Salahkah Perempuan Bercadar?

in #life7 years ago (edited)

Agaknya, masih saja menjadi suatu perbincangan yang hangat mengenai sosok-sosok perempuan bercadar di berbagai penjuru negara ini. Hingga baru-baru ini, di Indonesia pun kembali memperdebatkan masalah kaum perempuan bercadar ini.

Berbicara masalah perempuan, akan selalu tidak ada habis-habisnya. Selalu saja ada wacana kebijakan-kebijakan yang kemudian - ketika dilemparkan ke permukaan - meledak begitu saja menarik perhatian banyak pihak.

Otoritas terhadap Tubuh Perempuan yang Ditundukkan

Begitu lah perempuan.
Perempuan, dalam berbagai sisi hampir selalu menjadi sosok yang dipandang dari sisi keinferioritasan.

Sebenarnya, tubuh perempuan memiliki wacana identitas sosial, tidak hanya sebatas bentuk fisik namun juga memberikan makna identitas perempuan. Apa yang dipakainya, yang menempel padanya, yang dilakukan olehnya, menunjukkan identitas sosial terhadap dirinya.

IMG20180315103108.jpg

Maka ketika kita berbicara tentang tubuh perempuan, pada dasarnya setiap perempuan memiliki hak kontrol terhadap tubuhnya itu. Tubuh perempuan adalah miliknya pribadi, bukan milik suatu kelompok, pemerintah, atau negara. Dan ini juga diatur dalam undang-undang negara yang demokrasi, bahwa setiap warganya memiliki hak kebebasan berekspresi.

Hanya saja, dalam praktiknya ternyata otoritas perempuan terhadap tubuhnya itu selalu terbentur dengan berbagai aturan yang dibuat dari kacamata kesuperioran yang menginferiorkan tubuh perempuan.

Tubuh perempuan itu dipatuhkan, ditundukkan, atau bahkan dipaksakan untuk ditransformasikan, dimanfaatkan, dan dimodifikasi sesuai dengan kaidah-kaidah interpretasi suatu budaya.

Seperti yang dikatakan oleh Foucault:

Tujuan dari disiplin otoritas adalah untuk membentuk suatu tubuh yang patuh dan dapat ditundukkan, dimanfaatkan, ditransformasikan, diperbaiki, dan dapat ditingkatkan gunanya. Tubuh yang patuh ini juga merupakan tubuh yang produktif.

Salah satu yang paling terlihat dari pendisiplinan tubuh perempuan adalah melalui pengontrolan cara berpakaian.

Di sini Linda B. Arthur juga melihat
bahwa pakaian memiliki kompleksitas
makna dimana tubuh bisa dibaca sebagai
komunikasi nilai-nilai sosial dan agama

Ini terjadi di berbagai wilayah, dan diterapkan secara berbeda-beda sesuai dengan pandangan dominan yang memegang otoritas terhadap tubuh perempuan tersebut.

Negara bisa dijadikan sebagai salah satu pelaku pemilik kontrol pertama dalam mengontrol atau mengendalikan tubuh manusia atau masyarakat terutama perempuan.

Anggap saja seperti aturan yang baru saja diwacanakan di UIN Kalijaga mengenai larangan perempuan memakai cadar dan beberapa negara lainnya seperti Belgia, Austria, Perancis, dan beberapa negara di Eropa lainnya yang juga melarang perempuan bercadar bahkan berjilbab. Bahkan di Aceh pun, terdapat aturan-aturan yang sebagian besar menyasar pada standar berpakaian perempuan.

Aturan larangan bercadar ini menjadi contoh bagaimana penguasa, menggunakan otoritasnya untuk mengontrol hak perempuan atas tubuhnya dan mengekspresikan dirinya.

Pemerintah, penguasa, atau pejabat merupakan salah satu pihak yang punya kuasa terhadap tubuh perempuan. Dengan membuat norma-norma yang harus dipatuhi perempuan.

Nietzche mengatakan:

Tubuh tidak hanya dapat dimanfaatkan dan dialami dalam banyak cara, bahwa hasratnya dapat diubah oleh interpretasi budaya, bahwa setiap aspek tubuh dapat secara menyeluruh dimodifikasi oleh teknik-teknik yang sesuai, yaitu tubuh yang lunak, yang dapat ditundukkan, dan dapat ditempa.

Begitu lah, melalui kekuasaan tubuh perempuan dapat ditundukkan dan dipatuhkan sesuai dengan kepentingan dari pemegang kuasanya. Sehingga larangan cadar, bagi sekelompok perempuan menjadi suatu wacana penundukan kepatuhan oleh pihak pengendali kuasa.


