ITSBAT NIKAH SANGAT PENTING TERHADAP KETERTIBAN PENCATATAN NIKAHsteemCreated with Sketch.

in #malaysia4 years ago

Oleh: Walid Blang Jruen
NIM;2018540573
Prodi HKI

Pembimbing ;
Prof.Dr.Rusydi Ali Muhammad,MA

Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pascasarjana, Lhokseumawe
Periode 2019-2020

Kata Kunci: Itsbat, Nikah, Dampak dan Ketertiban.
[email protected]

A. Pendahuluan
Islam memerintahkan manusia untuk hidup dalam ikatan naungan keluarga, karena keluarga merupakan sebuah gambaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keluarga yang baik menurut Islam sangat menunjang untuk menuju kepada kesejahteraan hidup. Itsbat Nikah berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu itsbat dan nikah. Itsbat berasal dari kata “اٍثْبَاتًا يُثْبِتُ – اَثْبَتَ” yang artinya “menetapkan”. Sedangkan kata nikah berasal dari kata “نِكَاحًا – يَنْكِحُ – نَكَحَ” yang secara istilah fiqh/hukum Islam adalah “Akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (pasal 2 Kompilasi Hukum Islam) dan pernikahan juga senonim dengan perkawinan. Itsbat Nikah dilakukan untuk mengatasi permasalahan akad nikah yang sudah dilaksanakan secara sah menurut hukum Islam, namun tidak tercatat pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama kecamatan, sebagai mana yang dimaksud dengan pasal Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal ... Kompilasi Hukum Islam .
Menurut Undang-undang Nomor1Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal1 disebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa”. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut menerangkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan nya itu”. Keabsahan perkawinan ini dipertegas lagi dengan pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yaitu “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Kedudukan itsbat nikah ini sendiri telah mendapat pengakuan dengan dibuktikan adanya regulasi hukum, seperti dalam bunyi Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah tersebut dapat diajukan atas beberapa alasan, diantaranya yaitu karena hilangnya akta nikah, dan karena ada keraguan menganai sah tidaknya salah satu syarat perkawinan. Bertalian dengan masalah di atas, di wilayah Kabupaten Aceh Utara dan kabupaten lain di propinsi Aceh telah dilakukan suatu langkah oleh pihak pengadilan terhadap pasangan yang belum atau tidak ada akta nikah untuk ditetapkan kembali pernikahan melalui itsbat nikah yang di sebarkan melalui imam imam gampoeng dengan memberi informasi kepada pihak terkait.

B. Rumusan Masalah
Berdasarka latar belakang di atas maka focus penelitian ini adalah tentang “Efektipitas Pelaksanaan Prosedur Pengajuan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Aceh Utara.
maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

