RE: SARJANA MENGANGGUR | bahasa |
Sekolah memang bukan untuk kerja. Salah kaprah dan buah dari pembodohan bila berpikir demikian, sangat pendek dan tertinggal. Kalau mau kerja, tanpa sekolah pun bisa. Sekolah seharusnya mendidik orang untuk mandiri dan bisa berpikir jernih serta berpikiran jangka panjang, sehingga seharusnya lebih banyak sarjana yang justru berwiraswasta dan memberikan peluang ekonomi untuk mereka yang tidak sekolah. Sekarang memang sulit mencari pekerjaan, tapi tidak usah kemudian menjadi putus asa, lakukan yang bisa dilakukan. Untuk menjadi sukses harus mau mulai dari nol dan dari bawah, melakukan semuanya sebisa mungkin sendiri agar benar2 paham dan profesional. Kalau malas dan hanya ingin enak, ya repot. Jadi jangan pernah berpikir dan berharap untuk sekolah tinggi untuk bekerja, tapi belajarlah yang rajin dan tekun untuk menjadi manusia yang benar berguna bermanfaat bagi semua dan masa depan.
Saya pernah membaca profil seorang seleb luar negeri di majalah GADIS semasa remaja dulu. Lupa namanya siapa. Dia bilang: Sekolah memang mempersiapkan kita menghadapi kehidupan. Tapi saya lebih memilih kehidupan itu sendiri. Saya pikir, pendapat itu relevan dengan pernyataan Sista @mariskalubis yang menyebutkan sekolah bukan untuk mendapatkan pekerjaan.
Kenyataan yang kita temukan, setiap mencari pekerjaan di sektor formal selalu diminta spesifikasi pendidikan. Menjadi wartawan pun, syaratnya S1, meski banyak juga yang menjadi wartawan tetapi bukan sarjana. Syarat melamar pekerjaan lain juga banyak yang membatasi untuk latar pendidikan tertentu.
Sekolah dan kuliah di kejuruan dan D3 Politeknik, saya pikir, itu disiapkan memang untuk bekal mendapatkan pekerjaan. Waktu belajar lebih banyak praktek, sampai 60 persen. Doktrinnya selama sekolah dan kuliah, disiapkan untuk tenaga siap pakai (meski tetap nggak siap juga). Itu pengalaman saya sendiri sekolah di STM dan Politeknik, Sista.
Kalau soal pembatasan pada penerimaan lowongan kerja, itu disebabkan untuk menjadi salah satu cara membatasi jumlah pendaftar tahap pertama. Sebenarnya demikian. Namun ini juga skrg sering menjadi kendala krn tidak mendapatkan karyawan yang tepat sesuai, malah seringkali yg pendidikannya lebih rendah dari persyaratan yang lebih qualified. Saya sendiri di kantor dari dulu tidak pernah melihat pendidikannya, tetapi dari banyak hal lain. Lebih baik mencari yg mau belajar drpd yg sekolahnya tinggi tapi malas dan tak tahu bekerja. Kecuali mmg utk bidang2 tertentu yah, yang sifatnya profesi khusus. Lgpl, saat ini krn banyak pengangguran, orang memilih lanjut terus sekolah bagi yg mampu. Tinggi sekolah tp nol besar akhirnya. Apalagi bila sekolahnya pun asal dapat ijazah, yang dikejar ijazah utk dapat kerja, bukan pendidikannya. Skripsi pun banyak yang nyontek dan ambil comot sana sini dari google, tidak melakukan riset dan penelitian sendiri.
Saya sepakat bila hanya ingin kerja, ya masuk saja SMK dan D3 politeknik. Sebab spt sarjana lulusan teknik mesin belum tentu bisa kerja seperti montir, belum tentu pernah memperbaiki mobil. Tahunya hanya teori saja. Sementara saat utk pekerjaan yang memahami teori, profesional, sangat butuh pengalaman, waktu, dan belajar yang sangat lama. Sarjana saja tidak cukup.
Anak saya ingin kuliah mesin, saya suruh dulu dia belajar montir dan magang di bengkel. Gengsi? Ntar dulu! Justru dengan cara inilah dia belajar banyak termasuk belajar dari bawah untuk meniti masa depan. Adik sy pun sama, sekolah boleh teknik sipil ITB dan Unpar, tapi dia sampai kursus sama tukang bangunan untuk belajar ngaduk semen, bangun dinding, nembok, ngecat, dll. Yang sau lagi ya sama, sekolah hukum hingga tinggi di Unpar dan UI, tp harus mau kerja di kedai kopi orang untuk belajar dasar hukum ekonomi yg berlaku di masyarakat. Hasilnya, ketika lulus mrk ada nilai lebih yg tidak dimiliki kawan2 lainnya, yaitu pengalaman dari bawah. Ini yang membuat mereka tidak sulit mendapatkan pekerjaan.
Saya sendiri sama, kerja dari SMA. Ayah sy tidak memberikan sy posisi enak di kantornya, tapi sy disuruh menjadi tukang packing barang di gudang. Waktu kuliah, ya kerja di mana2, jadi apa saja termasuk pelayan toko. Bukan utk uang, tapi utk belajar, uang sy yakin dapat bila kerja dengan baik, tp menjadi terdidik ini yang lebih besar bayarannya. Terdidik bicara, melayani, menahan diri, dan masih banyak lagi. Sehingga ketika menjadi penulis pun, sy masuk di semua bidang. Bahkan tmpt kerja sy pertama ya di bidang IT, lalu di bidang microchip, jauh dgn pendidikan2 sekolah saya sebelumnya.
Inilah yang kemudian membuat sy juga belajar bahwa jangan mengandalkan ijazah untuk kerja. Tapi, usaha untuk menjadi yang terdidik, menjadi yg terdidik dari mana2, dari ortu, dari lingkungan, teman, dan bahkan dari seluruh semesta alam. Ini point yg membuat orang2 sukses itu benar2 sukses, belajar terdidik dari nol, tekun, rajin dan konsisten. Coba saja pelajari kisah2 orang sukses di mana2, bukan sekolah dan ijazah yang menjadi pegangan mereka. Untuk jadi presiden pun apa ijazahnya yang dilihat dan membuatnya menjadi presiden? Hehehe...
Maksud saya, yuk, jangan patah arang. Pendidikan sekolah bukan segalanya, ijazah jangan dikejar hny utk mendapatkan pekerjaan. Jadilah yang terdidik dan kerjakan apa saja yang bisa dilakukan, jangan mengeluh soal modal dan segala macamnya. Lakukan saja yang terbaik dengan sebaik-baiknya. Pekerjaan paling mulia adalah bisa memuliakan banyak orang kok...
Saya sepakat, yang pertama pendidikan memang bukan untuk mendapatkan pekerjaan Sista @mariskalubis. Tapi lebih seabagi upaya membangun karakter, membentuk pola pikir, dan membangun karakter yang memiliki intelektual, serta membangun peradaban.
Ketika lulus, kita mendapatkan selembar ijazah, sama dengan lulusan lainnya. Nah, bagaimana dengan kompetensi? Bagaimana pertanggungjawaban kita terhadap keilmuan yang kita miliki? Bagaimana kita memberi nilai lebih yang berbeda dengan lulusan sarjana lainnya?
Ini tentu tanpa gelar sarjana pun bisa diperoleh di luar kampus dengan ketekunan, kerja keras dan kerja cerdas.
Terima kasih Sista @mariskalubis atas responnya yang luar biasa.