kayu bakar. Ibu Halim berteriak memohon ampun kepada suaminya. Karakternya yang kasar ditambah dengan perut yang lapar membuat ayah Halim gelap mata. Dia menuju ke dapur dan mengambil parang yang telah diasah, lalu peristiwa yang tidak diinginkan pun terjadi.Ayah Halim memotong ‘payudara’ kiri istrinya tanpa belas kasihan. Setelah memotong payudara istrinya, ayah Halim ke dapur dan memanggang payudara tersebut kemudian memakannya dengan lahap.
Ibu Halim menangis dengan sangat keras. Dia tak menyangka bahwa suaminya tega berbuat seperti itu terhadapnya. Dadanya yang sebelah kiri terus mengucurkan darah. Halim tampak terkejut melihat keadaan ibunya yang tergeletak di lantai kayu rumahnya dengan bersimbah darah. Dia sangat menyesal, Halim dan ibunya menangis. Halim bingung, apa yang harus dia lakukan untuk ibunya.

“Maafkan Halim mak,” ujar Halim penuh penyesalan.
Ibu Halim mendekap Halim dan adiknya, sehingga darah ibu Halim mengenai wajah mereka.Mereka menangis bersama. Setelah beberapa saat,

“Halim anakku, ambillah sebutir telur ayam yang di sana dan berikan kepada adikmu.” Ujar ibu Halim.
Halim pun dengan patuh melaksanakan perintah ibunya. Dia mengambil sebutir telur, ibu Halim meletakkan telur tersebut ke dalam genggaman Wati.Wati pun menggenggam telur itu sembari menyusu dengan payudara kanan ibunya. Ibu Halim menahan rasa sakit yang amat sangat.

“Halim, persediaan air kita di rumah sudah habis, tolong kamu ambilkan air ke sumur lalu kamu isi kendi itu sampai penuh.”

Halim mengambil kendi dan pergi kesumur. Dia mulai menimba air sumur dan mengisinya ke kendi, tetapi kendi itu tidak pernah penuh. Halim heran, kemudian dia memeriksanya, ternyata kendi tersebut bocor. Hampir sejam dia menimba air, dia tampak lelah akhirnya dia pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah. Halim mendapatinya adiknya sendirian dengan telur masih di tangannya. Dia memanggil ibunya tetapi tidak ada jawaban. Halim mulai cemas, takut hal buruk menimpa ibunya, atau jangan-jangan ibunya telah pergi meninggalkan mereka. Halim mulai panik dan menangis. Dia menggendong adiknya kemudian mengikuti jejak tetesan darah yang menuju ke tengah hutan belantara.
Jauh di depan sana, ibu Halim terus berjalan dengan langkah yang pasti. Dia berjalan menyusuri hutan belantara menuju ke tengah hutan. Halim berlari mengikuti jejak ibunya sambil memanggil ibunya dengan ratapan yang pilu.

“Mak ,mak, berhentilah mak.”

Dia terus memanggil ibunya. Halim menangis panik, Wati pun sudah mulai kelelahan dan mulai menangis juga. Suara Halim menggema di hutan. Dia terus memnanggil ibunya.

“Mak, jangan tinggalkan kami, Halim berjanji akan mematuhi emak.” Teriak Halim
“Mak, kembalilah mak,” Sekian lama memanggil, sayup-sayup terdengar suara ibunya dari kejauhan.
“Mak tunggu kalian di bawah pohon jambu di depan sana.”

Menjelang sore, Halim terus berjalan. Setelah beberapa saat, dari kejauhan Halim melihat sebuah pohon jambu yang rindang yang sedang berbuah lebat. Halim senang karena disana dia melihat ibunya sedang bersandar dibawah pohon jambu menunggu Halim dan adiknya. Ibunya dengan segera menyusui Wati, Halim duduk di samping ibunya.

“Mak jangan tinggalkan Halim dan Wati lagi mak,” pinta Halim.

Ibu Halim hanya terdiam, matanya sembab. Dia hanya memperhatikan wajah kedua anaknya, entah apa yang dipikirkannya. Setelah begitu lama Ibu halim menyusui Wati, Ibu Halim melihat ke atas pohon jambu yang sedang berbuah. Ibu Halim meminta Halim mengambil beberapa buah jambu untuknya. “Halim, ambilkan emak buah jambu itu, emak haus dan lapar.”