  1. Bagaimana Gambaran kasus dan prosedur pengajuan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Aceh Utara?
  2. Bagaimana efektivitas pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Aceh Utara?
  3. bolehkah pangajuan itsbat nikah sirri ke pengadilan Agama untuk mendapatkan pengakuan Negara dan status anak?
    C. Tujuan Penelitian
    Adapun tujuan penelitian ini adalah :
  4. Untuk mengetahui gambaran kasus danprosedur pengajuan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Aceh Utara
  5. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Aceh Utara
  6. Untuk mengetahui tentang pangajuan itsbat nikah sirri ke pengadilan Agama untuk mendapatkan pengakuan Negara dan status anak?
    D.Pembahasan Hukum Pernikahan
    Sebelum dijelaskan makna dari itsbat nikah, terlebih dahulu dijelaskan tentang nikah. Ulama telah membuat rumusan nikah sebagai sebuah akad antara seorang pria dengan pihak wali wanita, dengan tujuan untuk penghalalan hubungan suami-istri (senggama). Dalam fikih Islam perkawinan disebut dengan istilah nikah atau zawwaj, yang memiliki arti al-jam’u dan al-dhamu, yaitu kumpul atau menyetubuhi . menikahi wanita pada hakikatnya ialah menggauli istri. Sedangkan menurut istilah(terminologi)sebagaimana dijelaskan oleh penulis Makalah adalah ; bahwa perkawinan atau pernikahan yaitu; Perkawinan secara etimologi berasal dari kata nakaha (nikah) dan zawaja(memperistri).Perkawinan secara etimologi berasal dari kata dhamma (bergabung), watha-a (berhubungan kelamin), ‘aqada (perjanjian/transaksi). Perkawinan secara etimologi juga berasal dari kata dhamma (bergabung) dan ijtama’a (berkumpul). Perkawinan secara terminologi bermakna: akad halalnya hubungan badan antara suami istri. Perkawinan secara terminologi juga bermakna akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha dan za-wa-ja. Sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 1 yaitu: ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
    E. Manfaat Penelitian
    Studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis antara lain:
  7. secara teoritis: Untuk memperkaya wacana ke islaman dalam bidang politik hukum, baik hukum Islam dan Hukum positif. diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiyah bagi Program Study Politik Hukum Islam di Fakultas Islam IAIN Lhokseumawe. Sebagai sumbangsih pemikiran dalam rangka meningkatkan mutu serta prestasi dibidang politik hukum, baik hukum Islam maupun Hukum Positif.
  8. Secara praktis ; Dapat dijadikan masukan bagi orang yang concern dalam bidang politik Hukum dan Sebagai Kontribusi bagi pejabat pencatat nikah serta dapat memenuhi persyaratan pembelajaran study politik hukum tentang isbat nikah di IAIN Lhokseumawe.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KajianRelevan
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti laen yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, adapun judul penelitian yang diteliti oleh peneliti adalah “Efektifitas Itsbat Pengadilan Agama Kabupaten Aceh Utara” Penelitian tentang Itsbat Nikah telah diteliti pada penelitian sebelumnya Oleh Muntasir, pada IAIN AR-RANIRY Banda Aceh, dengan judul Itsbat Nikah Sebagai Administrasi Perkawinan, penelitian ini megguna kan metodede Analisis komparatif, yaitu penelitian yang memfokuskan pada kebiasaan yang terjadi di masyarakat, serta melihat perbedaan, persamaan dan penyebab terjadinya peristiwa tersebut,adapun hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mengajukan permohonan Itsbat Nikah harus ke Mahkamah Syar’iyah seperti yang diatur dalam Pasal 7 KHI.Perkawinan di bawah tangan tersebut hanya dapat diajukan melalui permohonan Itsbat Nikah dengan alasan untuk menyelesaikan Perceraian, Sedangkan Pengajuan Itsbat Nikah dengan alasan lain dapat dilakukan apabila sebelumnya pihak yang mengadakan Perkawinan telah memiliki akta nikah.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh SITI AISYAH, dengan Judul “Pandangan Hakim Terhadap Itsbat Nikah Poligami Di Pengadilan Agama Bondowoso” .Penelitian ini menggunakan deskriftip kualitatif. Hasil penelitian inimemper oleh kesimpulan, bahwa pada kasus perdata ini tidak ada perbedaan mekanisme atau prosedur dalam Isbath Nikah Poligami dikarenakan pada dasarnya menurut keterangan para hakim di Pengadilan Agama Bondowoso tidak ada keterangan atau undang-undang yng jelas terkait dengan prosedur Isbath Nikah terlebih Isbath Nikah Poligami. Terkait dengan landasan hukum yang dijadikan bahan rujukan oleh Majelis Hakim dalam menetapkan perkara tersebut dari hasil wawancara diperoleh satu keterangan bahwa mereka merujuk kepada KHI pasal 58 ayat (3) dan KHI pasal 7 ayat (2) dan (3) poin (e) dengan putusan verstek. Perbandingan terhadap penelitian yang penulis lakukan dengan peneliti-peneliti sebelumnya adalah pada peniliti pertama menjelaskan tentang mengajukan permohonan Itsbat Nikah harus keMahkamah Syar’iyah seperti yang diatur dalam Pasal 7 KHI, dan penelitian kedua bahwa pada Prosedur Itsbat Nikah Poligami dan dasar hukum yang dijadikan rujukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Bondowoso dalam menetapkan putusan tersebut,pada penelitian yang dilakukan penulis adalah menyangkut Efektipitas Pelaksanaan Itsbat Nikah yang merupakan bentuk dari kepastian hukum.
B. Pengertian Isbat Nikah

