Untung Boss Saya Hanya Allah Yang Maha Kuasa!

in #life7 years ago

Lucu juga jika masih saja ada yang merasa berhak menjadi boss dan bisa berbuat sekehendak, walaupun seorang pemimpin sekalipun yang sudah berbuat banyak, tetap saja tidak ada yang berhak menjadi boss yang boleh berbuat sekendaknya. Apalagi sekarang sudah bukan jamannya lagi kuda gigit besi, kita sudah hidup di masa di mana seharusnya semua orang sudah belajar dan mengerti bahwa manusia itu adalah sama saja di mata Allah. Yang membedakan hanyalah perilaku dan perbuatannya saja, tidak ada urusan apakah dia boss atau bukan, berdarah biru atau merah bahkan pelangi sekalipun. Apalagi kita sudah masuk jaman desentralisasi lewat teknologi Blockchain, ketinggalan dan tenggelam sajalah di lautan terdalam kalau masih hidup sebagai manusia tertinggal yang primitif dalam berpikir dan berperilaku. Kalau tidak mampu berpikir maju dalam tiga detik, sebaiknya ganti koin saja! Ha ha ha... (colek @rismanrachman, @kemal13, dan @kamalz).


Sumber: Bad Bosses http://thecontextofthings.com/2016/03/24/bad-bosses/

Saya masih ingat sekali dengan sebuah peristiwa di masa lalu, ketika saya baru saja diangkat sebagai pimpinan di salah satu perusahaan nasional. Saya seorang perokok dan kebetulan kantor itu tidak menerima asap rokok dan memperkenankan perokok seperti saya, bahkan untuk merokok di tempat parkir. Mau tak mau saya harus keluar dari pagar kantor dan mencari warung yang mengijinkan saya merokok, dan tempat itu ada di depan kantor, di samping tempat parkir sewaan di mana para sopir dan tenaga administrasi biasa berkumpul. Saya, sih, tidak pernah peduli, walaupun kebanyakan yang ada di sana adalah pria, lagipula mereka baik-baik saja, dan malah menjadi teman yang baik. Kalau saya lembur sampai pagi pun, selalu ada yang menjaga dan menemani.

Suatu hari, seorang yang merasa “boss” menegur saya karena kebiasaan saya itu. “Mariska, dengan kedudukan dan jabatanmu, kamu tidak level bergaul dengan mereka,” demikian katanya.

Saya pun menjawab, “Benar, mereka memang tidak selevel dengan dirimu, begitu juga dirimu dengan saya. Levelmu cuma sebatas jabatan, belum pantas menjadi manusia”.

Ya, tentu saja dia marah dan cemberut, tapi itu masalah dia, bukan masalah saya. Yang berpikir soal level dan negatif, ya dia sendiri. Untuk apa juga mengkritik dan menegur bila merasa tidak selevel, jadinya, kan, kesal sendiri. Lebih baik ngomong saja dengan yang “setara”, pasti akan saling mendukung. Saya hanya tertawa saja dan tidak pernah berhenti melakukan apa yang saya lakukan. Sopir dan para pegawai administrasi itu manusia, kok, hanya karena memang posisinya saja di kantor demikian. Bukan hal yang penting banget untuk dibesar-besarkan, buat apa juga jadi boss kalau tidak tahu bagaimana menjadi manusia. Ketika saya pun mengundurkan diri dari pekerjaan, saya malah lebih bahagia bisa datang ke acara perpisahan yang diadakan mereka walaupun sederhana dan jauh di kampung, bagi saya, ketulusan itu jauh lebih penting dan yang namanya manusia yang mampu memanusiakan manusia dengan cara manusiawi, bukan dengan uang dan jabatan. Perpisahan dengan para “big boss”? Jangan harap saya datang!

Saya tidak marah ataupun kesal, bisa dimaklumi dan dimengerti, kapasitas dan kemampuan orang tidak ada yang sama. Yang membuat manusia sama adalah kebebasan di dalam memilih, tidak ada yang berhak untuk memaksakan kehendak sebab Allah pun tidak pernah memaksa. Allah hanya memberikan pilihan yang semuanya memiliki resiko dan konsekuensinya masing-masing, untuk kemudian dipertanggungjawabkan kemudian secara pribadi dan masing-masing pula. Keadilan Allah tidak bisa dibandingkan dan disetarakan oleh kita semua yang hanya manusia, kita hanya bisa belajar untuk bisa mencoba belajar untuk bisa menerapkan apa yang sudah diajarkan olehNya.