Dengan segera Halim memanjat pohon jambu, kakinya yang kecil menginjak dahan-dahan. Halim memilih buah jambu yang lebih besar dan merah untuk ibunya. Setelah merasa buah jambunya cukup untuk dimakan ibunya, dia menuruni dahan demi dahan dengan hati-hati.

Setelah sampai di bawah, Halim tidak melihat ibunya. Wati terbaring di tanah beralaskan dedauan. Halim panik, hari mulai gelap. Dia menggendong wati dan mengikuti jejak kaki ibunya. Sembari berlari mengejar ibunya. Halim teringat, ibunya pernah bercerita di tengah hutan sana ada sebuah batu besar yang bertutup. Batu tersebut bisa terbuka (terbelah) dan menutup kembali, orang-orang menyebutnya “Batu Balah Batu Batangkup,” Orang yang kecewa atau putus asa, sering pergi ke batu tersebut untuk menelan mereka. Halim dilanda kecemasan yang begitu dalam.
Samar-samar dari kejauhan, Halim melihat ibunya di depan sebuah batu besar. Ibunya seperti sedang berbicara dengan batu. Rambutnya tergerai, Mungkin di saat berlari tadi, sanggul ibunya terlepas. Halim semakin mendekat, Dia mendengar dengan jelas suara ibunya.

“Batu balah batu batangkup, peuhah babah ulon ku lop,” ucap ibu Halim.

Jika diartikan dalam bahasa Indonesia artinya adalah (batu balah batu batangkup, Bukalah aku mau masuk.) Halim mendengar ibunya terus mengulang kalimat itu.

“Batu balah batu batangkup, peuhah babah ulon kulop.”

Setelah tujuh kali ibunya berbicara seperti itu dengan batu besar di hadapannya, secara tiba-tiba batu tersebut terbuka, ibunya dengan segera masuk ke dalam batu. Batu itu pun mulai menutup. Jarak Halim dengan batu sudah sangat dekat. Halim berteriak.

“Maaak,”

Halim terlambat, di saat dia ingin meraih ibunya, yang dia dapatkan hanyalah tujuh helai rambutnya. Ibu Halim telah di telan batu, Halim menangis keras. Halim meratapi ibunya yang telah mengutuk dirinya sendiri. Halim meminta batu untuk mengembalikan kembali ibunya, tetapi batu hanya diam saja. Batu balah batu batangkup hanya terbuka di saat orang-orang yang putus asa mengutuk diri mereka untuk ditelan. Malam pun tiba, Halim masih menunggu ibunya. Dia memangku Wati sambil berharap batu balah batu batangkup terbuka.

Matahari terbit di ufuk timur, Cahayanya yang hangat menerpa wajah polos dua anak manusia yang sedang tertidur di depan sebuah batu besar. Wati bangun dan menangis, Halim pun terjaga dari tidurnya. Kejadian yang dia alami seperti mimpi, seakan tidak percaya. Akan tetapi, keberadaaannya di hutan belantara dan di depan sebuah batu besar membuat halim tersadar bahwa dia tidak sedang bermimpi. Kemudian, Halim menyadari bahwa Wati menangis karena dia haus dan lapar. Di perhatikan adik kecilnya itu, Halim mengecup dahi adiknya. Di tangannya masih ada telur pemberian ibu mereka. Lantas dia menggendong adiknya dan terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Mereka menyusuri hulu sungai. Jika adiknya menangis karena kehausan, dia akan mengambil air dari sungai tersebut dan meminumkannnya kepada adiknya. Jika mereka lapar, mereka memakan buah-buahan yang tersedia di hutan.

Setelah tiga hari Halim menyusuri hutan, Halim melihat ada sebuah rumah panggung. Halim berbisik kepada adiknya,

“Dik, jangan berisik ya. Kita akan masuk ke rumah itu,” Wati seakan mengerti dengan perkataan kakaknya.