  1. Isbat
    Menurut bahasa isbat berasal dari bahasa Arab ﺖﺒﺜﻳﺖﺒﺛا Artinya menetapkan adapun menurut arti istilah itsbat nikah adalah suatu metode atau cara dalammenetapkan sahnya suatu perkawinan yang belum tercatat di KUA setempat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan hal perkawinan yang dilaksanakan di pengadilan.
  2. Nikah
    Perkawinan dalam Al-Qur’an dan Hadits disebut dengan nikah (ڼکاح) dan zawaj (ذواج) Secara etimologi (harfiah) nikah memiliki banyak arti yaitu”hubungan jenis kelamin” (الوطء) ”bergabung” (الضم) ”mengumpulkan” (الجمع) dan juga ”akad” (العقد). Sedangkan secara terminologi perkawinan menurut Abu Hanifah adalah "akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja".Pengukuhan yang dimaksud adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan syari'ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat 'aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya untuk mendapatkan kenikmatan. Definisi yang sama diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaily yaitu perkawinanadalah "akad yang telah di tetapkan oleh syar'i agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan ijtima' dengan seorang wanita atau sebalik nya". Dalam bahasa Indonesia Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan percampuran. Sedangkan menurut istilah syari’at, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.Dalam referensilain dikatakan nikah menurut syara’ adalah aqad (perjanjian) antara calon suami danistri agardihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami istri denganmengikuti norma,nilai-nilai sosial etika dan agama. Dalam fiqh munakahat, perkawinan adalah sunnatullah yang umum danberlaku pada semua makhluk-makhluk-Nya. Hal ini adalah suatu cara yang dipiliholeh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk dapat berkembang biak danmelestarikan hidupnya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 1:
    Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.

Dalam pengertian fikih, nikah adalah akad yang membolehan melakukan hubungan suami isteri dengan lafal nikah. Dalam pengertian ini yang menjadi fokus dalam akad nikah adalah kebolehan melakukan hubungan suami isteri. Pengertian nikah sebagaimana didefinisikan dalam Hukum Perkawinan Nasional, dalam hal ini Undang Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal1Undang-UndangPerkawinan Nomor 1 tahun 1974 berbunyi ”Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Di dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) bab II pasal 2 mengatakan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan sebuah Ibadah.Kata mitsaaqan ghaliidhan di sarikan dari firman Allah SWT yang terdapat di dalam surat An-Nisaa'ayat 21 yang berbunyi :
Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Kata mitsqan ghaliidhan disini memiliki pengertian yaitu sebuah akad yang sangat kuat dan lengket, hal ini merupakan penjelasan dari ungkap "ikatan lahir batin" yang terdapat di dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang mengatakan bahwa"perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami-istri tujuan berumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Dalam pengertian diatas tergambar bahwa akad pernikahan harus ada rukun dan syarat nikah menurut fikih munakahat, yang diantaranya rukun perkawinan itu harus terpenuhi 5 unsur, yaitu ; 1. Ada calon pengantin laki-laki, 2. Calon pengantin perempuan, 3. Wali Nikah, 4. Dua orang saksi, dan 5. Ijab Kabul. Bila 5 rukun ini sudah ada dan masing-masing rukun itu telah memenuhi persyaratannya, maka perkawinan itu telah sah menurut hukum agama islam.

