BATASAN TAAT DAN PATUH KEPADA PEMIMPIN

in #malaysia4 years ago

Sampai dimana Batas kepatuhan Muslim terhadap pemimpin

A.Pendahuluan
Kewajiban untuk taat kepada penguasa (ulil amri) adalah hal yang sudah umum diketahui umat Islam, kewajiban ini tetap berlaku baik mereka senang dengan penguasa ataupun tidak, baik penguasanya adil maupun dzalim. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, misalnya dalam shahih al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلّاَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Artinya: “Barang siapa melihat sesuatu yang dibenci (tidak disukai) dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar atasnya. Sebab, barang siapa memisahkan diri dari jamaah satu jengkal lantas mati, itu adalah kematian jahiliah.”
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya: Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siat. Maka apabila disuruh ma’siat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at dan patuh

B.Pembahasan
Secara bahasa ma’siat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat ma’siat.
Padahal kema’siatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siatan dalam bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan.
Namun yang dimaksud kema’siatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siat. Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat ma’siat kepada allah.

1.Dalam hadis nabi riwayat. Bukhari dan Muslimyang berbunyi
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا، يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya sepeninggalku, kalian akan melihat sikap (penguasa) yang mementingkan diri sendiri dan banyak perkara yang kalian mengingkarinya.” Para sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami (kalau itu terjadi), wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka dengan baik dan mohonlah hak kalian kepada Allah.” (HR. al Bukhari dan Muslim, lafadznya menurut al Bukhari)

2.Bahkan dalam sebuah redaksi matan yang lebih ‘sangat di tekankan’
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
Artinya: “Akan ada sepeninggalanku para pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnahku, dan akan ada pemimpin yang di tengah tengah mereka pemimpin yang hatinya adalah hati syetan dalam wujud manusia.”

3.Hudzaifah bin al-Yaman bertanya kepada Rasulullah SAW,
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
Artinya: ” Wahai Rasulullah, lalu apa yang harus kami perbuat jika kami mendapatkan pemimpin seperti itu?

  1. Dalam hadis Riwayat Muslim Nabi SAW bersabda :
    تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
    Artinya: ”Kamu wajib mendengar dan mentaati pemimpinmu, walaupun ia memukul punggungmu, dan mengambil hartamu, maka tetap wajib mendengar dan taat”.( HR. Muslim)

5.Imam An-Nawawi Beliau wafat pada tahun 676H meninggalkan nasehat :
وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ الْمُتَوَلِّي ظَالِمًا عَسُوفًا فَيُعْطَى حَقَّهُ مِنَ الطَّاعَةِ وَلَا يُخْرَجُ عَلَيْهِ وَلَا يُخْلَعُ بَلْ يُتَضَرَّعُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي كَشْفِ أَذَاهُ وَدَفْعِ شَرِّهِ وَإِصْلَاحِهِ
Artinya: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk selalu mendengar dan taat, meskipun pemimpinnya zalim dan sangat aniaya, maka (tetaplah) diberikan ketaatan yang menjadi haknya, tidak keluar dari ketaatan kepada nya, dan tidak melepaskan (bai’at) darinya, namun (hendaklah) memohon dg merendah diri kepada Allah Ta’ala agar menyingkirkan gangguannya, menolak keburukannya dan memperbaikinya”. (Syarh Shahih Muslim, 12;233

C.Batas Ketaatan Kepada Pemimpin
Hanya saja, ketaatan kepada pemimpin tersebut ada batasannya. Batasannya tidak lain adalah bukan dalam perkara kemaksiatan, pemimpin tersebut tidak melakukan kekufuran yang nyata atau mengubah pilar-pilar Islam, dalam kasus al hukkâm (penguasa yang punya hak untuk melakukan legislasi), dia tidak kehilangan salah satu dari syarat-syarat in’iqad (syarat pengangkatan).
1.Mari kita melihat kepada titah Rasulullah SAW Tentang batasan pertama, Rasulullah saw bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
Artinya: “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. al Bukhari).

