(Bukan) Cerita Hijrah: Tentang Pilihan Memakai Hijab Syar'i
Tahun lalu, saya membuat tagar iseng di Instagram yang diaminkan dengan kencang oleh mamak dan jadi bahan bercandaan dengan teman, #MenujuIcemSyari2018. Entah karena kemakan omongan atau memang berkah doa bunda, perlahan skinny jeans dan baju-baju fit body saya museumkan. Ini juga motif awalnya adalah gengsi dan tertantang dengan hashtag yang diciptakan sendiri.
Kemarin, saya stalking akun Zaskia Sungkar dan cukup takjub karena hijabnya dia sudah menutupi dada. Fotonya saya kirimkan ke teman dan bilang,
“Kece ya? Syari tapi modis! Panutanqu ini”
Suatu alasan yang bikin saya penasaran dan nyobain pakai jilbab mamak hari ini. Ini juga dipasangkan pentul di kiri kanan bahu biar ngga terlalu panjang dan berasa kaya pake mukena haha..
Sebenarnya, kalau memang mau hijrah lillahi ta’ala, yang beginian ngga perlu jadi bahan pikiran ya? Tapi sebagai seseorang yang berusaha menjadi (sedikit lebih) sholihah dengan cara megap-megap di lautan iman yang surutnya keseringan, ini adalah suatu keberanian untuk keluar dari zona aman.
Berbicara tentang ini, sebenarnya saya sering sangsi, takut dibilang riya, pamer dan semacamnya. Tapi kemudian saya pikir, kalau terus-terusan orang yang ingin berbuat lebih baik dihakimi, apakabar mereka yang merangkak-rangkak sendirian dan butuh sekali untuk ditunjukkan jalan. Bukankah orang-orang yang sudah lebih dulu berilmu harusnya memberitahu dengan cara yang sangat halus dan baik supaya mereka tidak merasa akan dikucilkan?
Saya juga bukan sudah baik sekali. Yang mau disombongin juga apa? Rusaknya ada di sana-sini. Udah ngga keitung lagi. Makanya pelan-pelan pengen tambalin diri :’) Tapi dulu-dulu rasanya susah sekali untuk memulai. Kadang merasa tidak akan diterima dan di-judge oleh komunitas yang memang sudah terkenal sebagai ‘anak ngaji’, kadang juga merasa tidak akan bisa komit dan istiqamah, jadi lebih baik tidak dimulai saja. Ya daripada nanti berbelok lagi, lalu dikatain orang.
“Ih pakai jilbab kok pas bulan puasa aja?
“Kerudungan/cadaran udah kaya warung aja, buka tutup terus?”
“Sekarang sih syari itu bukan lagi dari hati, tapi karna lagi trend aja.
"Dia hijrah karena sedang targetin cowo alim”
Atau ya komentar yang saya dapatkan sendiri,
“Ya ampun ngga cakep kaya begini! Cakepan dulu Korea-Korean gitu. Syari’i itu habis nikah aja udah. Ngapain sekarang?”.
Duh rasanya campur aduk sekali.
Pernah tidak menyadari, mungkin komentar-komentar seperti inilah yang membuat orang enggan dan canggung dengan sesuatu yang beratribut agama? Apalagi kesan jika sudah taat itu biasanya kuper dan ngga gaul. Ini aku kalilah pokonya, apa-apa pertimbangannya dunia. Tapi ya sebenarnya orang-orang labil inilah yang harus diperkenalkan dan dibuat bersahabat dengan syariat. Ngga gampang walaupun di lubuk hati tahu yang mana-mana saja kewajiban dan keharusan. Tapi kan kita semua manusia, apalagi untuk yang pernah jungkir balik masalalunya. Jangan dicibirin tapi disemangatin. Jangan juga dibuat jadi ajang taruhan kalau sampai kapan dia betah bertahan tutup-tutupan dan ikut kajian. Jangan yah :’) Doakan saja supaya dia kuat :’)
semoga teguh pendiriannya ya dek