Kepergianmu Sunyi, Imum Piah

in #opini7 years ago (edited)

Tubuh jangkung itu kini ceking. Wibawa sentak hilang, di hadapanku hanya tulang dibalut keriput kulit tua.

“Katrep trok?” (Suaranya pelan, merintih, tapi bersih terdengar)

Imum Piah.JPG

In Memorial H Hanafiah Basyah

Aku menggeleng. Senyum seperti dua puluh dua tahun lalu belum hilang, pun tubuh itu kini utuh terbaring. Aku cepat menangkap tangannya, membenamkan wajah, menutup mata penuh demi meresapi sesak rasa yang dia alami, wangi tangannya belum luntur dari tempo dua puluh dua tahun lalu.

Almanak pun yang bergambar mesjid-mesjid besar di bumi yang tergantung di atas ku itu lepas satu demi satu, menindih wajahku kembali ke lutut pemiliknya, Kakek ku, Imum Piah.

Dia yang mengajarku cara memberi takzim dengan mendekap kedua lututnya, dan mencium dengan sungguh. Aku akan berdiri setelah tangan kekarnya membelai kepalaku, dan ku peroleh senyumnya seperti saat dia senyum atas kehadiranku sekarang, cucu yang telah menjadi seorang ayah.

Namun di takzim kali ini, tangan itu tidak lagi membelai rambut ikal ku, Abu Syhik meraih tangan mungil cicitnya, anakku, Nanta Gόthatѐ. Kakek selalu tahu tentangku walau tidak kuceritakan, dan istriku menyalaminya hangat.

Sunyi memberi ruang untuk percakapan di dimensi lain. Jingga senja terpantul dari air sungai yang menerobos batu, batang bambu berderit, angin dari sawah selatan sepoi berhembus, membawa bisik ratusan pipit menyantap padi. Si kecil Nanta tidak merengek menunjuk pintu keluar. “oup bathen!” dia berdiri dan tak melepas tangan buyutnya.

“Carong that cόt lon,” (Suaranya pelan, merintih, tapi bersih terdengar)

“Nanta sudah besar kakek, dia sudah bisa tak teh.” Istriku mendudukkan si kecil di sisi kakek. Aku melihat keceriaan, di dua wajah yang memikatku dengan senyum yang sama. Si tua yang renta, dan si kecil yang lucu. Semua tawa saat senja itu seakan untuk kakek ku. Delapan puluh dua tahun kisahnya, dua puluh dua tahun ku catat itu dalam kisahku.

………………….

Selasa sore, 2 November 2011. Sisa hujan belum kering walau matahari terik semenjak siang. Gemericik sungai dan derit pohon bambu adalah irama yang tidak henti di Gampong yang dibelah sungai kecil, Adan, Bandar Dua. kakek tidak makan dan minum sudah dua hari. Ia tampak tidur, tapi mulut masih bergerak menyebut Yang Agung.

Perantauan telah menjadi hijrah terpanjang dalam meraih mimpi rohaninya. Tidak ada seorang pun dari kami, keluarganya yang punya cukup alasan untuk membawanya kembali ke keceriaan keluarga yang ramai.

Teungku H Hanafiah Bin Teungku Basyah adalah seorang pengajar ilmu Agama Islam. Ada ratusan orang yang berguru padanya untuk mengenal ejaan Arab dan kitab kuning. Dan orang-orang di Gampong Ulee Gle menyebutnya Imum Piah.

Senja belum rebah hari itu. Sang Guru masih dalam kesunyiannya, terbaring di dipan besi tua. Ainal Mardhiah, bungsu perempuan Imum Piah menemani. Nur Asiah Hanafiah menuntun kata-kata suci.

“Allah, Allah, Allah.” Tiga patah kata itu menjadi ucapan perpisahan Imum Piah untuk kami. Di gerbang pintu, terakhir aku melihatnya terbalut kain hijau. Aku tak mampu memberi takzim lagi. Dibalik sorban yang menutupi wajah kakunya, aku melihat kakek tersenyum.

Damaikan lah Ia dihadapan Mu, Tuhan.