Benar seperti kata pepatah, semakin berisi maka orang akan semakin merunduk, semakin manusia itu manusiawi, maka semakin tahu juga dia bagaimana menjadi manusia, tahu pula bagaimana memanusiakan manusia. Ajaran dan petunjuk yang diberikan Allah serta segala ilmu serta pengalaman yang ada sepanjang sejarah kehidupan ini, benar dipelajari dan diterapkan, dicerna untuk menjadi berguna dan bermanfaat bagi masa depan.

Saya banyak belajar dari ayah, kakek, nenek, dan para pendahulu dalam keluarga saya sendiri. Kakek uyut saya bahkan melepaskan semua gelarnya dan meninggalkan istana serta seluruh harta bendanya, untuk sama-sama berjuang melawan penjajah di Aceh. Baginya, tidak penting semua itu, sebab berjuang melawan penjajah untuk membantu menggapai kemerdekaan bersama jauh lebih penting. Bahkan seluruh warisan yang ditinggalkan pun tidak ada yang bisa disentuh oleh generasi penerusnya, beliau berpesan bahwa semua adalah untuk rakyat dan harus dipakai untuk kepentingan bersama. Tidak ada satupun yang menjadi miliknya dan turunannya, sebab apa yang ada itu adalah sesungguhnya milik Allah. Sebagai orang tua, yang diwariskan adalah ilmu dan pendidikan, itu jauh lebih berarti dan berharga dibandingkan dengan harta dan “gelar-gelar kerajaan itu. Ilmu adalah milik Allah juga, yang tidak boleh berhenti terus dipelajari, semakin kita banyak memberikan ilmu, semakin banyak ilmu bisa kita dapatkan. Adab, sejarah, dan budaya ada ketika manusia itu bisa menunjukkan bagaimana dia berperilaku adil dan beradab, tahu diri, dan bisa berbudaya sebagaimana layaknya makhluk tersempurna ciptaan Allah. Ikuti saja apa yang sudah diajarkan dan berkarya, jika pun tidak mampu untuk belajar lebih mendalam, itu saja cukup. Begitulah yang saya tangkap dari para orang tua saya. Kalaupun mau sombong, ingat saja sama Allah untuk tahu rasa malu dan tahu diri.

Saya pun keras sekali mendidik anak, jangan harap mereka bisa semena-mena pada siapapun termasuk asisten rumah tangga. Bila mereka tidak sopan, tidak meminta tolong dengan bahasa yang sopan dan hormat, pasti akan saya tegur. Tidak bisa mereka seenaknya saja, itu tidak baik bagi anak saya sendiri. Tidak mau saya anak-anak saya pun menjadi malas dan asyik saja beri perintah sana-sini, akan menjadi memalukan dan tidak mendidik bila mereka merasa “lebih’ dan tidak tahu diri. Cuci piring pun harus sendiri, beres-beres ya sendiri, paling tidak mereka harus belajar melakukannya, tidak hanya dibantu dan memberi perintah. Beradab hanya manusia yang mampu melakukannya, manusia yang tak beradab sama saja bukan manusia.

Yah, memang tidak pantas saja rasanya untuk merasa sudah menjadi boss dan berbuat seenaknya, apalagi merasa sudah sangat baik dan membantu lalu seenaknya saja. Tidak pantas juga memaksakan kehendak dan berpikir bahwa diri sendiri jauh lebih baik dari orang lain. Tidak lucu juga kalau lalu senang dengan kesalahan orang lain dan menghibur diri dengan menghancurkan orang yang sudah berbuat salah, sementara coba saja kalau diri sendiri yang salah dan dipermalukan orang lain, apa bisa menerima?! Mengakui salah saja susah, minta maaf berat, apalagi kalau sampai dipermalukan, ya?! Mau bagaimana lagi, memang cuma orang miskin yang tidak tahu bagaimana menjadi kaya, cuma kaum terjajah yang tidak tahu bagaimana menjadi pemimpin, dan hanya mereka yang jelata yang tidak tahu bagaimana menjadi raja, makanya menjadi berlebihan dan berperilaku seperti katak, ke atas merunduk, ke samping menendang, dan ke bawah menginjak. Tinggal tunggu waktu jatuh sepahit-pahitnya jatuh saja kemudian, dan pengalaman serta sejarah itu sudah membuktikannya.


