Pertemuan dengan Angelina
Foto ilustrasi: Pixabay
Dengan menumpang Taxsi, dari Kembang Tanjong saya menuju ke kota Sigli. Jarak tempuh kira-kira dua puluh menit tibalah saya di jembatan Benteng, tepatnya di depan Pendopo. Saya tidak langsung menjumpai Angelina, teman saya sewaktu merantau ke Malaysia. Dia barusaja pulang dari Singapore.
Kami sudah berjanji bertemu di taman Pantai Pelangi. Setelah membayar ongkos Taxsi, saya berjalan menuju ke taman. Angelina melambaikan tangan ke arahku. Ia mengenakan baju putih berkerudung hitam. Saya tidak bisa menggambarkan ia secantik siapa, tentu ia gadis perawan yang hendak mencari jodoh, ia menyebut padaku bahwa Sigli itu adalah kota cinta, "sudah jauh beda ya kota Sigli. Aku ingat sewaktu masih kecil dulu, kota ini kumuh sekali." Ujarnya suatu ketika padaku. Aku ingat kata-katanya itu.
Begitu tiba di depannya ia menyalamiku bahkan mencium tanganku, "How are you?" Tanyanya. "Im fine," jawabku dengan aksen Inggris. "Boleh juga wajahmu sekarang!" Candanya. Aku menyela, "boleh aku duduk di sampingmu?" Tanyaku. "Silahkan, sedari tadi aku sudah menunggumu." Jawabnya.
Angelina gadis cantik dan sopan. Ia bahkan sangat baik hati padaku, dia menolongku saat aku berurusan dengan petugas Imigrasion. "Kau mau pesan apa?" Tanya dia sejenak sambil memandangku. "Kelapa muda jangan dikerok tapi." Jawabku. Ia mengetip jarinya pada di pedagang air kelapa, mengisyaratkan memesan kelapa muda.
Di taman itu banyak kenangan kulalui dengan Angelina sore itu. Mulai dari berbagi cerita, sampai ia menghadiahkan padaku sebuah baju kaos bergambar menara kembar. Yang ia bawa pulang dari Malaysia. "Keinginanku," katanya, "aku ingin berbisnis rempah-rempah Aceh. Aku ingin mengekspornya keluar negeri, di sana dibikin ramuan." Pertemuan singkat itu meluahkan pikiranku dalam berbisnis. Sampai menjelang senja kami masih saling bertukar pikiran. Menjelang malam turun Angelina pamit undur di hadapanku, ia berpesan, "di taman ini aku akan selalu merinduimu Dani."
Setelah kami berpisah, aku pergi ke mesjid Al-Falah. Shalat berjamaah magrib di sana, dan tepat pukul tujuh lewat, aku menuju ke sebuah warung (Ie Leuebue), aku menyantap nasi goreng ditemani teh hangat. Perutku terasa hangat.
Kemudian tak lama setelah itu aku kembali menumpang Taxsi. Dari jalan kota yang lengang nampak kerlap-kerlip lampu di jalan bagaikan kunang-kunang. Gerimis mulai turun. Sopir Taxsi terus menyetir dengan santai, mobil sedan tua itu berjalan gesit, "kita tujuan kemana Pak?" Tanya dia. "Ke Bungie," jawabku. Sopir membelok ke arah jalan Lampoih Saka. Di simpang empat itu mobil menuju ke arah Bungie. Sesampai di sana, kira-kira dalam jangka waktu sepuluh menit, tibalah aku di rumah Ibu. Aku sedang merinduinya.