Halim mengendap-endap masuk ke rumah itu melalui pintu belakang. Didapatinya rumah tersebut dalam keadaan kosong. Dia menuju ke dapur, di sana ada sebuah periuk yang besar berisi nasi yang masih penuh. Sudah tiga hari Halim tidak makan nasi, selama ini dia dan adiknya hanya memakan buah-buahan yang tersedia di hutan. Halim mengambil nasi di periuk dan memakannya, sesekali dia menyuapi adiknya. Mereka makan dengan sangat lahap dan menghabiskan semuanya. Mereka sangat kenyang. Setelah merasa kenyang, Halim dan adiknya bersembunyi di dalam tong penyimpanan padi. Tong padi tersebut ukurannya besar, sehingga bisa menutupi badan Halim yang kecil. Dia selalu berkata kepada adiknya supaya tidak bersuara.

Tanpa terasa Hari sudah sore, Halim dan wati tertidur. Mereka terbangun saat mendengar suara riuh. Halim mengintip, penghuni rumah tersebut sudah pulang. Ternyata mereka adalah sekelompok monyet. Jumlah mereka sepuluh, mereka bisa berbicara layaknya manusia. Di antara kesepuluh monyet tersebut, ada seekor monyet yang bersuara sengau. Monyet sengau tersebut terkejut saat mendapati periuk nasi mereka kosong.

“Siapa yang memakan nasi kita?” Ujar monyet sengau.
“Aku tidak tahu, aku tidak tahu” jawab monyet yang lain.
“Ini pasti ulahnya kucing garong, dia yang memakan semuanya.” Ujar monyet sengau dengan marah.

Monyet sengau tersebut memasak kembali nasi sambil terus mengomel. Setelah menunggu lama, mereka memakannya bersama-sama. Kemudian mereka tertidur karena hari sudah malam. Mereka sehari-hari bertani. Pantas saja banyak persediaan padi di rumah mereka.

Keesokan harinya, seperti biasa. Saat mereka hendak pergi ke sawah, mereka memasak terlebih dahulu. mereka memasak dua periuk penuh. Satu periuk mereka bawa ke sawah untuk makan siang, sedangkan yang satunya lagi mereka tinggalkan di rumah untuk makan malam. Saat pulang, mereka selalu terkejut karena mendapati periuk nasi selalu kosong. Monyet sengau selalu mengomel dan menyalahkan kucing garong. Begitulah yang terjadi selama berhari-hari. Monyet sengau tidak tahan lagi, mereka sepakat untuk mencari solusi, monyet sengau menyusun rencana.

“Besok, kita masak nasi tiga periuk, satu kita bawa ke sawah seperti biasa. Sedangkan yang dua lagi kita tukar. Periuk yang di atas tungku kita beri racun, sedangkan periuk yang untuk kita makan di simpan di bawah tudung saji saja.”

Monyet yang lain setuju, mereka pergi ke sawah dengan perasaan senang. Mereka berharap kucing garong memakan nasi yang di atas tungku. Halim mendengar pembicaraan mereka, Halim pun tersenyum. Dia meletakkan periuk yang di atas tungku di bawah tudung saji. Mereka memakan nasi yang tidak beracun. Setelah kenyang Halim dan adiknya kembali bersembunyi. Sore hari, monyet-monyet pulang ke rumah. Mereka segera menuju dapur untuk memeriksa periuk beracun di atas tunggu. Monyet sengau sangat girang saat melihat periuk di atas tungku kosong. Mereka bersorak kegirangan.

“Akhirnya kucing garong itu mati,” ujar monyet sengau.

Saat malam, Mereka makan bersama. Diantara monyet itu, ada seekor monyet yang sedang hamil tua merasa tidak enak badan. Monyet hamil tua itu pun tidak berselera makan. Setelah monyet-monyet tersebut menghabiskan makanan mereka, tiba-tiba mereka merasa pusing dan kemudian muntah-muntah. Hanya seekor monyet yang tidak merasa seperti itu, yaitu monyet yang sedang hamil tua. Monyet hamil itu panik saat melihat monye-monyet lain tergeletak di lantai dan tidak bergerak lagi. Mereka semua mati dengan mulut berbusa, Monyet hamil itu pun lari terbirit-birit dari rumahnya. Inilah cikal bakal monyet sampai sekarang.