Sumber: Natural Leader https://www.huffingtonpost.com/2014/10/20/traits-that-make-a-leader_n_5959298.html

Untung hanya Allah boss saya, dan hanya kepadaNya saja saya menunduk. Silahkan saja Allah mau apa juga, saya tidak akan pernah mampu melawan. Yang paling membuat saya bahagia adalah karena saya tidak perlu jadi takut miskin, tidak mendapatkan jabatan, ataupun tidak diakui, yang saya takutkan hanya satu, yaitu Allah, dan untuk saya sendiri, saya takut jika saya sudah merasa seperti Allah yang bisa suka-suka seenaknya kepada sesama manusia. Lagipula, gaji dari Allah pasti lebih adil dan pantas, serta tak mungkin kurang dan salah! Apa yang diberikan Allah kepada saya lebih dari apa yang mampu saya berikan. Malulah hati ini bila hanya mampu memberi dengan segala keterbatasan bila sudah merasa pantas untuk seenaknya saja.

Bandung, 10 Mei 2018

Salam hangat selalu,

Mariska Lubis

Sort:  

Baca postingan kk menampar secara halus.. Benar kk bilang,.. 😭😭

kita semua pasti pernah berbuat salah, tenang saja selagi masih ada waktu untuk memperbaiki... ;)

Terimakasih teh atas tulisannya, pengen rasanya kirim link tulisan ini kepada seorang yang sedang merasa menjadi "BOSS" saya haha
Berbahagialah dan bersyukurlah bagi kalian yang merdeka dengan pekerjaan dan kehidupannya, yang hanya memiliki Tuhan sebagai "boss" kalian

hahaha gemes banget yah! saya juga gemas banget, untung saya sudah tidak punya boss selain Allah...

Kalau begini jadi berandai-andai.... "andai kak @mariska yang menjadi bossku" sepertinya hidupku akan bahagia hehe

wah jangan, repot! hahaha.... nanti banyak peer loh wkwkwk....

Menurut saya lebih Bagus jika kata "untung" diganti dengan Alhamdulilah...
Terlihat lebih religius....

terima kasih masukannya.

Aku sdh lama sekali memecat Boss Mariska, jadi hidup kita lebih enjoy. Dunia ini akan lebih bahagia jika bos sudah tak lagi ada haha

ya memang lebih baik bekerja saja dengan Allah... lebih nyaman! hehehe....

Iya kak bener. Apalagi ada hadist yang mengatakan tidak bisa masuk surga bila dihatinya ada rasa sombong. Huhu tamparan banget ya

memang sulit kok menghilangkan kesombongan karena itu godaan kuat...

Ingin menjadi bos agar aku menjadi bos yang menjalankan amanah Allah Amin Yra

amin, semoga terkabul yah...

Saya pernah baca:"Sesungguhnya Allah itu tidak melihat fisik kita, harta kita, jabatan kita tetapi yang di lihat hati kita".

ya, siapa yang bisa berdusta padaNya?

Apapun jabatan dan kedudukan kita, jangan sampai kita bertindak tidak manusiawi. Semoga kita selalu ingat bagaimana untuk menjadi manusia selayaknya manusia tanpa merendahkan manusia lain.

Ya kaka ku benar sekali apa yang kaka katakan.. Kadang-kadang kita baru sedikit ada jabatan atau kadang kekuasaan, sudah omongannya setinggi langit.. Dan beranggapan dia bos, yang selalu harus kita yang kecil-kecil ini yang memuji-muji dia selalu.
Gk banget kaka ku.. He.. He..

sepakat... nggak banget! hahaha...