Stigma terhadap Perempuan Bercadar

menyingkap-mahasiswi-cadar-uin-walisongo-ideapers.com.jpg
sumber

Lantas apakah perempuan bercadar itu salah?

Tentu saja ada banyak pemaknaan terkait dengan hal ini. Jika dikaji secara agama pun, penggunaan cadar sebenarnya masih beragam tafsirnya. Ada yang menganjurkan, ada pula yang tidak.

Maka terlepas dari konteks agama, penggunaan cadar bagi perempuan muslim merupakan identitas sosial yang melekat terhadapnya. Sehingga banyak interpretasi sosial yang bermunculan bagi penggunanya.

Cadar, bagi sebagian besar kalangan kerap dikait-kaitkan sebagai bentuk Islamophopia, label ketakutan terhadap Islam. Bahwa perempuan bercadar, sangat identik dengan bentuk radikalisme atau perlawanan Islam terhadap negara yang berbeda pandangan.

Label ini melekat erat bagi konsep "cadar" ini, sebagai bentuk identitas sosial budaya. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus-kasus radikalisme dan pemberitaan di banyak media mainstream yang cenderung menyudutkan pihak bercadar sebagai sosok paling rentan menjadi pelaku radikalisme.

Sehingga, dari labelisasi ini lah yang menjadi dasar kontrol terhadap tubuh perempuan untuk tidak bebas mengekspresikan identitasnya melalui cadar yang digunakan.

Sama halnya dengan bagaimana justifikasi sosial atau labelisasi terhadap perempuan yang berpakaian ketat nan seksi sebagai pelaku penyimpangan moral, atau pembatasan terhadap perempuan berjilbab di kantor-kantor karena dianggap tidak menarik atau kolot.

Don’t judge a book by a page you just walked in on.

Perempuan tidak hanya dinilai dari pakaian yang ditampilkannya. Alangkah tidak etisnya jika hak-hak beridentitas perempuan diatur sedemikian rupa dengan alasan-alasan stigmatisasi sosial di atasnya.

Adapun cadar, merupakan hak otoritas beridentitas perempuan yang harus dijaga. Sama dengan hak-hak yang diterima oleh perempuan lainnya.

Jadi, tidak ada yang salah dengan cadar perempuan. Terkecuali konstruksi dan stigmatisasi sosial terhadapnya.


Baca juga:

https://www.jurnalperempuan.org/blog-muda1/tubuh-perempuan-yang-dipatuhkan

Santoso, Listiyono, Sunarto, dkk 2006, Epistimologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, AR-RUZZ, Yogyakarta.


IMG-20180308-WA0000.jpg

Sort:  

😟 ★Nice Post!!; 😟

Sekali keren tulisannya..berfaedah dan bermanfaat

Terima kasih. Semoga bermanfaat ya..

Memang beda kalo alumni FISIPOL buat tulisan ya, hehe

Kendala cadar kalau di lembaga pelayanan publik itu di KYC (Know Your Customer), untuk itu perlu perlakuan khusus bagi customer yang bercadar tersebut.
Selama customernya bisa mengerti, saya rasa tidak ada masalah dengan cadar. Karena mereka hanya menyempurnakan sebagian agamanya, dan itu juga dijamin oleh negara.

Hahaha. Ga cuma lulusan Fisip kok yang nulis ginian. Hehe.

Iya, khususnya di pelayanan publik memang ada yang memberlakukan sistem itu untuk mudah mengidentifikasikan seseorang, supaya dikenal identitasnya. Hanya menjadi tidak wajar ketika dipolitisasikan atau dibuat-buat norma yang bias dan tidak menghargai hak privat seseorang. Dengan alasan yang kurang masuk akal.

Thanks for visiting yaa..

Yaa gara2 Islamophibia tadi,
Sukses terus Bu Putri, dtunggu tulisan2 berikutnya :D

Miris rasanya dinegeri ini mempertentangkan perihal cadar dngan alasan yg sama skli tdk masuk akal. Bahkn di universitas islam pun.

Kutipan yg sangat luar biasa kak dari nietzche.

Iya dek. Beruntung di MBO mereka yang bercadar sudah mulai diterima tanpa harus terkena labelisasi-labelisasi. Sehingga mereka pun bisa secara bebas berekspresi layaknya yang lain.

Gak salah kak. Dani setuju kalau perempuan rata2 pakai cadar. Karna itu sebagian dari rukun islam. Wajib bagi kaum hawa menutup aurat nya sebaik baik mungkin.. ayat nya gak sah dani sebutin ya hahaha.. mantap tema nya hari ini kak, seperti nya dani harus bilang

WOWWWWWW

Isu ini sangat sensitif ya, semoga pilihan dr masing-masing personal bisa kuat dengan banyak godaan.