Sementara itu Undang Undang Nomor 1 tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian perkawinan yang hanya memenuhi syarat dan rukun pernikahan secara agama saja adalah sah menurut hukum. Tidak dilakukan pencatatan di depan Pegawai Pencatat Nikah tidak mengurangi sahnya perkawinan. Hanya saja perkawinannya yang tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah itu tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Sebagaimana dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian pernikahannya tidak bisa dibuatkan akta nikah dan kalau ada anak dalam perkawinan tersebut, nantinya anak itu tidak bisa dibuatkan akta kelahiran.

Banyak orang yang melakukan nikah sirri, nikah dibawah tangan, nikah secara agama, yang penting nikahnya itu tidak dilakukan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, dengan berbagai macam alasan, maka selama ini pernikahannya itu tidak ada kejelasan statusnya dan tidak mendapat perlindungan hukum publik dalam kehidupan rumah tangganya. Supaya mendapatkan perlindungan hukum kembali, maka orang yang sudah pernah melakukan nikah sirri harus mengajukan pengesahan nikah (itsbat nikah) ke Pengadilan Agama. Kalau nikah sirrinya itu nanti sudah mendapatkan penetapan oleh pengadilan agama sebagai pernikahan yang sah, maka yang bersangkutan kemudian membawa penetapan tersebut ke Kantor Urusan Agama Kecamatan dan mencatatkan pernikahannya itu untuk mendapatkan Buku Kutipan Akta Nikah.

C. DASAR HUKUM ITSBAT NIKAH
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan yang dilakukan selain dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya juga berkewaji ban mencatatkan perkawinannya. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juga menyebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaan, disamping itu perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Jadi jelas bahwa keharusan mencatatkan perkawinan ditinjau dari segi formalitasnya. Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA)sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Penjelasan menyebutkan bahwa dengan adanya ketentuan tersebut maka pencatatn perkawinan hanya dilakukan oleh instansi Pegawai Pencatat Nikah, talak dan rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya. Pasal 10 juga menyebutkan bahwa tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing hukum agamanya dan kepercayaan nya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian menurut peraturan pemerintah nomor 9 tahun1975 menekankan keharusan pencatatan perkawinan walaupun perkawinan tersebut sudah dilakukan menurut Agama dan Kepercayaannya. Pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut Agama Islam didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954. dari sini juga adanya penekanan tentang pencatatan perkawinan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai Pencatatan Nikah dan tata kerja pengadilan Agama dalam melaksana kan peraturan perUndang-Udangan perkawinan bagi yang beragama Islam, pasal 5 menyebutkan bahwa orang yang hendak menikah memberitahukan kehendak nya kepada Pegawai Pencatat Nikah atau kepada P3 NTR yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah. P3 NTR (Pembantu Pegawai Pencatat nikah, talak dan Rujuk).

Selain itu keabsahan perkawinan dan pencatatan perkawinan juga diatur dalam instruksi presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juli 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 5 juga menyebutkan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diataur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954. dalam pasal 6 juga disebutkan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah Pegawai Pencatat Nikah, sedangkan perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai ketentuan hukum. Pasal 7 menyebutkan sebagaiberikut :.

  1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah..
  2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan isbat nikahnya ke pengadilan Agama.
  3. Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas menge nai hal-hal yang berkenaan dengan :
    a. Adanya perkawinan dalam rangka perceraian.
    b. Hilangnya Akta Nikah.
    c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat per kawinan Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No.1 Tahun 1974 dan,.
    d. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurutUndang-undang No. 1 Tahun 1974
  4. Yang berhak mengajukan permohonan Isbat Nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu

D. PROSEDUR DAN SYARAT-SYARAT ITSBAT NIKAH
Ada dua cara untuk mengajukan pengesahan nikah ini, yaitu dengan cara mengajukan permohonan pengesahan nikah (Voluntair) dan dengan cara mengajukan gugatan pengesahan nikah (Kontentius). Produk hukum PA terhadap permohonan pengesahan nikah berbentuk Penetapan sedang terhadap gugatan pengesahan nikah berbentuk Putusan. Pernikahan adalah kehendak bersama suami isteri untuk membentuk rumah tangga. Oleh karena itu pengesahan nikah yang diajukan secara voluntair, adalah apabila pasangan suami isteri yang pernah nikah sirri itu bersama-sama menghendaki pernikahan sirrinya itu disahkan. Jadi mereka bertindak sebagai Pemohon I dan Pemohon II. Kalau hanya salah satu sahaja yang menghendaki, misalnya suami mau mengesahkan nikah sirrinya sementara isterinya tidak mau, atau sebaliknya maka tidak bisa ditempuh secara voluntair (bentuk permohonan)akan tetapi harus berbentuk gugatan (Kontentius). Pihak yang mengendaki nikah sirrinya disahkan bertindak sebagai Pemohon dan pihak yang tidak menghendaki nikah sirrinya disahkan dijadikan sebagai Termohon. Pernikahan disamping mempunyai ikatan secara timbal balik bagi suami isteri, juga mengikat pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan suami isteri itu, seperti anak, orang tua (wali) dan pihak lain. Prosedur permohonan itsbat nikah sama halnya dengan prosedur yang ditempuhkan dalam mengajukan perkara perdata, adapun prosedur yang harus ditempuh oleh pemohon Itsbath Nikah :

Langkah pertama. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat.
a. Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal anda.
b. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri (seperti terlampir). Apabila anda tidak bisa membuat surat permohonan, anda dapat meminta bantuan kepada Pos Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma-cuma.
c. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu:

  1. surat permohonan itsbat nikah dan
  2.  surat permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai
    

d. Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi anda simpan.
e. Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangandari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.

Langkah kedua. Membayar Panjar Biaya Perkara
a. Membayar panjar biaya perkara. Apabila anda tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda dapat mengajukan permohonan untukberperkara secara cuma-cuma (Prodeo). Rincian informasi tentang Prodeo dapat dilihat di Panduan Prodeo.
b. Apabila mendapatkan fasilitas Prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan perkara di pengadilan menjadi tanggungan pengadilan kecuali biaya transportasi dari rumah ke pengadilan. Apabilatidak sanggup maka dapat mengajukan Sidang Keliling.Rincian informasi tentang Sidang Keliling lihat di Panduan Sidang Keliling.
c. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar biaya perkara.
Langkah ketiga. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan.
A. Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada Pemohon dan Termohon

Langkah keempat. Menghadiri Persidangan
a. Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal /waktu yang tertera dalam surat panggilan.
b. Untuk sidang pertama, bawa dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan , fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalamsidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para Pihak misalnya KTP
c. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada Pemohon/ Termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan.
d. Untuk sidang kedua dan seterusnya, kemungkinan harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. hakim akan meminta saksi-saksi yang mengetahui pernikahan tersebut

Langkah kelima. Putusan/Penetapan Pengadilan
a. Jika permohonan anda dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkanputusan/ penetapan itsbat nikah.
b. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang terakhir.
c. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat Kuasa.
d. Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, bisa meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan dengan menunjukkan bukti salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut.
E. SEBAB-SEBAB ITSBAT NIKAH
Sebab-sebab pernikahan yang diajukan itsbatnya ke Pengadilan Agama, sesuai dengan pasal7 ayat(3) yang berbunyi:itsbat nikah yang dapat diajukan kepenga dilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan;
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b. Hilangnya akta nikah
c. perkawinan terjadi sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
d. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

F. MANFAAT ITSBAT NIKAH
Adapun manfaat keguanaa dilaksanakannya Itsbat Nikah adalah :
a. Sebagai bukti sah-nya Pernikahan anda.
b. Untuk menjamin hak-hak anda dalam Pernikahan jika terjadi perceraian termasuk hak memperoleh warisan dan pensiun.
c. Untuk melindungi hak-hak anak, misalnya dalam membuat akta kelahiran, pengurusan passport, dan hak waris.

