Asal Mulanya Sejarah Meugang Di Aceh
Tiga hingga empat paha sapi atau kerbau digantung dengan dengan cucuk besi dari atas penyangga kayu. Lapak-lapak penjaja daging ini berjejer di badan jalan kawasan Peunayong, Banda Aceh. Bau darah segar terasa di seisi pasar.
Menjelang masuknya puasa merupakan waktu panen para pedagang daging di Banda Aceh. Lapak dagang mereka hampir pasti dipadati masyarakat yang ingin membeli daging untuk disantap bersama keluarga. Momen ini biasa disebut uroe meugang atau hari meugang.
Tradisi meugang sebenarnya bukan hanya berlangsung di Banda Aceh, tapi secara menyeluruh di Provinsi Aceh. Dalam setahun, tiga kali meugang berlangsung, yakni sebelum puasa Ramadan, sebelum Hari Raya Idul Fitri, dan sebelum Hari Raya Idul Adha.
Sejumlah pedagang sampai mengimpor ternak dari luar Aceh karena tingginya permintaan. Meski begitu, sapi atau kerbau dari Aceh tetap menjadi primadona karena dianggap memiliki rasa yang khas dan pas di lidah orang Aceh.
Karena tingginya permintaan, pedagang daging musiman menjamur. Harga daging pun melambung tinggi menjadi Rp150-160 ribu per kilogram.
“Bagi sebagian masyarakat, rasanya kurang pas kalau menyambut Ramadan tanpa melaksanakan meugang dan membeli daging,” kata Ahmadi, salah seorang warga Tapaktuan, Aceh Selatan saat dihubungi okezone.
Menurut catatan sejarah, tradisi ini telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, masa Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan kala itu membagi-bagikan sejumlah daging, uang hingga kain kepada fakir miskin, duafa dan penyandang disabilitas di waktu meugang.
Pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa era 1607-1636 Masehi, tradisi meugang ini makin membumi. Selain daging dan uang, Sultan juga menyumbang koin emas kepada kaum miskin.
Sebelum meugang, Sultan Iskandar Muda memerintahkan otoritas kerajaan, Qadi Mua`azzam Khazanah Balai Silaturrahmi, mendata fakir, miskin, anak yatim, hingga penyandang disabilitas. Sultan lalu memerintahkan bawahnya untuk menyediakan dirham, kain-kain, kerbau dan sapi.
Selanjutnya pada hari meugang, kerajaan membagikan daging, uang lima koin emas dan kain sepanjang enam hasta pada orang-orang yang sudah didata. Satu hasta dihitung dari ujung tangan hingga siku. Namun pembagian tersebut bukan langsung diberikan kepada masyarakat. Sultan mempercayakannya kepada Keuchik (Kapala Desa).
“Tradisi meugang mulai resmi dilaksanakan masa Sultan Iskandar Muda setelah dikeluarkan maklumat dalam Qanun Meukuta Alam pada 1608 Masehi mengenai meugang,” kata Budayawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid.
Dalam Qanun Meukuta Alam bab 2 pasal 47 pada masa kerajaan dahulu disebutkan, pemberian bekal pada hari meugang dan pertolongan Sultan Aceh karena kecintaan sultan terhadap rakyatnya.
Konon, nama meugang atau makmeugang diambil dari sebuah kawasan (sebuah gang besar) yang makmur dan menjadi tempat persinggahan para saudagar kaya nan alim dengan kapal-kapal besar di wilayah Peunayong, Bandar Aceh Darussalam tempo dulu.
Para saudagar lalu menjadikan daerah itu untuk menyembelih ternaknya saat menjelang Ramadan. Kemakmuran di kawasan atau gang itu kemudian terdengar hingga seluruh Aceh. Tanpa kesepakatan bersama, tradisi menjelang Ramadan ini diberi nama meugang atau makmeugang.
Di samping menjadi sebuah tradisi, meugang juga memiki makna lain. Selain bersantap masakan khas Aceh, suasana silaturahmi dan berkumpulnya seluruh keluarga dalam menyambut puasa merupakan waktu yang ditunggu-tunggu.
Biasanya bagi perantau, meugang merupakan waktu yag tepat melepas rindu bersama keluarga. Pada hari itu, mereka yang jauh dari keluarga akan pulang kampung sejenak untuk berkumpul baik dengan keluarga besar maupun kecil. Menikmati legitnya daging sapi atau kerbau dan ternak lainnya bersama-sama.
Merupakan sebuah marwah bagi seorang pria membawa pulang daging segar untuk diberikan kepada keluarga dan dimasak dengan rempah khas Aceh kemudian dinikmati bersama.
Menu makanan dalam meugang bukan hanya sapi dan kerbau. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan akan daging ternak berbadan besar, mereka tetap mengupayakan membeli ayam. Bagi sebagian masyarakat, meski tengah dalam kesusahan, daging meugang adalah hal wajib, meski hanya sedikit.
Di Aceh, tradisi ini ikut disemarakkan di kantor-kantor baik pemerintahan maupun swasta. Pimpinan di kantor saban meugang selalu mengupayakan daging untuk karyawannya. Di sebagian tempat kerja juga memanfaatkan waktu megang untuk berkumpul seluruh keluarga karyawan menyantap meugang bersama.
Menu masakan yang diracik beragam tergantung selera. Dengan kekayaan rempahnya, masyarakat Aceh membuat beragam jenis menu, dari Kuah Beulangong, Gule Puteh hingga Kari Aceh. Semua dimasak tergantung selera.
“Meugang juga memberi kesempatan bagi orang kaya untuk bersedekah dan anak yatim, kaum duafa untuk bisa ikut makan daging dengan orang lain. Status masyarakat Aceh saat meugang sama, baik si kaya dan si miskin,” jelas Tarmizi.
Meugang tidak hanya menjadi sebuah tradisi sejak ratusan tahun lalu. Meugang dimaknai sebagai hari bersuka cita menyambut bulan suci Ramadhan, juga anjuran Tuhan menyemarakkan hari berkah dan penuh rahmat selama sebulan penuh.
Source: Okezone.com
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://news.okezone.com/read/2017/05/26/340/1700286/menilik-tradisi-meugang-peninggalan-sultan-iskandar-muda-yang-awet-hingga-kini