2.Terkait batasan taat kepada pemimpin dalam Shahih al Bukhari, dari Ubadah bin Shamit r.a, terkait bai’at, beliau berkata:
وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْراً بَوَاحاً عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
Artinya: “…agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, (Beliau saw berkata) kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, dan kalian memiliki bukti dari Allah tentangnya.”

  1. Imam an Nawawi Imam An Nawawi Syarh Shahih Muslim menjelaskan:
    أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْخُرُوجُ عَلَى الْخُلَفَاءِ بمجرد الظلم أو الفسق مالم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام
    Artinya: Bahwasanya tidak boleh keluar dari keta’atan kepada para khalifah hanya karena kedzaliman dan kefasikan mereka saja, selama mereka tidak merubah sesuatu dari dasar-dasar Islam. (Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 12;243

4.Begitu juga dalam hadits Riwayat Muslim di jelaskan bahwa:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ – حَسِبْتُهَا قَالَتْ – أَسْوَدُ، يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
Artinya: “Sekalipun kalian dipimpin oleh seorang hamba (budak) yang terpotong (hidung, telinga dan pinggir bibirnya) -namun saya (Yahya bin Hushain) mengira dia (Ummul Hushain) berkata; (budak) hitam- tetapi dia memimpin dengan Kitabullah, maka dengarkan dan taatilah dia.” (HR. Muslim).

5.Imam an Nawawi berkata:
قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاءِ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَأَدْيَانِهِمْ وَأَخْلَاقِهِمْ وَلَا يُشَقُّ عَلَيْهِمُ الْعَصَا بَلْ إِذَا ظَهَرَتْ مِنْهُمُ الْمُنْكَرَاتُ وُعِظُوا وَذُكِّرُوا
Artinya: “Para ‘ulama mengatakan bahwa maksudnya adalah selama pemimpin itu berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada kitabullah Ta’ala, bagaimanapun kondisi (fisik mereka), keberagamaan mereka, dan perangai mereka, janganlah mereka (umat Islam) memberontak, akan tetapi jika nampak kemungkaran dari mereka (pemimpin), mereka dinasehati dan diingatkan” (Syarh Shahih Muslim, 9/47).

6.Dalam sebuah Riwayat Oleh Ummu Salamah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُوْنُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُواْ: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قال: لاَ، مَا صَلَّوْا
Artinya: “Akan ada para pemimpin, lalu kalian mengetahui (perbuatan munkar mereka) dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa mengetahui, maka dia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Dan barangsiapa mengingkari, maka dia telah selamat. Tapi barangsiapa ridha dan mengikuti (maka dia tidak terbebas dan tidak selamat).” Para sahabat berkata: “Tidakkah kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “Tidak, selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim)

D.Katagori pemimpin
Seorang pemimpin walaupun dia pernah kedapatan mabuk, tetaplah wajib ditaati dan di patuhi perintahnya asalkan dia masih memberlakukan hukum-hukum Allah swt, dan perintahnya tidak menyuruh berbuat kemaksiatan. akan tetapi berbeda halnya dengan pemimpin yang menghalalkan khamr (miras) dan melegalkannya, walaupun dia tidak pernah meminumnya, maka gugur kewajiban taat kepadanya, bahkan dalam kondisi seperti ini dia wajib dipecat, karena menghalalkan yang jelas haram menyebabkannya jatuh kepada kekafiran.

1.Al-Atsari dalam kitab Al-Wajîz fî ‘Aqîdah As-Salaf Ash-Shâlih Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ’ah menyatakan dengan tegas :
وأما من عطل منهم شرع الله ولم يحكم به وحكم بغيره؛ فهؤلاء خارجون عن طاعة المسلمين فلا طاعة لهم على الناس؛ لأنهم ضيعوا مقاصد الإمامة التي من أجلها نُصبوا واستحقوا السمع والطاعة وعدم الخروج

