16 Korban konflik Aceh beri kesaksian

in #life5 years ago

DSC_7471.JPG

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh kembali menggelar rapat dengar kesaksian (RDK) dari 16 korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh.

RDK kedua para korban ini diselenggarakan pada Selasa dan Rabu (16-17/7/2019) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara. Adapun tema yang diangkat yaitu "Dengarkan suara korban: mengungkap masa lalu, menata masa depan".

Untuk tahap pertama yang didengarkan kesaksiannya adalah para korban dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada periode 4 Desember 1976 hingga 15 Agustus 2005, atau selama konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI) berlangsung.

Pada periode konflik GAM-RI tersebut, kawasan Aceh Utara dan Lhokseumawe merupakan daerah merah, atau yang mengalami konflik berat di Aceh. Dua kasus pelanggaran HAM berat terjadi di wilayah itu.

Pertama adalah Tragedi Gedung KNPI Lhokseumawe, Aceh Utara. Insiden ini terjadi pada 9 Januari 1999. Peristiwa yang menewaskan 5 warga tersebut berawal dari penggerebekan yang dilakukan TNI untuk mencari anggota kelompok sipil bersenjata pimpinan Muhammad Rasyid (Ahmad Kandang).

Kemudian, Tragedi Simpang KKA (PT Kertas Kraft Aceh), dikenal juga sebagai Insiden Dewantara, yang terjadi pada 3 Mei 1999. Ketika itu terjadi bentrokan antara warga dengan TNI di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Dilaporkan 46 orang tewas, ratusan cedera, dan 10 warga hilang akibat insiden berdarah itu.

Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi, menuturkan selama dua hari ke depan, KKR Aceh akan memperdengarkan kesaksian dari 16 korban atau keluarga korban yang mengalami kekerasan saat konflik berlangsung di masa lampau. Semua korban yang bersaksi berasal dari Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.

Rencananya, pada Selasa (16/7) akan diperdengarkan tujuh kesaksian korban. Sementara esoknya atau Rabu (17/7), sebanyak 9 korban akan memberikan kesaksian.

"Mereka yang memberikan kesaksian dari berbagai jenis kekerasan yang diterima oleh korban. Kesaksian diklasifikasikan, seperti pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan," kata Afridal.

Afridal menambahkan, pemilihan lokasi di Aceh Utara karena berdasarkan luas wilayah kejadian, banyak korban, dan kesanggupan serta dukungan pemerintah daerah kabupaten atau kota.

Sebelumnya, rapat dengar kesaksian pertama kali digelar pada 27-28 November 2018 di Anjong Mon Mata, Banda Aceh. Saat itu, KKR Aceh mengundang 14 korban pelanggaran HAM di Aceh untuk memberikan kesaksian di depan komisioner KKR Aceh dan disaksikan tamu undangan.

Kendati demikian, atas alasan menjaga korban yang bersaksi, panitia tidak membolehkan jurnalis ataupun tamu undangan untuk merekam pernyataan atau memotret korban.

“Adapun tindak lanjut hasil dari rapat dengar kesaksian pertama, saat ini sudah kita buat rekomendasi untuk dilakukan reparasi terhadap korban dalam tahap awal. Rapat dengar kesaksian ini menjadi alat untuk memperdengarkan kebenaran,” tutur Afridal.

KKR Aceh adalah lembaga negara non-struktural yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh.

KKR Aceh dibentuk atas tiga tujuan, yaitu memperkuat perdamaian dengan mengungkap kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik individu maupun lembaga dengan korban, dan merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.

Rapat dengar kesaksian merupakan ruang bagi korban untuk menyampaikan peristiwa yang telah dialami, dampak, dan harapan masa depan yang lebih baik, serta pembelajaran penting bagi sebuah bangsa agar tidak mengalami kembali peristiwa kelam di masa depan.

Afridal menyerukan kepada semua pihak untuk memberikan dukungan kepada KKR Aceh. "Rapat dengar kesaksian sebagai sarana bagaimana kita mengambil hikmah positif dari peristiwa kelam di masa lampau sebagai cermin untuk menata kehidupan masa depan yang lebih baik," tutupnya.

Sumber: https://beritagar.id/artikel/berita/16-korban-pelanggaran-ham-konflik-aceh-beri-kesaksian