BAB.III
PANGAJUAN ITSBAT NIKAH SIRRI KE PENGADILAN AGAMA UNTUK MENDAPATKAN PENGAKUAN NEGARA DAN STATUS ANAK

A.Dengan berpedoman pada hasil rapat pleno Kamar Agama tersebut , sepanjang perkara yang diajukan tersebut berupa permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri maka seyogyanya secara formil terhadap perkara tersebut hakim tidak punya pilihan selain harus menyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

B. Sikap Ideal Pengadilan Agama atas Permohonan Isbat Nikah Poligami secara Siri memedomani dan mengikuti hasil rapat pleno Kamar Agama mengenai permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri dalam SEMA Nomor 3
Tahun 2018 tersebut bersifat mutlak atau kasuistik. Dalam hal ini perlu pembahasan lebih lanjut, oleh masyarakat pencari keadilan terkait permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri, yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan mendudukan semua pihak berkepentingan sebagai pihak dalam perkara
permohonan tersebut. Sebagai ilustrasi dari uraian tersebut dalam hal ini misalnya; seorang suami yaitu A mempunyai isteri yaitu B yang menikah secara resmi tercatat di KUA setempat. Lalu A menikah lagi dengan wanita lain yaitu C. Pernikahan A dan C tersebut dilaksanakan secara siri. Kemudian setelah A dan C dikaruniai anak lalu A dan C mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Lalu bagaimanakah sikap ideal Pengadilan Agama dalam menangani perkara permohonan isbat nikah poligami secara siri yang seperti ini tetap harus berpatokan mengikuti secara mutlak rumusan hasil rapat pleno Kamar Agama dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tersebut, atau ada pertimbangan lain Seperti diketahui selama ini di beberapa wilayah Pengadilan Agama di Indonesia, antara lain seperti di wilayah Aceh misalnya, sudah lazim diajukan permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri dengan format seperti digambarkan di atas. Di mana permohonan isbat nikah tersebut oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah setempat diterima, diputus dan dikabulkan sebagaimana mestinya. Penetapan Mahkamah Syari‘iyah yang mengesahkan isbat nikah poligami secara siri tersebut diterima, dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pencari keadilan maupun oleh instansi pemerintah yang terkait dengan itu, tanpa menimbulkan masalah. Mengajukan permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri dengan format seperti diuraikan di atas selama ini secara teknis yustisial memang dibenarkan dan sekaligus dimungkinkan untuk diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama atau yang lebih populer dikenal dengan nama Buku II yang menyatakan antara lain sebagai berikut;