Halim keluar dari tempat persembunyiaannya, dia mengubur semua monyet-monyet. Akhirnya Halim dan adiknya menempati rumah itu. Mereka tinggal di rumah tersebut sampai akhirnya mereka tumbuh besar. Halim tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan, adiknya Wati pun telah menjadi seorang gadis manis berparas sangat cantik. Telur ayam pemberian ibunya telah menetas di tangan Wati sewaktu dia kecil. Telur itu menjadi seekor ayam jantan yang memiliki bulu mencolok dan memiliki jengger yang indah dengan bulu ekor yang menjuntai. Setiap pagi ayam jantan itu hinggap di pagar dan berkokok. Halim sangat menyayangi ayam tersebut, Dia selalu memberinya makan. Seminggu sekali, Halim keluar dari hutan menuju ke perkampungan untuk mengadu ayam, kebiasaannya di kala kecil. Ayam jantannya selalu juara, Halim selalu mendapatkan sejumlah uang dari hasil mengadu ayam. Uang tersebut di pergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka di hutan seperti membeli beras dan lauk.

Hari itu, Halim mempersiapkan kepergiaannya ke perkampungan untuk mengadu ayam. Sebelum pergi Halim selalu berpesan kepada Wati untuk menutup pintu dengan rapat dan jangan di buka jika ada orang lain yang mengetuk pintu.

“Kong-kong katop, dek. Kong-kong katop.”

Pesan Halim kepada adiknya.Artinya (Tutup kuat,dek. Tutup kuat.)

Jika Halim pulang dari mengadu ayam, dia akan memberi isyarat. Yaitu, melemparkan ayamnya ke atap rumah mereka, dan ayam pun berkokok. Setelah itu Wati membuka pintu. Begitulah rutinitas mereka, Wati selalu mematuhi kakaknya.

Halim tiba di perkampungan yang ramai. Di sana ada sekelompok orang yang sedang mengadu ayam. Mereka bersorak, Halim memasuki kerumunan itu. Mereka girang saat melihat Halim, semua orang mengenalnya tetapi tidak mengetahui di mana dia tinggal. Masyarakat di perkampungan itu selalu mengelukan nama Halim dan ayamnya.

Ada seorang pemuda yang diam-diam memperhatikan Halim, dia sangat penasaran siapa Halim sebenarnya, dan di mana dia tinggal. Pemuda tersebut juga memegang seekor ayam di tangannya. Ayamnya juga berbulu indah dengan ekor yang menjuntai. Pemuda itu mengajak Halim untuk mengadu ayam, Halim pun setuju. Dua ekor ayam itu pun bertarung dengan gagah berani, tetapi dalam waktu singkat, ayam halim berhasil menaklukkan ayam pemuda tersebut. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Halim dan ayamnya. Halim mengambil uang taruhan yang telah di sediakan. Pemuda tersebut merasa sakit hati terhadap Halim, dia tidak menerima ayam Halim mengalahkan ayamnya. Dia memutuskan mengikuti Halim. Halim terlebih dahulu pergi ke pasar untuk membeli beras dan lauk-pauk.

Sore itu, hujan turun dengan deras. Pemandangan di depan agak gelap ditutupi awan mendung. Halim menyusuri hutan menuju ke rumahnya, Halim tidak menyadari, bahwa ada seseorang yang sedang mengikutinya. Halim basah kuyup, akhirnya dia pun sampai di rumahnya. Pertama, Halim melempar ayamnya ke atap rumah. Kemudian, ayam tersebut berkokok. Wati di dalam rumah merasa senang, suara kokok ayam itu adalah pertanda abangnya pulang. Wati buru-buru membuka pintu. Pemuda yang mengikuti Halim tadi, memperhatikan apa yang di lakukan Halim. Di saat Wati membuka pintu, pemuda tersebut tertegun melihat wajah cantik wati. Dia berkeinginan memiliki Wati.
“Cantik sekali gadis itu,” gumam pemuda tersebut.

Halim memasuki rumahnya dalam keadaan basah kuyup dan kemudian menutup pintu. Pemuda tersebut bersembunyi di bawah rumah panggung Halim sampai keesokan harinya. Pemuda itu penasaran dengan Halim dan wati, baru dia tahu, bahwa mereka adalah kakak beradik. Selama seminggu pemuda itu mengintai rumah mereka, akan tetapi, mereka tidak menyadarinya. Tibalah saatnya persediaan makanan mereka habis, Halim berencana mengadu kembali ayam ke perkampungan. Seperti biasa, sebelum pergi, Halim berpesan kepada adiknya.