Adapun, siapa saja diantara mereka (penguasa) yang memberhentikan syari’at Allah swt, dan tidak berhukum berdasarkan syari’at Allah (tapi) berhukum dengan selain hukum Allah swt, maka mereka itu tidak berlaku ketaatan kaum muslimin (kepada mereka), tidak ada kewajiban ta’at bagi kaum muslimin terhadap mereka, karena mereka telah menghilangkan tujuan dari imamah (yaitu menerapkan syari’at), dimana untuk itulah mereka diangkat dan diberikan ketaatan dan kepatuhan terhadap mereka, serta (karena itulah) tidak boleh keluar (dari ketaatan).
Sedangkan batasan ketiga, yakni penguasa tidak kehilangan syarat-syarat ‘in’iqad, jika penguasa menjadi gila, atau tertawan musuh sehingga dia dipaksa mengikuti kemauan musuh, atau dia menjadi kafir, maka tidak wajib lagi mentaatinya. Adapun syarat-syarat in’iqad yang lainnya ada perincian yang lebih detil.

2.Imam an Nawawi wafat. 676H mengutip pernyataan Qadhi Iyadl wafat . 544H yang berkata:
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ لَا تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْرُ انْعَزَلَ
Artinya: “Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak sah diberikan kepada orang kafir, dan mereka juga sepakat bahwa seandainya terjadi kekufuran atasnya, maka ia wajib dipecat”. (Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 12/229, Maktabah Syamilah).

E.Wajib Ta’at, Namun Wajib Pula Meluruskan
Apabila seorang pemimpin masih menjalankan hukum-hukum Allah, merujuk kepada kitabullah dalam mengatur berbagai urusan, namun mereka melakukan kedzaliman yang tidak mengeluarkan mereka dari Islam, maka umat disamping ta’at dalam perkara yang bukan maksiyat juga punya kewajiban besar untuk megingatkannya. Jika yang disampaikan hanya mementingkan ketaatan saja tanpa membahas sisi ini, maka pada dasarnya sama dengan menjerumuskan penguasa, mendorong mereka menjadi Fir’aun-Fir’aun gaya baru.
Ketika seseorang tidak melakukan pengingkaran, justru menunjukkan keridhaan maka sikap ini pada hakikatnya telah mencelakakan diri sendiri, mencelakakan penguasa dzalim tersebut hingga mereka senang bergelimang dengan kedzalimannya, dan lebih dari itu berarti pula menghancurkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Merusak diri sendiri, karena sebagaimana Rasulullah saw bersabda riwayat dari Ummu Salamah sebelumnya, dalam hal ini Imam an Nawawi menjelaskan Ungkapan “Barangsiapa mengetahui, maka dia telah terbebas” maksudnya adalah:
فَمَنْ عَرَفَ الْمُنْكَرَ وَلَمْ يَشْتَبِهْ عَلَيْهِ فَقَدْ صَارَتْ لَهُ طَرِيْقُ الْبَرَاءَةِ مِنْ إثْمِهِ وَعُقُوبَتِهِ بِأَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِلِسَانِهِ فَإنْ عَجِزَ فَلْيَكْرَهُه بِقَلْبِهِ
Artinya: “Barangsiapa mengetahui kemunkaran dan tidak meragukannya (bahwa itu benar-benar munkar), maka itu telah menjadi jalan baginya menuju kebebasan dari dosa dan hukuman karena dia dapat merubahnya dengan tangannya atau lisannya. Dan jika dia tidak mampu, hendaklah dia membencinya dengan hatinya.”
Adapun ungkapan “Tapi barangsiapa ridha dan mengikuti (dia tidak terbebas dan tidak selamat)”, maksudnya:
ولَكِنَّ الْإِثْمَ وَالْعُقُوبَةَ عَلَى مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَنْ عَجَزَ عَنْ إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ لَا يأثم بمجرد السكوت بل إنما يأثم بالرضى به أو بأن لا يَكْرَهَهُ بِقَلْبِهِ أَوْ بِالْمُتَابَعَةِ عَلَيْهِ
“Akan tetapi dosa dan sanksi adalah bagi siapa yang ridho dan mengikuti (penyimpangan penguasa), dan disini ada dalil bahwa orang yang tidak punya kemampuan menghilangkan kemungkaran tidaklah dia berdosa dengan diamnya semata, akan tetapi dia berdosa dengan ridhonya dia atau dengan tidak membenci kemungkaran itu dg hati atau dengan mengikutinya. (Syarh Shahih Muslim, 12;243
Mendiamkan kemungkaran, apalagi kemungkaran penguasa, sama artinya dengan membiarkan ‘tenggelam’nya masyarakat. Rasulullah menyatakan:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْمُدْهِنِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فِي الْبَحْرِ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا يَصْعَدُونَ فَيَسْتَقُونَ الْمَاءَ فَيَصُبُّونَ عَلَى الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا لَا نَدَعُكُمْ تَصْعَدُونَ فَتُؤْذُونَنَا فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا فَإِنَّا نَنْقُبُهَا مِنْ أَسْفَلِهَا فَنَسْتَقِي فَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ فَمَنَعُوهُمْ نَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan mereka yang menegakkan hukum dan berjalan di atasnya adalah bagaikan suatu kaum yang berada di atas perahu di tengah hamparan lautan yang luas. Sebagian dari mereka bertempat di atasnya dan sebagian yang lain berada di bawah. Mereka yang berada di bawah apabila membutuhkan air, maka mereka akan naik ke atas lalu menimba air sehingga mengganggu mereka yang berada di atas. Maka orang-orang yang berada di atas pun berkata, ‘Kami tidak akan membiarkan kalian naik ke atas sehingga kalian menyusahkan kami.’ Sedangkan mereka yang berada di bawah juga berkata, ‘Kalau begitu, maka kami akan membuat lubang di bawah sehingga memudahkan kami untuk mengambil air.’ Maka apabila mereka mencegahnya, niscaya mereka semua akan selamat. Namun bila mereka meninggalkannya, niscaya mereka semua akan tenggelam.” (HR. at Tirmidzi, ia berkata; Ini adalah hadits hasan shahih).

