Ketika Mereka Meninggal Dunia untuk Kedua KalinyasteemCreated with Sketch.

in #mentawai7 years ago (edited)


“Menebang atau menumbangkan pohon Kirekat, bagi suku Mentawai sama halnya dengan meninggal dunia untuk yang kedua kalinya,"

Daniel Tatebburuk atau lebih akrab disapa Tiggilat (Nama yang diberikan turun temurun) menatap pohon durian dengan diameter sekira 60 cm itu dengan wajah sendu, tatapannya begitu dalam, dengan berlahan Daniel menghapiri pohon tersebut. “Ini ditumbangkan orang karena membangun jalan,” katanya.

Kemudian, Daniel memegang pohon itu, ia berkata “Anak saya di sini, dua orang. Satu lagi Abang saya,” jelasnya.

Tidak begitu lama, Stefanus atau yang dikenal Teu (Panggilan untuk Kakek) Sanang membawa beberapa dedauanan dan satu potong batang bambu berisi air, lalu dia mendekati Daniel.

Teu Sanang mulai memilih dedaunan yang ia bawa sambil membacakan doa dalam bahasa Mentawai, ritual dimulai. Lalu, dedauanan yang telah dipilih Teu Sanang, tangkainya dimasukkan kedalam bambu. Ritual Pasinene Monei (Permintaan maaf), dimulai.

Pohon tersebut merupakan Kirekat milik suku Sabulukungan.

Kirekat merupakan ukiran telapak kaki, telapak tangan dan postur tubuh orang yang sudah meninggal di pohon durian. Pembuatan kirekat bertujuan untuk mengenang kerabat yang sudah meninggal. Hingga saat ini, sebahagian besar masyarakat Mentawai yang bermukin di Pulau Siberut, pembuatan Kirekat masih dilakukan.

Kirekat tersebut, biasanya dibuat di pohon Durian yang bagus, subur dan berbuah lebat. Jika sudah dijadikan Kirekat, maka pohon tersebut tidak boleh dijadikan Alat Toga (mas kawin), apalagi ditebang. Karena, dalam adat Mentawai, salah satu mas kawin yang diberikan itu adalah pohon durian.

Pembuatan Kirekat dilaksanakan setelah upacara penguburan, ukuran telapak kaki, tangan dan postur tubuh diukir di kulit pohon Sagu, yang digambar menggunakan pena atau spidol serta alat tulis yang dapat dijadikan untuk menggambarkannya.

Setelah ukiran itu selesai, maka anggota suku akan beramai-ramai mendatangi pohon durian yang telah dipilih, lalu mengukirnya menggunakan pahat atau parang.

Bagi orang Mentawai, Kirekat merupakan barang yang sangat berharga. Pantangan bagi mereka merusak, apalagi menebang Kirekat tersebut. Jika ada yang merusak atau menebangnya, maka orang tersebut akan Ditulou (Didenda).

Tulou di Mentawai, itu tergantung kepada kesepakatan anggota suku, bahkan semua barang milik orang yang ditulou boleh mereka ambil.

Penumbangan Kiriekat milik suku Sabulukungan oleh Dinas Pekerjaan Umum untuk membuka jalan trans Mentawai, dikatakan Toggilat, mereka (anggota suku-red) tidak diberitahu. “Kami tidak tahu, ketika saya datang kesini, phon itu sudah tumbang. Saya laporkan ke pemerintah desa dan kecamatan, mereka juga tidak tau katanya,” ungkap Toggilat.

Meskipun Kirekat milik suku Sabulukungan tumbang karena pembukaan jalan, dinas terkait akan tetap dikenakan denda. “Iya, akan kami denda, ada sepuluh macam dendanya, itu harus mereka bayar,” jelas Toggilat.

Seharusnya orang Mentawai dan mereka yang bekerja di pemerintahan tau dengan hal ini. Ini adat dan budaya kita, jangan dilupakan. Kalau membuat jalan itu, atau lainnya, cari tau dulu, tanya dulu, jangan asal saja, katanya.


Saya Zulfikar atau lebih akrab disapa Fikar || Sehari-hari bekerja di wilayah Sumatera Barat sebagai Koresponden Majalah Gatra || @zulfikar.fii



▶️ DTube
▶️ IPFS
Sort:  

Menyedihkan sekali ketika pembangunan harus mengorbankan adat setempat.