“Kong-kong katop, dek. Kong-kong katop.”

Wati pun menutup pintu rumah mereka, pemuda yang telah bersembunyi di sekitar rumah mereka selama seminggu itu pun berencana jahat. Dia mengikuti Halim, setengah perjalanan dari rumah mereka, tiba-tiba pemuda itu menusuk Halim dari belakang dengan pisau tajam yang dia selipkan di pinggangnya. Halim pun bersimbah darah dan meninggal. Kemudian, jenazah Halim di kuburkan di hutan itu, agak jauh dari rumahnya. Pemuda tersebut mengambil ayam Halim dan pergi ke rumah Wati. Dia melemparkan ayam ke atap rumah, seperti biasa, ayam itu akan berkokok. Wati heran kenapa abangnya cepat sekali pulang, karena biasanya, kakaknya pulang di saat sore. Walaupun begitu, Wati tetap membuka pintu. Saat pintu dibuka, betapa terkejutnya dia. Yang dia dapati bukanlah abangnya, melainkan orang lain yang dia tidak kenal. Pemuda itu tersenyum manis kepada Wati, dia masuk dan duduk di atas tikar pandan. Wati bertanya,

“Kamu siapa?” Tanya wati penuh ketakutan.
“Namaku Agam, Kamu Wati kan?”
“Iya, dari mana kamu tau namaku? kenapa kamu ke sini? Ayam tadi...,”
Belum habis pertanyaan Wati, pemuda itu berkata,
“ Aku menemukan abangmu di hutan, dia telah tewas di terkam binatang buas. Sebelum meninggal dia meminta kepadaku untuk menjagamu, Wati.”

Saat mendengar penuturan pemuda yang bernama Agam tersebut, Wati menangis histeris. Dia tidak menyangka, abang yang sangat menyayanginya, menjaganya selama ini begitu cepat meninggalkannya. Abang yang merawat dia sedari kecil, yang menyuapinya di kala sakit telah tiada. Dia seakan tidak percaya, abangnya begitu cepat meninggalkannya. Kini dia tinggal sendiri tanpa abangnya. Wati menangis sejadi-jadinya. Pemuda itu mencoba menenangkan Wati, Dia merasa menyesal telah menghabisi nyawa Halim, abang yang sangat di sayangi Wati. Nasi telah menjadi bubur. Kini, gadis yang telah memikat hatinya, berada di dalam kesedihan. Setelah beberapa saat, Wati tertidur dengan mata yang sembab. Pemuda itu hanya duduk terdiam menyesali perbuatannya.

Keesokan harinya, Wati terbangun dari tidur panjangnya. Seekor burung terbang mendekati rumahnya dan hinggap di pintu, Burung tersebut memiliki bulu yang terlihat begitu indah dan mempunyai kicauan yang terdengar sangat nyaring. Sesekali kicauan burung tersebut berbunyi aneh.
“Kong-kong katup,dik. Kong-kong katup.”

Wati merasa itu adalah abangnya, dia senang sekali. Ternyata abangnya yang telah meninggal dan di kubur di sekitar hutan telah menjelma menjadi seekor burung yang indah. Setiap hari, burung tersebut hinggap di rumahnya dan selalu berbunyi sama, yaitu.

“Kong-kong katup, dik. Kong-kong katup.” Suara burung itu. Konon, burung tersebut masih ada sampai sekarang.

Pemuda yang bernama Agam mempersunting Wati, Wati tidak menolak karena dia pun tinggal sendirian di hutan. Pesta pernikaan pun berlangsung, mereka mengadakan pesta pernikahan sederhana yang dihadiri oleh sejumlah keluarga Agam. Setelah menikah. Agam dan Wati tinggal bersama. Agam memboyong Wati ke perkampungan. Wati banyak bercerita tentang kehidupan kecilnya bersama abangnya, termasuk cerita ibunya yang pergi ke batu balah batu batangkup. Agam ingin menebus kesalahannya yang telah membunuh Halim, Agam tidak berani menceritakan kepada Wati bahwa dia yang telah menghabisi abangnya.