Penutup
Kesimpulanbahwa kema’siatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja kema’siatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.
Sekilas memang ada kontradiksi, bagaimana bisa dikatakan “selama pemimpin itu berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada kitabullah ta’ala”, dengan kalimat “bagaimanapun kondisi keberagamaan mereka dan perangai mereka” padahal tidaklah itu berkontradiksi. Kalimat pertama menunjukkan bahwa dalam mengatur negara, mereka masih menjadikan Islam dan kitabullah sebagai rujukan, sementara kalimat kedua menunjukkan prilaku mereka secara pribadi atau terkait rakyat namun tidak ada kekufuran yang nyata, sebagaimana hadits-hadits dan penjelasan sebelumnya.
Oleh sebab itu, kita melihat betapa para ‘ulama dahulu begitu perhatian terhadap perkara kemungkaran penguasa ini, walaupun kemungkarannya tidak sampai mengeluarkan penguasa dari Islam. Bahkan sikap mereka bisa berujung pada kesulitan dan siksaan dari penguasa, padahal penguasa yang mereka nasehati adalah penguasa yang menjadikan kitabullah dalam mengatur kehidupan bernegara. Imam an Nawawi sampai diusir gara-gara mengkritik kebijakan negara yang memungut biaya jihad ke rakyat jelata yang susah, padahal itu untuk kebaikan agama, bukan untuk plesiran Imam Ibnu Katsir bahkan pernyataannya lebih tegas lagi:
ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، … ومن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله، حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله، فلا يحكم بسواه في قليل ولا كثير
Allah mengingkari siapa-siapa saja yang tidak menerapkan hukum Allah swt yang jelas, yang mencakup setiap kebaikan dan mencegah dari setiap keburukan, serta berpaling kepada selainnya yang berupa pendapat, hawa nafsu, dan istilah-istilah yang ditetapkan oleh manusia tanpa bersandar kepada syari’at Allah swt. … dan siapa saja melakukan hal tersebut diantara mereka maka ia telah kafir wajib diperangi hingga kembali menerapkan hukum Allah swt dan Rasul-Nya saw, maka tidak boleh berhukum kepada selain hukum Allah swt, baik sedikit maupun banyak
Wallahu A’lam bissawab