  1. Permohonan isbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami isteri atau salah
    satu dari suami isteri, anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama setempat
  2. Proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang diajukan oleh kedua suami isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan isbat nikah, maka suami dan isteri bersama-sama, atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
  3. Proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi. 7
  4. Jika dalam proses pemeriksaan permohonan isbat nikah dalam angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain maka isteri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. (5) Dan seterusnya sampai dengan (9) dst...... (10) Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5)sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut. Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Buku II yang dikutip di atas sangat clear, mengakomudir permasalahan nikah siri pada umumnya yang jamak dilakukan dalam masyarakat, termasuk isbat nikah poligami atas dasar nikah siri sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan hasil rapat pleno Kamar Agama tersebut.. Ketentuan yang terdapat dalam Buku II tersebut selama ini juga merupakan pedoman teknis yustisial yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dalam menangani perkara termasuk yang berhubungan dengan permohonan isbat nikah baik yang diajukan secara voluntair maupun contentius . Ketentuan tersebut berlaku atas dasar Keputusan Ketua MARI Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 6 April 2006, yang hingga saat ini belum pernah dinyatakan dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung .Dengan demikian sejauh ini ketentuan teknis yustisial yang terdapat dalam Buku II tersebut masih tetap dapat dipedomani dan dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dalam menangani perkara permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri tersebut. Atas dasar itu menurut hemat penulis, sikap Pengadilan Agama dalam hal ini, dengan berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam Buku II tersebut Pengadilan Agama dalam menangani perkara permohonan isbat nikah poligami atas dasar nikah siri yang diajukan kepadanya masih dimungkinkan untuk menerima dan mengabul kannya, setidak-tidaknya secara kasuistik yakni antara lain terhadap pemohonan isbat nikah atas dasar nikah siri yang diajukan secara contentius dengan mendudukan semua pihak berkepentingan sebagai pihak dalam permohonannya dengan format sebagaimana diuraikan di atas. Sehubungan dengan hal itu meskipun kedua aturan teknis tersebut tampak kontradiksi, hakim Pengadilan Agama dalam hal ini tidak perlu mempertentangkan antara rumusan hasil rapat pleno Kamar Agama dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tersebut dengan ketentuan yang terdapat dalam Buku II yang berlaku atas dasar Keputusan Ketua MARI Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 6 April 2006 tersebut . Sebab, kedua ketentuan yang sama-sama merupakan pedoman teknis yustisial tersebut sama-sama sangat dibutuhkan sebagai bahan pengayaan referensi bagi hakim Peradilan Agama dalam menghadapi berbagai masalah teknis peradilan khususnya terkait dengan permohonan isbat nikah poligami secara siri tersebut yang senantiasa berubahdan berkembang secara dinamis, bahkan masif dalam masyarakat. Menyikapi dan memberlakukan secara kasuistik penanganan

C.Perkawinan yang Dicatatkan dan Itsbat Nikah
Pada dasarnya, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku . Itsbat nikah dilakukan sebagai akibat dari nikah tanpa dicatat/ tidak punya akta nikah. Itsbat nikah itu sendiri adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk memiliki kekuatan hukum. Penjelasan lebih lanjut mengenai prosedur permohonan itsbat nikah dapat Anda simak dalam artikel Prosedur Permohonan Itsbat Nikah. Selain itu, sebagaimana pernah dikutip dalam artikel Perkawinan Campuran, Drs. H. Tata Taufiqurrahman, S.H., M.H. dalam makalahnya Isbat Nikah Hubungannya dengan Nikah Massal mengatakan bahwa permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama, yaitu mohon agar perkawinan tersebut dinyatakan sah dan diperintahkan kepada PPN/KUA Kecamatan setempat mencatat perkawinan ini dan memberikan Kutipan Akta Nikah berdasarkan Keputusan Pengadilan Agama tersebut .

D.Akta Nikah Diperlukan untuk Melindungi Anak yang Lahir Anda benar bahwa itsbat nikah itu penting untuk mendapatkan akta nikah guna kepentingan pengurusan akta kelahiran anak. Pasal 7 ayat (1) KHI berbunyi; “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.”Akta Nikah sebagai bukti adanya perkawinan dan jaminan bagi suami atau istri serta melindungi hak-hak anak yang lahir dari perkawinan, juga sebagai hak warisan,kematian, pengurusan akta kelahiran, dan lain sebagainya.

E. Pengajuan Itsbat Nikah
Terkait dengan alasan dilakukannya pengajuan itsbat nikah, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI antara lain disebutkan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian Perceraian
b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut UU PERKAWINAN
Dasar Hukum Pengajuan Itsbat Nikah Bagi Pasangan Kawin Siri, Pasal 7 ayat (3) huruf e adalah dasar bagi pasangan yang telah melakukan nikah siri untuk mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama setempat.Jadi, itsbat nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami istri yang telah menikah secara sah menurut hukum agama (nikah siri) untuk mendapatkan pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh keduanya beserta anak-anak yang lahir selama pernikahan, sehingga pernikahannya tersebut berkekuatan hukum. Adapun yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah pihak suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu .Dalam praktiknya, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Prosedur Permohonan Itsbat Nikah, syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk melakukan itsbat nikah adalah sebagai berikut:

  1.  Menyerahkan Surat Permohonan Itsbat Nikah kepada Pengadilan Agama setempat;
    
  2. Surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan;
  3. Surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang menerangkan bahwa Pemohon telah menikah;
  4.  Foto Copy KTP pemohon Itsbat Nikah;
    
  5.  Membayar biaya perkara;
    
  6.  Lain-lain yang akan ditentukan Hakim dalam persidangan.
    

Menjawab pertanyaan permasalahan di atas, guna kepentingan pencatatan pernikahan, Anda boleh saja mengajukan permohonan itsbat nikah selama memenuhi syarat-syarat di atas. Dengan kata lain, alasan pengajuan itsbat nikah Anda benar dan Anda memenuhi syarat-syarat lainnya sehingga hakim bisa saja mengabulkan permohonan itsbat nikah yang diajukan. Syarat-syarat di atas juga menunjukkan bahwa meskipun Anda telah memiliki anak dari hasil perkawinan siri yang mau diajukan itsbat nikahnya itu, Anda tetap dapat mengajukan itsbat nikah. Hal ini karena tidak ada syarat lain terkait telah lahirnya anak dari perkawinan yang akan diitsbatkan. Justru, menurut hemat kami, itsbat nikah adalah langkah benar untuk melindungi anak atas status hukumnya.

BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Dengan demikian menurut peraturan pemerintah nomor 9 tahun1975 menekankan keharusan pencatatan perkawinan walaupun perkawinan tersebut sudah dilakukan menurut Agama dan Kepercayaannya. Pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut Agama Islam didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954. dari sini juga adanya penekanan tentang pencatatan perkawinan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai Pencatatan Nikah dan tata kerja pengadilan Agama dalam melaksana kan peraturan perUndang-Udangan perkawinan bagi yang beragama Islam, pasal 5 menyebutkan bahwa orang yang hendak menikah memberitahukan kehendak nya kepada Pegawai Pencatat Nikah atau kepada P3 NTR yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah. P3 NTR (Pembantu Pegawai Pencatat nikah, talak dan Rujuk). Selain itu keabsahan perkawinan dan pencatatan perkawinan juga diatur dalam instruksi presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juli 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 5 juga menyebutkan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diataur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954. dalam pasal 6 juga disebutkan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah Pegawai Pencatat Nikah,

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdul Mannan. Aneka Masalah Hukum Materiil Dalam Praktek PeradilanAgama, Jakarta: Pustaka Bangsa, 2003.
  2. Ahmad, Muzaikhan.“Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (Studi Analisis Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Tentang Itsbat Nikah)”, , Jurusan Ahwal al Syakhsiyah, Fakultas Syariah, IAIN Walisongo Semarang, 2006.
  3. Andi, Prastowo.Memahami Metode-metode Penelitian,Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.Abdul Rahman,Ghazali.Fiqh Munakahat,Jakarta: Kencana, 2010.
  4. Abdul Rasyid, Raihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakrta: CV. Rajawali, 1991.Amir, Syarifuddin.Hukum Pekawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2007.
  5. Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyakdalam Mimbar Hukum Aktualisasi HukumIslam, No. 28 Th. VII, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1996.
  6. Azis, Javar.“Itsbat Nikah Dalam Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam”,Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan hukum, Fakultas Hukum, Universitas Simalungun Pematangsiantar, 2012.
  7. Hilman, Hadikusuma.Metode Pembuatan Kertas atau Skrispsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1995.
  8. Ida Bagoes,Mantra.Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2, 2008.
  9. Idris, Ramulyo. Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukukm Acara Peradilan Agama, dan ZakatMenurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
  10. Jaih, Mubarok.Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia,Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
  11. Lexy,J. Moleong.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
    12.L. Qodri,Shiddiq.“Proses Pelaksanaan Itsbat Nikah Poligami Di Pengadilan Agama Sumenep”,Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Ahwal al Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2001.
  12. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1996