Seminggu setelah pernikahan mereka, Agam mengajak Wati pergi mencari keberadaaan batu batangkup. Mereka membawa bekal yang cukup selama di hutan. Setelah lama mencari keberadaan batu tersebut, akhirnya mereka pun menemukan batu itu. Batu tersebut terlihat sangat besar. Agam dan Wati berdiri tepat di hadapan batu itu. Kemudian Agam mengoleskan bawang putih ke batu itu, secara tiba-tiba batu itu pun terbuka. Mereka terkejut melihat sangat banyak tulang belulang manusia yang terhimpit di dalam batu. Yang lebih membuat Agam dan Wati terkejut adalah, di sana ada seorang wanita tua berpenampilan lusuh dan tidak mempunyai payudara kiri. badannya kurus kering dengan rambut tergerai. Dia terlihat sangat lemah, tidak bisa bergerak. Wati berpikir bahwa itu adalah ibunya. Wati memeluk wanita tua itu sambari menangis.

“Maaak, ini Wati. Masih ingat dengan Wati mak?” Ujar Wati kepada ibunya.

Ada tetesan bening yang mengalir dari mata wanita tua itu, Dia menyadari bahwa itu adalah putri kecilnya, Wati. Mereka menangis haru, saling berpelukan. Agam dan Wati membopong wanita tua itu ke rumah mereka di perkampungan. Mereka hidup bahagia selamanya.

Kisah ini selalu di ceritakan secara turun-temurun di Aceh selatan. Jika ada anak yang tidak mematuhi ibunya, maka sang Ibu akan menakuti anaknya dengan berkata akan pergi ke ‘Batu Balah Batu Batangkup’ di dalam hutan. Cerita ini mengajarkan kepada kita untuk selalu mematuhi perintah orang tua, terutama kepada ibu.

The end

Sort:  

Saya juga sering 'diancam' dengan kalimat itu saat kecil 😂
Panjang sekali ceritanya, tapi saya dibuat betah membacanya. Penggunaan tag story mungkin bisa dipertimbangkan.

Hayoo, dikunjungi @yellsaints24, pegiat history di south aceh tuh. 😁

Terima kasih telah membaca postingan saya @daentepi, waktu kecil kalau kami nakal Ibu sering menghilang entah kemana, kami pikir sudah ditelan oleh Batu Batangkup dan kami menangis karena penyesalan, ternyata beliau hanya bersembunyi untuk memberi pelajaran kepada kami. Saat kami menangis memanggil namanya maka beliaupun kembali kepada kami.

Tag story seperti apa contohnya @daentepi? Saya masih belum terlalu mengenal @steemit karena masih baru. 😁

Hahaha sepertinya kalau dari daerah sana, pasti pernah 'dikerjain' sama umak. 😁

Konten yang Bu @vawzyaa buat kan legenda nih. Pada bagian tagar yang 5 buah di bawah tu. Salahsatunya menggunakan tag 'story', bukan legenda.

Haha, iya. Memang sering dikerjain. Baiklah @daentepi, terima kasih atas sarannya.

Kok sadis sekali ceritanya ya? Dulu waktu diceritakan nenekku nggk seperti itulah ceritanya. Maaf, kalau boleh tahu siapa yg menceritakan seperti itu?
Batu Balah itu berada di gunung Samadua dan lantunan dan dendangnya pun menggunakan bahasa Aneuk Jamee, bukan bahasa Aceh.

Iya @yellsaints24, cerita memang sadis untuk menambah gregetnya. Karena memang seperti itu yang diceritakan nenekku. Setiap orang punya versi cerita yang berbeda-beda. Memang dendangnya menggunakan bahasa Aneuk Jamee, tapi khusus keluarga kami berkomunikasi menggunakan bahasa Aceh. Di Aceh Selatan sendiri mempunyai 3 bahasa, yaitu: bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, dan bahasa Kluet.
Memangnya seperti apa yang diceritakan oleh nenek @yellsaints24?

Luar biasa Kak @vawzyaa. Nury dulu pernah nonton sampai ditelan batu doang. Terima kasih sudah bercerita begitu komplit

Iya, sama-sama Nury. Begitulah cerita Batu batangkup versi kami, yang diceritakan secara turun temurun di keluarga kami. Biasanya cerita Batu batabgkup tersebut hanya sampai di telan oleh batu.